“I look around. I fly to find a space to lay my head upon.”
Gelas kopi dari bekas botol air mineral ini mengantarkan
kembali pada pikiran-pikiran absurd tentang masadepan. Ingin rasanya
membenturkan kepala ke tiang listrik di ujung gang, demi memastikan bahwa air
hujan masih tersisa di daun dan ranting pohon mangga. Tapi aku tak punya api
untuk membakar buku dan koran bekas yang menguning itu, mereka kubiarkan menjadi
berhala penunggu kamar, kubiarkan menjadi korban debu dan kebisuan. Sejarah
idealisme telah menjadi mitos, diantarkan oleh gemuruh kecakapan berkomunikasi.
Sementara si pandir hanya menyalahkan diri sendiri. Inilah polarisasi sekaligus
misteri, dua kubu yang akhirnya akan berlabuh di pantai entah.
Aku bukan lagi petarung yang selektif, tapi sudah
bermetamorfosis untuk menghantam siapa saja yang punya nyali untuk menjual. Sudah
terlalu banyak jebakan Batman yang bertebaran di sekitar tempurung kepala. Dan
aku tidak boleh menjadi pengemis, aku harus maju pasang badan. Kekuatan harus
dibangun di kaki sendiri, bukan di kaki para penjudi. Telah begitu banyak dadu
kepercayaan yang berhamburan di meja taruhan, dan aku selalu menjadi penjudi
yang payah. Selalu kalah memalukan.
Aku sadar ini anomali. Jangan tanyakan para penagih hutang,
masih banyak yang belum aku selesaikan. Tapi aku berjanji akan membayarnya,
dengan kilatan mata pedang atau air mata yang asin. Di halte-halte yang penuh
sesak, aku tidak akan pernah membawa wajah-wajah menor atau tertutup topeng malaikat.
Aku hanya akan membawa para pejalan jauh yang nyalinya tidak pernah ciut. Ini
aku, yang siap memenggal kepala-kepala yang rajin menggembosi perjalanan. Ya,
jarak pandangku telah kabur, kawan. [ ]
No comments:
Post a Comment