“Larung”, novel kedua Ayu Utami yang mula-mula
terbit di tahun 2001, dalam pekan ini akan segera terbit di Jerman. Horlemann
Verlag, penerbit yang telah lama banyak menerbitkan karya para penulis
Indonesia, kali ini juga yang akan menerbitkan “Larung”. Sebelumnya kisah
lanjutan dari novel “Saman” ini telah diterjemahkan ke bahasa Belanda.
Saman, adalah seorang bekas pastor Katolik
yang menjadi aktifis pergerakan di masa rezim Orde Baru. Ia berhubungan dengan
empat orang perempuan (Yasmin, Cok, Shakuntala, dan Laila) yang bersahabat
sejak mereka kecil. Para perempuan itu membantunya melarikan diri ke luar
negeri, sebab ia diburu kaki tangan kekuasaan rezim militer.
Novel “Saman”
yang terbit tahun 1998, berhasil mendapatkan penghargaan Novel Terbaik Dewan
Kesenian Jakarta 1998, dan Ayu Utami sendiri mendapat Prince Claus Award 2000
dari Prince Claus Fund, yaitu sebuah yayasan yang mempunyai misi mendukung dan
memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan, yang bermarkas di Den
Haag, Belanda.
Penjualan novel “Saman” juga mengagumkan, buku
itu menjadi bestseller nasional, dan telah dicetak ulang lebih dari 32 kali.
Novel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Jepang, Inggris,
Prancis, Italia, Ceko, Korea, dan Ethiopia.
Tiga tahun setelah lahirnya “Saman”, Ayu
melanjutkan kisah pelarian pastor Katolik tersebut. Pada novel “Larung”, Saman
telah tinggal di New York dan bekerja di Human Right Watch. Bersama
Larung--seorang pemuda misterius, Saman dan Yasmin hendak menyelamatkan tiga
orang mahasiswa yang tengah diburu rezim militer. Namun karena karakter Larung
yang tak mudah ditebak, maka misi penyelamatan itu cukup membahayakan.
“Larung” tak bisa dilepaskan dari “Saman”,
sebab keduanya sebagai sebuah bangunan utuh tentang secuplik kisah orang-orang
yang berusaha tetap bersuara di tengah rezim yang mengekang. Selain itu, pada
dua kisah ini, Ayu Utami juga menyampaikan hal-hal tabu dalam berbahasa,
terutama seks, yang selama ini dianggap sebagai wilayah terlarang.
Pilihan daya ungkap ini tak pelak mengundang
pro dan kontra dari masyarakat. Seorang penyair sempat menyebutnya sebagai
“Sastra selangkangan” dan “Sastra lendir”. Namun begitulah tabiatnya, sebuah
karya yang dipublikasikan ke khalayak ramai, layaknya seorang anak yang dilepas
ke jalanan yang keras. Ia berpeluang diserang dan terlibat perkelahian yang
sengit.
Hari-hari ini, “Larung” bersiap terbit di
Jerman. Dan perjalanan Saman, Yamin, juga Larung belum berhenti. Mereka kembali
menjelajah, menyampaikan sepotong kisah tentang Indonesia yang pernah koyak di
bawah rezim militer. Anggap saja penerbitan ini awal dari melarung “Larung” ke
samudera luas. Barangkali suaranya akan hinggap juga ke pojok-pojok terjauh
dunia. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment