12 July 2012

Olva Mengintip di Jendela


Saya baru pindah pondokan, anak mahasiswa menyebutnya indekos, tapi karena sudah bukan mahasiswa lagi maka saya lebih senang menyebutnya pondokan alias tempat orang mondok, tempat orang tidur, tempat orang molor. 

Pondokan yang sekarang jauh dari keramaian, kecuali sore banyak anak-anak kecil main bola di bawah, dan sebagian lagi berlari-lari saja entah mengejar apa. Seperti biasa saya berada di lantai dua. Dari jendela kamar pemandangan lurus ke barat, ke arah hutan pinus yang tidak luas, tempat matahari bersembunyi sebelum tenggelam di sore hari. 

Di bawah jejeran pohon pinus terdapat kebun singkong yang menyatu dengan kebun pisang. Di sebelah kebun pisang ada kompleks kuburan, mungkin kuburan sebuah keluarga karena tidak luas seperti TPU pada umumnya. Di sebelah kamar saya juga masih ada kebun singkong yang tidak terurus tapi dipagar dan ada tulisan di depannya : “Dilarang membuang sampah dan barangkal.”

Lalu di bawah tulisan itu ada lagi tulisan yang lain : “Dilarang kencing di sini kecuali gogog”

Sunyi dan terasing. Rumah tetanggga yang jaraknya tidak terlalu dekat sering sepi juga, hanya anjing-anjing peliharaannya yang sering menggonggong entah menegur siapa. Maka dari pagi sampai petang yang terdengar hanya angin. Daun-daun pohon pinus, singkong, dan pisang semuanya bergoyangan seperti berusaha menghibur saya yang melihatnya dari jendela.

Sebenarnya jarak pondokan yang lama dengan yang sekarang tidak terlalu jauh, tapi karena yang dulu berdekatan dengan kamar para mahasiswa jadi suasananya ramai, tidak seperti sekarang para penghuni kamar yang lain sering tidak ada di kamarnya masing-masing.

Pondokan lama bangunannya sangat bersih, sedangkan yang sekarang tebal oleh debu, maklum jalan yang menuju ke pondokan belum diaspal, jadi saat kemarau seperti sekarang debunya beterbangan diterpa angin, dan sebaliknya ketika hujan datang tanahnya menjadi lumpur yang sering betah menempel di sandal dan sepatu. 

Melihat akses dan lingkungannya yang kurang kondusif bagi jiwa mahasiswa yang mayoritas sedang lincah-lincahnya menelan hidup, maka pantas saja pondokan saya yang sekarang kurang laku dan sepi. Dari 14 kamar, yang terisi hanya separuhnya. Itu pun semuanya bukan mahasiswa, tapi para pedagang, buruh, dan pengangguran.

Jika ada yang menyenangkan mungkin suasana sepi dan beranginnya, yang mengingatkan saya pada kampung halaman, pada tempat mula-mula yang sekarang jarang dikunjungi. Dan satu lagi adalah rahasia di balik jendela. Bukan jendela pondokan saya, tapi jendela kamarnya Olva yang sering saya lewati saat pergi ke mesjid. 

Olva pasti perempuan karena saya pernah melihatnya langsung. Sebenarnya nama perempuan itu mungkin bukan Olva karena saya belum pernah kenalan dan menyapanya, jadi hanya menebak saja, menebak nama gadis manis itu. 

Setiap orang harus punya nama, jadi daripada saya kasih nama nona X atau nona Y, maka lebih baik Olva saja. Dan itu sangat cocok dengan bentuk mukanya yang oval.

Pondokan saya cukup jauh jaraknya dengan masjid, harus melewati dulu rumah-rumah yang berjajar di Kompleks Keramik dan melewati gang besar yang cukup panjang. Dan sebelum jalan panjang itu berakhir di masjid, harus melewati dulu beberapa rumah penduduk yang rapi dan bersih. Salah satu rumah itu adalah rumahnya Olva. 

Pertama kali melihatnya dia hanya memakai celana pendek dan baju tanpa lengan. Setelah melihat saya yang ber-dresscode masjid, dia lalu masuk ke rumah dan mengintip saya dari jendela kamarnya. Saya yakin dia yang mengintip dari balik jendela itu, meskipun saya tidak melihatnya secara jelas. 

Terlebih karena hari berikutnya juga begitu, kalau melihat saya pergi ke mesjid dia langsung masuk rumah dan menyelinap ke kamar lalu mengintip lewat jendela.

Apakah mengintip adalah sebuah kesenangan? Jika mengintip seorang gadis yang sedang mandi mungkin iya, tapi itu kelakuan sangat purba dan penyaluran hasrat seks paling rendah. Tapi mengintip orang yang akan pergi ke mesjid di manakah letak kesenangannya?

Ah, mungkin ini hanya perasaan saya saja, atau penglihatan saya yang salah. Untuk lebih meyakinkan,  maka setiap ada kawan saya yang main ke pondokan, mereka saya suruh salat di mesjid dan “menyelidiki” seseorang yang ada di balik jendela itu. 

Kawan pertama yang datang ke pondokan adalah si Ngajat. Meskipun orangnya tidak hobi ke masjid, tapi untuk keperluan “penyelidikan” dia saya paksa sampai mau. Maka dia pun berangkat dengan hati yang mungkin dongkol. 

Sepulang dari masjid dia melapor bahwa benar apa yang saya katakan, ada perempuan bermuka oval yang ketemu di jalan kemudian perempuan itu masuk rumah dan mengintipnya di jendela. 

