Sehari pasca pembubaran paksa oleh berbagai ormas seperti
FPI, PUI, dan Laskar Fisabililah , akhirnya kemarin (24/3/2016) pentas monolog
Tan Malaka berhasil digelar dengan aman. Acara yang diselenggarakan di IFI
Bandung itu berlangsung di bawah penjagaan ketat aparat keamanan dan beberapa
LSM yang mendukung acara seperti AMS, Jangkar, dan Pekat.
Gelaran yang sejatinya akan dipentaskan dalam dua hari
berturut-turut, yaitu tanggal 23-24 Maret 2016, pukul 20.00 wib, akhirnya hanya
digelar satu hari, namun tetap mementaskan dua kesempatan, yaitu pukul 16.00
dan 20.00 wib.
Sedari siang, sekira pukul 14.00 suasana di sekitar IFI
cukup tegang. Ratusan aparat keamanan yang berjaga dikagetkan oleh kira-kira 20
rombongan kendaraan bermotor yang melintas di Jl. Purnawarman (depan IFI)
sambil menyalakan knalpot bising. Mereka kemudian masuk ke pelataran parkir BEC
(Bandung Electronic Centre), dan sesaat berselang keluar lagi menuju jalan Jl.
Purnawarman sambil terus menggeber gas yang menimbulkan suara knalpot bising.
Polisi yang berjaga akhirnya menangkap dan membawa mereka ke kantor dengan
truk. Motor yang mereka pakai dibawa serta oleh para petugas.
Monolog Tan Malaka yang sempat tertunda, semula akan
dihadiri oleh Walikota Bandung Ridwan Kamil sebagai penjamin tidak akan
dibubarkan lagi oleh ormas, namun sampai acara dimulai beliau tidak kunjung
datang. Selama pementasan situasi di dalam dan di luar panggung relatif
kondusif. Menurut Ahda Imran, penulis naskah, Ridwan Kamil memang rencananya
mau hadir, namun karena terbentur banyak kesibukan, akhirnya pementasan
berjalan tanpa menunggunya.
“Saya Rusa Berbulu Merah” yang menjadi tajuk monolog,
sepanjang pementasan tidak menyisakan fragmen yang riskan dan rawan dengan isu bahaya
laten komunis yang ditakutkan para penentang acara. Malah dalam satu
kesempatan, Tan Malaka yang diperankan oleh aktor Joind Bayuwinanda menyebutkan
bahwa dia menentang pendapat para kamerad komunis terkait Pan-Islamisme ketika
berpidato pada Kongres Komunis Internasional ke-4 pada tanggal 22 November
1922.
Pan-Islamisme yang oleh para kamerad perlu untuk dilawan,
menurut Tan Malaka malah sebaliknya. Tan beranggapan bahwa sebagai sebuah
gerakan, Pan-Islamisme juga menentang imprealisme dan kolonialisme, malah dia
juga mendadarkan hubungan kerjasama antara Sarekat Islam dan dan partainya di
Nusantara.
Di luar itu, alur kisah dalam Monolog Tan Malaka
menjelentrehkan riwayat dan nasib anak bangsa yang menjadi korban revolusi yang
ia perjuangkan. Sosok Tan yang menghendaki kemerdekaan 100% dan enggan
berunding dengan pihak Belanda yang ia anggap sebagai maling, membuatnya
tersisih dari konstelasi politik di awal kemerdekaan.
Ketika proklamasi kemerdekan telah dibacakan, Tan sempat
bertemu dengan para pemimpin republik yang lain, yang dalam pementasan Tan
menyebutnya sebagai “para pesohor”, dan ia menentang rencana para pesohor yang
langkah-langkah politiknya membuat republik yang masih bayi itu tidak memiliki
kedaulatan ekonomi.
Tan kalah. Suaranya tak didengar. Ia akhirnya memilih
bergabung dengan para pemuda dan rakyat untuk menempuh perang gerilya. Tipu
muslihat Belanda yang membonceng pasukan sekutu untuk kembali mengusai
Indonesia, ia cium gelagatnya. Bergabungnya Tan dengan laskar dan para gerilyawan
kemudian dianggap menggembosi kepemimpinan republik, akhirnya ia dimusuhi oleh
kawan seperjuangannya.
Meski pementasan molonog hanya berhenti di titik ketika Tan
Malaka semakin menjauhi lingkaran para pemimpin republik, namun sejatinya Tan
Malaka sendiri tewas ditembak oleh tentara dari sebuah republik yang ia citakan
dan perjuangkan.
Dilihat dari sana, Monolog Tan Malala “Saya Rusa Berbulu
Merah” sesungguhnya tak menyisakan sedikit pun ruang untuk dijadikan bahan kekhawatiran
dan penolakan para ormas beratribut Islam. Alih-alih melahirkan kecemasan,
pementasan ini malah kontekstual untuk dijadikan bahan perenungan dan evaluasi,
tentang sejarah yang tidak bertabiat hitam-putih, juga tentang kedaulatan
ekonomi yang hari-hari ini cukup rawan.
Dan di atas segalanya, Monolog Tan Malaka lengkap dengan
insiden penolakan, menggambarkan satu kondisi tentang sebagian masyarakat yang
kurang membaca dan melek sejarah, juga tentang Bandung sebagai sebuah kota dan
Indonesia pada umumnya, yang masih ringkih menghadapi perbedaan dan belum
sepenuhnya siap dengan watak demokrasi. [ ]
No comments:
Post a Comment