Pondokan yang sekarang jauh dari keramaian, kecuali sore banyak anak-anak kecil main bola di bawah, dan sebagian lagi
berlari-lari saja entah mengejar apa. Seperti biasa saya berada di
lantai dua. Dari jendela kamar pemandangan lurus ke barat, ke arah hutan
pinus yang tidak luas, tempat matahari bersembunyi sebelum tenggelam di
sore hari.
Di bawah jejeran pohon pinus terdapat kebun singkong yang menyatu
dengan kebun pisang. Di sebelah kebun pisang ada kompleks kuburan,
mungkin kuburan sebuah keluarga karena tidak luas seperti TPU pada
umumnya. Di sebelah kamar saya juga masih ada kebun singkong yang tidak
terurus tapi dipagar dan ada tulisan di depannya : “Dilarang membuang sampah dan barangkal.”
Lalu di bawah tulisan itu ada lagi tulisan yang lain : “Dilarang kencing di sini kecuali gogog”
Sunyi
dan terasing. Rumah tetanggga yang jaraknya tidak terlalu dekat sering
sepi juga, hanya anjing-anjing peliharaannya yang sering
menggonggong entah menegur siapa. Maka dari pagi sampai petang yang
terdengar hanya angin. Daun-daun pohon pinus, singkong, dan pisang
semuanya bergoyangan seperti berusaha menghibur saya yang melihatnya
dari jendela.
Sebenarnya
jarak pondokan yang lama dengan yang sekarang tidak terlalu jauh, tapi
karena yang dulu berdekatan dengan kamar para mahasiswa jadi suasananya
ramai, tidak seperti sekarang para penghuni kamar yang lain sering tidak
ada di kamarnya masing-masing.
Pondokan lama bangunannya sangat bersih,
sedangkan yang sekarang tebal oleh debu, maklum jalan yang menuju ke
pondokan belum diaspal, jadi saat kemarau seperti sekarang debunya
beterbangan diterpa angin, dan sebaliknya ketika hujan datang tanahnya
menjadi lumpur yang sering betah menempel di sandal dan sepatu.
Melihat
akses dan lingkungannya yang kurang kondusif bagi jiwa mahasiswa yang
mayoritas sedang lincah-lincahnya menelan hidup, maka pantas saja
pondokan saya yang sekarang kurang laku dan sepi. Dari 14 kamar, yang terisi hanya separuhnya. Itu pun semuanya bukan mahasiswa, tapi
para pedagang, buruh, dan pengangguran.
Jika ada yang menyenangkan mungkin suasana sepi dan beranginnya, yang
mengingatkan saya pada kampung halaman, pada tempat mula-mula yang
sekarang jarang dikunjungi. Dan satu lagi adalah rahasia di balik
jendela. Bukan jendela pondokan saya, tapi jendela kamarnya Olva yang
sering saya lewati saat pergi ke mesjid.
Olva pasti perempuan karena
saya pernah melihatnya langsung. Sebenarnya nama perempuan itu mungkin
bukan Olva karena saya belum pernah kenalan dan menyapanya, jadi hanya
menebak saja, menebak nama gadis manis itu.
Setiap orang harus punya
nama, jadi daripada saya kasih nama nona X atau nona Y, maka lebih baik
Olva saja. Dan itu sangat cocok dengan bentuk mukanya yang oval.
Pondokan
saya cukup jauh jaraknya dengan masjid, harus melewati dulu rumah-rumah
yang berjajar di Kompleks Keramik dan melewati gang besar yang cukup
panjang. Dan sebelum jalan panjang itu berakhir di masjid, harus
melewati dulu beberapa rumah penduduk yang rapi dan bersih. Salah satu
rumah itu adalah rumahnya Olva.
Pertama kali melihatnya dia hanya
memakai celana pendek dan baju tanpa lengan. Setelah melihat saya yang
ber-dresscode masjid, dia lalu masuk ke rumah dan mengintip saya dari
jendela kamarnya. Saya yakin dia yang mengintip dari balik jendela itu,
meskipun saya tidak melihatnya secara jelas.
Terlebih karena hari
berikutnya juga begitu, kalau melihat saya pergi ke mesjid dia langsung
masuk rumah dan menyelinap ke kamar lalu mengintip lewat jendela.
Apakah
mengintip adalah sebuah kesenangan? Jika mengintip seorang gadis yang
sedang mandi mungkin iya, tapi itu kelakuan sangat purba dan penyaluran
hasrat seks paling rendah. Tapi mengintip orang yang akan pergi ke
mesjid di manakah letak kesenangannya?
Ah, mungkin ini hanya perasaan
saya saja, atau penglihatan saya yang salah. Untuk lebih meyakinkan, maka setiap ada kawan saya yang main ke pondokan, mereka saya suruh
salat di mesjid dan “menyelidiki” seseorang yang ada di balik jendela
itu.
Kawan
pertama yang datang ke pondokan adalah si Ngajat. Meskipun orangnya
tidak hobi ke masjid, tapi untuk keperluan “penyelidikan” dia saya
paksa sampai mau. Maka dia pun berangkat dengan hati yang mungkin
dongkol.
Sepulang dari masjid dia melapor bahwa benar apa yang saya
katakan, ada perempuan bermuka oval yang ketemu di jalan kemudian
perempuan itu masuk rumah dan mengintipnya di jendela.
