Sekali waktu, Bung Rano, kawan saya pernah menyodorkan
sebuah pertanyaan tajam : “Bung ini, apalagi yang kau tunggu, segeralah
menikah. Kalau alasannya belum cukup, belum cukup apalagi?, semua orang yang
menikah pasti dalam keadaan belum cukup. Nanti setelah kau punya istri semuanya
akan disempurnakan.” Dan saya, seperti biasa, hanya diam tak bisa menjawab. Tapi
tiba-tiba saya teringat sebuah kata-kata yang sering didengar, entah siapa yang
mula-mula mengatakannya : “semua akan indah pada waktunya.”
Lebaran dua tahun yang lalu, seperti biasa saya pulang kampung.
Pada sebuah sore, ketika tengah membaca buku di teras depan, tiba-tiba Bung
Dodo, kawan sewaktu di Madrasah Tsanawiyah datang berkunjung. Lalu ngobrol
kesana-kemari, dan berujung pada sebuah pertanyaan yang dilontarkannya : “Bung
ini sudah menikah belum.” Saya menggeleng. “Ah, kawan, apalagi yang kau tunggu,
segeralah. Apakah kau tak tertarik untuk segera menikmati indahnya hidup
berkeluarga?.” Saya hanya tersenyum. Lalu tiba-tiba petang hampir dijemput
maghrib. Dia pamit pulang.
Ponsel berbunyi, terdengar suara seorang kawan, Bung Abu.
Tanya kabar, saya jawab : “sehat”. Panen tertawa dari cerita-cerita masalalu,
dan terhenti di sebuah pertanyaan klasik : “Kapan Bung mau menikah?. Segeralah,
ayah Bung sudah meminta menantu perempuan.” Dia bertanya dengan nada bercanda,
tapi terdengar serius di telinga saya. Saya jawab, “nantilah, kawan.” Dia
menyerang lagi : “ah kau ini, selalu saja nanti-nanti, tak maukah kau menjadi seperti
kawanmu ini, sudah jadi seorang ayah kawanmu ini, Bung.”
***
Saya memanggilnya Wangihujan. Cantik adalah urusan mata, sedangkan ketenteraman bersemayamnya di jiwa. Siapa
yang ingin menjadi petualang?, saya hanyalah orang rumahan. Siapa yang tidak
ingin mengikuti sunnah kanjeng nabi?, setiap orang yang masih sendirian pasti
merindukan saat-saat itu, saat ketika akhirnya perempuan menjadi halal bagi
laki-laki, dan laki-laki menjadi halal bagi perempuan. Ini melebihi kisah drama
romantik, sebab bukan sekedar jejalih cerita mesra, tapi lebih dahsyat lagi :
mendirikan lembaga kehidupan yang bernama keluarga. Tempat yang mula-mula melindungi
anak manusia dari lebat dan teriknya pergaulan hidup.
Kemudian perempuan itu menjadi calon ibu. Di rahimnya yang
kuat ada yang bersemayam dengan nyaman. Nama tempat itu sama dengan nama Tuhan
: Rahim = Penyayang. Maka tak berlebihan jika perempuan selalu didesain dengan
sifat penyayang yang luar biasa. Dalam lindungan rahim itu, memasuki bulan ke
empat, ruh ditiupkan. Sang calon ibu membawa dan melindungi ruh baru yang
sangat disayanginya. Tapi kondisi fisik memang terus bertambah turun. “Wahnan
ala wahnin”, payah yang bertambah-tambah.
Sementara yang laki-laki dihinggapi cemas yang luar biasa.
Inilah kelahiran anak pertama. Nama sudah disiapkan jauh-jauh hari. Apapun
nanti jenis pirantinya, si calon ayah telah siap dengan nama yang berkarakter.
Bukan tidak tenang, tapi bagaimana rasanya menunggu kehadiran sang ahli waris
menghirup dunia?. Maka setiap laki-laki brengsek harus kerap diingatkan tentang
cemasnya menunggu kelahiran anak pertama. Proses di mana sang istri berjuang antara
hidup dan mati.
***
Saya berdiri di atas kaki sendiri. Merindukan keluarga yang
mengabadi sambil bekerja mengisi pundi-pundi. Barangkali waktu telah menjadi
pembunuh berdarah dingin, tapi saya tidak menyerah. Saya bersabar menanti saat
itu tiba. Dan saya tidak tinggal diam, tapi berjalan, bahkan berlari menuju
rumah ketenteraman itu. [ ]
No comments:
Post a Comment