Untunglah setelah Piala Eropa lewat ada Pemilukada Jakarta. Ini
pengganti yang sebanding, kawan. Setidaknya bagi para maniak judi, sebelum
tanggal 11 Juli 2012 mereka masih bisa buka lapak untuk pasang taruhan
jagoannya masing-masing. Dan ketika hasil quick count mengindikasi bahwa
Pemilukada akan terjadi dua putaran, maka bersoraklah para bandar dan maniak
judi itu. Berlebihan?, ah tidak juga. Ketika politik telah membuat sebagian masyarakat
muak dan jenuh, maka mereka menjadikannya olok-olok sekaligus hiburan dengan
memasang taruhan.
Mari kita tinggalkan dulu meja judi, sebab calon yang akan
ikut ke putaran dua telah berhasil diidentifikasi para lembaga survey yang semakin
hari semakin canggih mengotak-atik ilmu statistika.
Tapi sebelumnya kita mundur dulu ke belakang. Ada apa dengan
Golkar?. Kenapa para jagoan manuver politik yang sudah terlatih puluhan tahun
itu begitu gegabah memasang Alex Noerdin?. Mungkin benar dia berprestasi dalam
memimpin Sumatera Selatan, tapi lupakah mereka kepada efek sakti lampu sorot
media?. Masalahnya, yang sering muncul ke permukaan adalah kasus-kasus yang
kurang baik (untuk tidak mengatakan busuk). Ekspos media masih lekat
memberitakan kasus perselingkuhan dan kasus wisma atlet. Kalau masalah publik
Jakarta tidak terlalu mengenalnya, toh Jokowi pun bukan warga Jakarta, bahkan
tidak punya hak pilih ketika Pemilukada berlangsung. Artinya, nama baik yang
muncul ke permukaan, yang diberitakan media, kalah dominan oleh kasus-kasus
yang membunuh karakternya. Nah, pertanyaannya : Golkar sebagai partai yang
kenyang pengalaman kenapa melakukan blunder seperti ini?. Dan lihatlah
hasilnya, pasangan Alex-Nono kalah telak oleh duet maut Jokowi-Ahok. Mereka bahkan
hanya menempati dasar klasemen bersama dua pasangan independen.
Sementara itu tim sukses Foke-Nara (Fauzi Bowo-Nachrowi
Ramli) melakukan blunder yang tak kalah hebatnya. Gembar-gembor dalam kampanye
spanduk bahwa pemilukada akan berlangsung satu putaran dengan syarat pasangan
tersebut menang di atas 50 persen telah membuat para pemilih dari kelas
menengah malah asyik berlibur dan segan mendatangi TPS. Mereka berpikir, kalau
toh akan berlangsung satu putaran buat apa juga memberikan suara, sudah pasti
Foke lagi yang akan maju jadi Gubernur, mendingan pergi berlibur. Dan lihatlah
hasilnya, prediksi beberapa lembaga survey yang awalnya menjagokan Foke-Nara
ternyata hancur berantakan karena sodokan Jokowi-Ahok.
Blunder kemudian bersambung dengan telenovela. Ketika para
pesaing Foke-Nara ramai-ramai dengan vulgar menyerang incumbent, masyarakat
Jakarta malah simpati kepada pasangan yang adem-ayem saja. Lihat buktinya :
Hendarji dan pasangannya yang selama masa kampanye memasang spanduk dengan
tulisan “Jakarta jangan lagi BerKuMis (Berantakan, kumuh, dan miskin) malah
menjadi penghuni dasar klasemen sementara.
Sementara pasangan Faisal Basri-Biem Benjamin yang rajin menyerang incumbent di beberapa media elektronik dan
ketika acara debat, malah menjadi runner-up dari bawah. Hal sebaliknya terjadi
pada pasangan Jokowi-Ahok dan Hidayat-Didik, meskipun mereka juga kadang-kadang
menyerang (tapi dengan lebih santun), hasilnya malah lebih menggembirakan.
Masing-masing menempati ranking pertama dan ketiga.
Para penyerang incumbent yang menyerang dengan keras
nampaknya telah lupa bahwa masyarakat kita adalah masyarakat telenovela. Masih
hangat di ingatan kita bagaimana cerita sukses SBY dan para fansnya merajai
Pemilu selama dua periode terakhir ini. Ketika konflik SBY-Mega yang waktu itu
masih berposisi Menteri dan Presiden mencuat di media, serta-merta masyarakat
jatuh simpati kepada SBY yang dinilai “dizholimi” Mega Sang Presiden. Dengan
dibumbui politik pencitraan maka sempurnalah SBY mendulang puluhan juta suara
dan melenggang manis ke istana selama dua periode kepemimpinan Presiden. Produk
budaya hiburan masyarakat kita masih didominasi oleh telenovela dan sinetron,
maka ketika kompetisi politik berlangsung pun produk hiburan ini ikut
dibawa-bawa.
Lalu apa kabar dengan PKS?. Partai yang merajai ibukota di
Pemilu legislatif 2004 ini malah kedodoran di Pemilukada yang bahkan calonya
adalah mantan ketua MPR. Barangkali mereka kelewat percaya diri, ketika tahun
2007 jagoannya (Adang-Dani) yang hanya diusung oleh satu partai hanya kalah
tipis dari Foke-Prijanto yang diusung puluhan partai politik, mereka mungkin
berpikir bahwa Pemilukada tahun ini akan lebih mudah karena suara pesaing akan
terpecah. Justeru yang terjadi malah sebaliknya, suara konstituen merekalah
yang akhirnya terpecah dan mengalir ke pasangan lain. Bagi penguasa suara
ibukota ini adalah kekalahan telak dan menyakitkan.
Para pengamat politik seringkali berkhotbah tentang
pergeseran konstelasi politik para peserta Pemilukada tanpa lebih jeli melihat peta
suara masyarakat Jakarta yang selalu dinamis dan sekaligus sulit ditebak. Di
wilayah perkotaan seperti Jakarta para pemilih rasional jumlahnya sangat
melimpah dan mereka sangat dinamis melihat realita perkembangan politik. Jika
mau melihat ke belakang, bahkan di zaman Orde Baru sedang berjaya, partai
sekelas Golkar pun seringkali kesulitan menaklukkan ibukota, karena yang
dominan malah partai hijau yang bernama PPP. Ketika reformasi masih hangat (1999)
ibukota berhasil dikuasai PDI Perjuangan, tapi lima tahun kemudian partai yang
kerap dicurigai sebagai partai transnasional dan masih berusia sangat muda justeru
berhasil mendepak para jagoan tua.
Ini Jakarta, Bung. Di sini pertarungan strategi politik
selalu menuntut para think-tank handal untuk berpikir dan bertindak dengan jitu
demi memenangi setiap kompetisi.
Selamat kepada pasangan dan tim sukses Jokowi-Ahok dan
Foke-Nara. Sampai bertemu di putaran kedua. Pastikan komunikasi politik, stok
strategi dan stok logistik berjalan dan tersedia dengan cukup. Hindari praktek
money politik, dan jadikan Pemilukada Jakarta sebagai Pemilukada yang berjalan
jujur, adil, dan fair. Ingat, masyarakat Jakarta hanya menghendaki perubahan ke
arah yang lebih baik, mereka tidak membutuhkan janji-janji kosong. Selamat
berkompetisi, Bung!!. [ ]
No comments:
Post a Comment