Meskipun orang
yang di balik jendela itu tidak terlihat jelas alias samar, tapi
sepertinya si Ngajat pun yakin bahwa orang itu adalah Olva, si pemilik
wajah oval yang tadi ketemu di jalan di depan rumahnya.
Merasa masih
kurang yakin dengan satu saksi, maka saya suruh juga kawan yang lain, yaitu si Kiki. Yang ini agak saleh sehingga tidak susah membujuknya untuk pergi ke masjid waktu azan Asar berkumandang.
Pulang
dari masjid, seperti biasa saya menerima laporan bahwa dia tidak bertemu
dengan perempuan yang saya beri nama Olva itu, tapi dia melihat memang ada seseorang yang mengintipnya dari balik jendela.
“ Huh, dasar
perempuan pengintip, beraninya cuma dari balik jendela!” begitu gumam
saya setelah menerima laporan si Kiki.
Kawan-kawan saya yang lain, yang
cukup banyak, juga kebagian tugas yang sama seperti si Ngajat dan si
Kiki. Rata-rata laporannya sama yaitu ketemu atau tidak dengan Olva di
luar rumah atau di jalan, yang pasti suka ada seseorang yang mengintip
dari balik jendela yang cukup kusam itu.
Yakinlah sudah bahwa saya tidak
salan kasih nama perempuan itu, yaitu Olva si pengintip dari balik jendela.
Hari
selanjutnya saya tidak menyuruh kawan-kawan lagi untuk pergi ke masjid,
tapi saya sendiri yang melakukannya, dan si pengintip masih setia
dengan perbuatannya.
Suatu hari saat salat Zuhur baru selesai, di
luar masjid telah ramai, telah banyak orang yang mengusung keranda
jenazah yang ditutupi kain hijau dan di atasnya ada kembang-kembang yang
dironce.
Keranda jenazah itu kemudian dimasukkan ke masjid untuk
disalatkan oleh jemaah yang baru selesai menunaikan salat Zuhur, termasuk saya. Selesai disalatkan kemudian diiring ke tempat pemakaman
yang berada di dekat pondokan saya.
Di antara para pengiring itu terdapat
juga Olva si pengintip. “Oh, siapa gerangan yang meninggal sampai dia
ikut segala?” begitu tanya saya dalam hati.
Saya akan coba kenalan dan
bertanya langsung padanya, tapi nanti jika acara pemakaman telah
selesai. Di tengah upacara pemakaman yang khidmat, saya lihat Olva
menangis dan tampaknya sangat terpukul dengan kepergian orang yang
meninggal, entah siapanya orang yang wafat itu?
Karena
melihat kondisinya masih sedih, maka saya urungkan untuk berkenalan dan menundanya sampai dia benar-benar tegar dan ceria lagi.
Dua
minggu setelah pemakaman, saya tidak pernah lagi melihat Olva, juga
sosok orang yang di balik jendela. Kemana orang itu? Kenapa saya
tiba-tiba merindukannya?
Sore hari selepas salat Asar, karena didorong rasa penasaran yang sangat, saya beranikan diri datang ke
rumahnya. Biarin dibilang nekad juga yang penting saya bisa kenalan
langsung dan menanyakan tentang sosok yang ada di balik jendela itu.
Karena tidak ada bel, maka saya ketuk pintu sambil bilang "sepadaa..," pintu
pun terbuka dan saya disuruh masuk oleh seorang ibu yang pasti sudah
tidak muda lagi.
Darinya,
dari ibu itu, saya tahu bahwa perempuan yang pertama kali saya lihat
dulu memakai celana pendek dan baju tanpa lengan adalah anaknya. Dan
ternyata namanya bukan Olva, tapi lebih panjang dan lebih keren, yaitu
Maharani Putri Waskita. Ah, wajar saja saya salah karena asal tebak.
Kini dia sedang tidak ada di rumah karena pergi ke Yogyakarta
untuk kuliah di Universitas Gajah.
Dan orang yang sering mengintip di jendela pun
ternyata bukan dia, tapi ayahnya yang dua minggu lalu dikuburkan di
komplek permakaman dekat pondokan saya.
Ibunya bercerita sambil matanya
berkaca-kaca bahwa setiap kali azan berkumandang dan ada orang yang
lewat untuk pergi ke masjid, pasti suaminya memperhatikan lewat jendela
karena ingin seperti mereka, seperti orang-orang yang pergi ke masjid
itu.
Namun keinginan tinggal keinginan, karena suaminya tidak bisa
berjalan lagi akibat lumpuh karena serangan setruk yang sudah datang
lebih dari sekali. Ajal suaminya tiba ketika serangan setruk yang
ketiga menghampirinya.
Dan akhirnya ibu itu tidak bisa membendung air
matanya lagi. Sedangkan hati saya gerimis mendengarkan kenyataan yang
tidak diduga.
Tiga
bulan setelahnya, seperti biasa saya masih rajin pergi ke masjid,
apalagi sekarang bulan Ramadan. Bulan saat masjid tiba-tiba menjadi
sempit dan gerah karena orang-orang memenuhinya. Bulan ketika lagu-lagu
religi laku keras. Bulan di mana acara-acara televisi berlomba bersolek
dan menjual tayangan-tayangan beraroma surga.
Di bulan banyak
“perubahan” inilah untuk pertama kalinya semenjak ibu Olva bercerita,
saya melihat lagi ada orang yang mengintip di balik jendela. Samar sekali. Entah siapa. [irf]
Ramadan 1429 H/2008 M
No comments:
Post a Comment