Sudah lama dia tidak melakukan perjalanan. Sementara alam
pun tidak banyak berubah. Laut tidak pernah banjir, air terjun masih setia
kepada gravitasi, dan gunung masih tegak sebagai paku bumi. Lalu apa yang
menarik dari harmonisasi bentang alam?, bukankah sudah bisa didapatkan dari
kalender usang yang telah diturunkan dari dinding?. Siapa kawan berjalan akan
lebih penting daripada ke mana akan pergi. Reaksi kimia purba atau ritus
perkawanan bukan sekedar nuansa, tapi jauh melebihi kejernihan air laut,
keindahan gerombolan ikan, dan melebihi derasnya air terjun yang yang
menghantam batu cadas. Sebuah lirik lawas barangkali masih bisa diingat :
“Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan, sayang engkau tak duduk di sampingku,
kawan.”
Ketika titik tuju sudah jelas, maka yang terpenting adalah
dengan siapa kita akan melakukan perjalanan itu. Kalau saja mau menyisihkan
sedikit jeda kesadaran, maka sebuah perjalanan fisik adalah miniatur hidup. Siapa
yang ada di sisi kita ketika kita menikmati panorama, ketika kita terjatuh,
terluka, dan lelah?. Tapi jika doktrin pragmatime telah begitu kuat menghujam
di tempurung kepala maka serahkan saja semuanya kepada Lonely Planet, komunitas
yang menjamur, atau bahkan The Naked Traveler.
Cemas dan ragu-ragu hanya boleh terjadi di luar pintu
keberangkatan, di bibir pantai yang airnya masih dangkal, di loket dengan
antrian yang cukup panjang. Di luar itu, tidak boleh terjadi lagi. Medan dan
jarak tempuh yang dilalui tidak boleh menyertakan ragam perasaan destruktif,
sebab berhenti atau mundur, berarti hancur.
***
Di titik ini, catatan tentang perjalanan adalah Kuda Troya
yang dibawa ke tengah kota demi menyusupkan pasukan pesan. Tapi jika yang
dianut adalah mazhab tersurat, aliran eksplisit, maka mari mendekat sayang,
biar kubisikkan : “Jika Tuhan adalah titik tuju, dengan siapa kamu ingin
menghabiskan hidup dan melewati saat-saat kematian?. [ ]
No comments:
Post a Comment