“Andaikan waktu adalah suatu lingkaran, yang mengitari dirinya
sendiri. Demikianlah, dunia mengulang dirinya sendiri, setepat-tepatnya,
dan selama-lamanya. (Alan Lightman)
Benarkah?.
***
Siapa
yang bisa memfosilkan waktu?. Kita hanya mendapati angka yang dikasih
tanda stabilo merah. Kata siapa waktu berulang?, yang serupa hanyalah
angka yang merekat di kalender usang. Menyaksikan orang yang
berulangtahun tidak seperti sedang melihat para pembalap yang
berkali-kali menyentuh garis finish tapi belum berhenti karena jumlah
lap belum terpenuhi semuanya, melainkan gambar utuh tentang perjalanan
menuju titik akhir. Kita bisa menggugat Alan Lightman yang pernah
menulis :
“Biasanya, orang tidak tahu bahwa mereka akan
menjalani kehidupan mereka kembali. Pedagang tidak tahu bahwa mereka
akan saling menawar lagi, dan lagi. Politikus tidak tahu bahwa mereka
akan berseru dari mimbar berulang-ulang dalam putaran waktu. Orangtua
menikmati sepuas-puasnya tawa pertama anak-anak mereka seolah-olah tak
akan terdengar lagi. Sepasang kekasih yang pertamakali bermain cinta
malu-malu melepas busana. Bagaimana gerangan mereka tahu bahwa tiap
kerlingan rahasia, tiap sentuhan, akan terulang lagi tanpa henti, persis
seperti sebelumnya?.”
Sebentar, bukankah yang terulang
itu adalah aktivitas?. Benarkah waktu bisa berulang?. Kue cantik yang
terasa manis oleh gula dan ucapan selamat dari relasi publik dan
orang-orang tercinta adalah alarm yang begitu nyata, bahwa kita semakin
menjauhi pangkal dan mendekati ujung. Tapi memang itu semua semacam
ekstrak ramuan berkhasiat yang disimpan dalam tablet hisap abadi yang
selalu mengingatkan bahwa kita tidak pernah benar-benar hidup sendirian.
Atau
barangkali sejenis obat ampuh bagi rutinitas yang bosannya jarang
melepuh. Ya, seperti kata Muhidin M. Dahlan : “Kerap rutinitas memang
membuat selera manusia merosot. Yang ada adalah sebuah ritual yang sudah
kehilangan kesan yang mendalam. Biasa-biasa saja. Karena itu
membosankan. Setiap ritual pasti membosankan kalau seseorang tidak mampu
menangkap sesuatu yang menarik dalam rutinitas itu.”
Apapun
itu, yang jelas kini tanggal dan bulan itu datang lagi. Menyapa lagi.
Sama seperti tahun kemarin. Dan kemarin lagi. Dan kemarinnya lagi.
Menimbang
ulangtahun artinya menimbang sudut pandang. Bukan bermaksud menggiring
pada perspektif khotbah, bukan pula mengajak menakar ulang setiap
perayaan yang begitu manis sampai tetes terakhir ke arah kutub
konservatif. Tapi barangkali semacam sebuah lemparan pertanyaan yang
tidak memerlukan jawaban. Sebab kuncinya sudah jelas. Sejelas tulisan
Dewi Lestari yang sudah sering di repost di kanal-kanal catatan jejaring
social:
“Lilin merah berdiri megah di atas glazur, kilau
apinya menerangi usia yang baru berganti. Namun, seusai disembur nafas,
lilin tersungkur mati di dasar tempat sampah. Hangat nyalanya sebatas
sumbu dan usailah sudah. Sederet do’a tanpa api menghangatkanmu di
setiap kue hari, kalori bagi kukuatan hati yang tak habis dicerna usus.
Lilin tanpa sumbu menyala dalam jiwa, menerangi jalan setapakmu ketika
dunia terlelap dalam gelap. Berbahagialah, sesungguhnya engkau mampu
berulang tahun setiap hari.”
Mei selalu menyala di awal.
Jutaan buruh di seluruh penjuru dunia kerap turun ke jalan mengusung
aspirasi dan pesan. Akankah nyalanya bersisa sampai di ujung?. Ah,
barangkali boleh juga mengucapkan : “Selamat tanggal 31 Mei.” [ ]
No comments:
Post a Comment