Kepada kawan
Muhidin :
Sekalipun
kita belum pernah bertemu secara fisik, tapi setidaknya kita berkawan di
jejaring sosial, maka boleh kiranya Bung saya panggil “kawan”. Dengan ini saya
sampaikan, bahwa saya dalam keadaan sadar boleh kiranya menulis ulang beberapa
paragraph apa yang telah Bung catatkan di buku memoar bergambar pemuda berambut
gondrong membawa tumpukan buku pada sepeda hitam. Alasannya tak lebih, mungkin
sama dengan Bung, bahwa saya pun percaya
dengan kata-kata Hannah Arendt. Bahkan judul pun saya ambil punya Bung, entah
apa namanya, entah napak tilas atau apa, yang jelas buku yang saya beli di
tengah tahun 2004 itu kini telah begitu rusak, hampir semua lembar halaman
telah terlepas dari punggung buku, telah begitu ramai dengan stabilo aneka
warna, dan sekaligus begitu saya cintai.
***
Saya tidak
tahu, apakah ini perayaan stagnasi, atau memang obat yang tak tergantikan.
Nyatanya saya (selalu) kembali lagi ke buku itu.
***
Ambillah apa
yang kamu ingini kawan!!. Semua barang-barang absurd di ruangan ini. Deretan
buku dan tumpukan koran itu. Cukuplah aku memiliki onggokan jasadku yang lapuk
ini, yang suatu saat juga akan kubuang ke liang gelap kuburan. Aku tak punya
apa-apa selain ruh. Ya, ruh itulah yang aku selamatkan. Ruh itu boleh bernama
qalbu, nurani, ataupun kesadaran transendensi.
Kalaupun
masih ada kabar baik, mungkin kabar itu berbunyi begini : aku masih dikaruniai
kemampuan menulis. Ya, aku hanya bisa menulis ketika beberapa waktu ini aku
diserang stagnasi yang membuatku terhempas dalam ruangan yang amat sempit.
“Guslag” yang amat menyakitkan.
Semua relasi
publik yang pernah kupunyai seakan-akan terengkuh dalam putus dan tak mungkin
disambung lagi. Naluri ke-kita-an itu entah kenapa tak bisa kurajut. Menguap
entah ke mana. Tak banyak sebenarnya yang kudamba. Tak banyak yang kuharapkan.
Karena memang, di ambang batas harapan seperti ini apa sih yang menjadi harapan
yang paling signifikan?.
Mataku hanya
bisa nanar melihat larat-larat yang ditulis Ernest Cassirer dan Kierkegaard : “Manusia
menghayati dirinya yang uniqum bukanlah dengan jalan menghindari kebersamaan,
melainkan justru bersama dengan yang lain-lain.” Mungkin aku akan ditertawakan
Kiekeergard, Burber, Heidegeer, Fromm, Liang, karena aku telah terjerumus dalam
patologi isolasionisme.
***
Siapapun
mempunyai ego. Termasuk saya!.
***
Kecemasan,
ragu-ragu, menjadi cerita tersendiri dalam ruang diskursus psikologi modern.
Kata itu berarti pula rajutan perasaan yang bimbang menuju spasi rasa
berikutnya. Tapi ironi. Karena di tengah gerundukan kecemasan, bisa jadi ia
membawa petaka bagi pelakunya. Yakni sebuah situasi yang tak pernah terarah,
chaostic. Maka jadilah manusia itu terombang-ambing. Tak punya tujuan. Tak
pasti. Inkonsistensi. Bikin pusing orang. Dan, mungkin membuat gila (majnun).
Ia tidak
meyakini lagi bahwa masadepan itu ada. Semuanya absurd. Mambang. Dan satu sikap
yang paling menonjol kelihatan, yakni bersoliloqui. Seuntai sikap yang bergumam
sendiri dalam geremengan sembari berjuang membuka katub kesadarannya untuk
berdialog ulang dengan masadepan. Juga berpeluh untuk berdialog dengan kekasih
yang dengan itu ia seperti orang yang mabuk.
Sampai di
sini kecemasan berubah menjadi situasi yang amat positif, tak lagi semacam
death anxiety (kelainan jiwa). Karena kecemasan itulah yang mengantarkannya
pada statiun reflektif untuk mengurai pilihan. Ya, memilih terkadang butuh
perenungan, refleksi sebelum memutuskan sesuatu. Bahkan Tuhan sendiri lewat tangan
nabinya menyiapkan sebuah instrumen ritualistik metafisis untuk itu (shalat
Istikharah).
Toh
kecemasan juga masih dalam variable ruang. Makanya ia mesti berbatas. Soal
kapan batas itu tercapai---bahkan terlewati---itu persoalan waktu.
Asalkan saja
kecemasan itu jangan sampai tak kembali ke rumahnya. Bila itu terjadi, maka ia bisa liar dan
anarki, memporak-porandakan pertahanan akal sehat. Kepulangan itulah membawa
sinyal kehadiran : berusaha menghadirkannya, tak sebatas mendefinisikannya. Penghadiran
oleh para filsuf Muslim disebut “hudhuri” dan Martin Buber menamakannya “making
present”.
Proses
seperti itulah aku berusaha melakukan laku panjang yang terkadang keluar dari
mainstream modernitas. Ya, modernitas telah menghilangkan pentingnya
“penghadiran” itu, dan lebih mementingkan “definisi”.
***
Dan selalu
ada batu di sekitar bangunan yang tidak selesai. [ ]
No comments:
Post a Comment