Meskipun orang yang di balik jendela itu tidak terlihat jelas alias samar, tapi sepertinya si Ngajat pun yakin bahwa orang itu adalah Olva, si pemilik wajah oval yang tadi ketemu di jalan di depan rumahnya. 

Merasa masih kurang yakin dengan satu saksi, maka saya suruh juga kawan yang lain,  yaitu si Kiki. Yang ini agak saleh sehingga tidak susah membujuknya untuk pergi ke masjid waktu azan Asar berkumandang. 

Pulang dari masjid, seperti biasa saya menerima laporan bahwa dia tidak bertemu dengan perempuan yang saya beri nama Olva itu, tapi dia melihat memang ada seseorang yang mengintipnya dari balik jendela. 

“ Huh, dasar perempuan pengintip, beraninya cuma dari balik jendela!” begitu gumam saya setelah menerima laporan si Kiki. 

Kawan-kawan saya yang lain, yang cukup banyak, juga kebagian tugas yang sama seperti si Ngajat dan si Kiki. Rata-rata laporannya sama yaitu ketemu atau tidak dengan Olva di luar rumah atau di jalan, yang pasti suka ada seseorang yang mengintip dari balik jendela yang cukup kusam itu. 

Yakinlah sudah bahwa saya tidak salan kasih nama perempuan itu, yaitu Olva si pengintip dari balik jendela.

Hari selanjutnya saya tidak menyuruh kawan-kawan lagi untuk pergi ke masjid, tapi saya sendiri yang melakukannya, dan si pengintip masih setia dengan perbuatannya. 

Suatu hari saat salat Zuhur baru selesai, di luar masjid telah ramai, telah banyak orang yang mengusung keranda jenazah yang ditutupi kain hijau dan di atasnya ada kembang-kembang yang dironce. 

Keranda jenazah itu kemudian dimasukkan ke masjid untuk disalatkan oleh jemaah yang baru selesai menunaikan salat Zuhur,  termasuk saya. Selesai disalatkan kemudian diiring ke tempat pemakaman yang berada di dekat pondokan saya.

Di antara para pengiring itu terdapat juga Olva si pengintip. “Oh, siapa gerangan yang meninggal sampai dia ikut segala?” begitu tanya saya dalam hati. 

Saya akan coba kenalan dan bertanya langsung padanya, tapi nanti jika acara pemakaman telah selesai. Di tengah upacara pemakaman yang khidmat, saya lihat Olva menangis dan tampaknya sangat terpukul dengan kepergian orang yang meninggal, entah siapanya orang yang wafat itu? 

Karena melihat kondisinya masih sedih, maka saya urungkan untuk berkenalan dan menundanya sampai dia benar-benar tegar dan ceria lagi. 

Dua minggu setelah pemakaman, saya tidak pernah lagi melihat Olva, juga sosok orang yang di balik jendela. Kemana orang itu? Kenapa saya tiba-tiba merindukannya? 

Sore hari selepas salat Asar, karena didorong rasa penasaran yang sangat, saya beranikan diri datang ke rumahnya. Biarin dibilang nekad juga yang penting saya bisa kenalan langsung dan menanyakan tentang sosok yang ada di balik jendela itu.

Karena tidak ada bel, maka saya ketuk pintu sambil bilang "sepadaa..," pintu pun terbuka dan saya disuruh masuk oleh seorang ibu yang pasti sudah tidak muda lagi. 

Darinya, dari ibu itu, saya tahu bahwa perempuan yang pertama kali saya lihat dulu memakai celana pendek dan baju tanpa lengan adalah anaknya. Dan ternyata namanya bukan Olva, tapi lebih panjang dan lebih keren, yaitu Maharani Putri Waskita. Ah, wajar saja saya salah karena asal tebak. Kini dia sedang tidak ada di rumah karena pergi ke Yogyakarta untuk kuliah di Universitas Gajah. 

Dan orang yang sering mengintip di jendela pun ternyata bukan dia, tapi ayahnya yang dua minggu lalu dikuburkan di komplek permakaman dekat pondokan saya.

Ibunya bercerita sambil matanya berkaca-kaca bahwa setiap kali azan berkumandang dan ada orang yang lewat untuk pergi ke masjid, pasti suaminya memperhatikan lewat jendela karena ingin seperti mereka, seperti orang-orang yang pergi ke masjid itu. 

Namun keinginan tinggal keinginan, karena suaminya tidak bisa berjalan lagi akibat lumpuh karena serangan setruk yang sudah datang lebih dari sekali. Ajal suaminya tiba ketika serangan setruk yang ketiga menghampirinya. 

Dan akhirnya ibu itu tidak bisa membendung air matanya lagi. Sedangkan hati saya gerimis mendengarkan kenyataan yang tidak diduga. 

Tiga bulan setelahnya, seperti biasa saya masih rajin pergi ke masjid, apalagi sekarang bulan Ramadan. Bulan saat masjid tiba-tiba menjadi sempit dan gerah karena orang-orang memenuhinya. Bulan ketika lagu-lagu religi laku keras. Bulan di mana acara-acara televisi berlomba bersolek dan menjual tayangan-tayangan beraroma surga. 

Di bulan banyak “perubahan” inilah untuk pertama kalinya semenjak ibu Olva bercerita, saya melihat lagi ada orang yang mengintip di balik jendela. Samar sekali. Entah siapa. [irf]


Kompleks Keramik, Sarijadi
Ramadan 1429 H/2008 M

No comments: