Pesan dan keinginan siswa SDN Sukasari 01, Bogor. TIRTO/Andrey Gromico |
Salah satu baris dalam naskah sastra Sunda kuna berjudul Carita Parahyangan yang digubah pada akhir abad-16 berbunyi: “Sadatangna sang apatih ka galunggung, carek Batara Ngiang guru: "Na naha beja siya, sang apatih?"
Pada baris di atas, menyelinap kata “siya” atau “sia”. Dalam bahasa Sunda kiwari, kata “sia” dianggap sebagai bahasa Sunda kasar yang tidak pantas digunakan dalam percakapan resmi/formal, juga tidak layak digunakan saat berbicara dengan orang yang lebih tua. Namun naskah sastra klasik Sunda malah menggunakan kata “sia”.
Penjelasan tata krama mungkin bisa diajukan: bahwa di situ Batara Ngiang Guru yang berbicara, sehingga ia berhak menggunakan kata-kata yang hari ini terasa kasar kepada siapa saja. Namun simaklah petikan naskah Para Putera Rama dan Rawana, yang disusun sebagai lampiran kisah Ramayana, yang diperkirakan digubah pada abad 16:
“Ongkarana sangtabéan/ pukulun sembah rahayu/ aing dék nyaksi ka beurang/ aing dék nyangsi ka peuting/ candra wulan aditia/ deungeun sanghiang akasa/ kalawan hiang pretiwi/ ka batara Nagaraja/ ka nusia Awak Larang/ ka luhur ka sang Rumuhun/ nusia Larang di manggung.”
Petikan yang berasal dari baris 1-11 itu bahkan menggunakan kata “aing” saat sedang berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Sekali lagi: kata “aing”. Padahal kata “aing”, dalam cita rasa kiwari, dianggap sebagai bahasa Sunda kasar dan tidak pantas digunakan kepada orang tua atau orang yang terhormat atau dalam percakapan formal. Lha ini malah kata “aing” digunakan dalam doa?
Pada baris di atas, menyelinap kata “siya” atau “sia”. Dalam bahasa Sunda kiwari, kata “sia” dianggap sebagai bahasa Sunda kasar yang tidak pantas digunakan dalam percakapan resmi/formal, juga tidak layak digunakan saat berbicara dengan orang yang lebih tua. Namun naskah sastra klasik Sunda malah menggunakan kata “sia”.
Penjelasan tata krama mungkin bisa diajukan: bahwa di situ Batara Ngiang Guru yang berbicara, sehingga ia berhak menggunakan kata-kata yang hari ini terasa kasar kepada siapa saja. Namun simaklah petikan naskah Para Putera Rama dan Rawana, yang disusun sebagai lampiran kisah Ramayana, yang diperkirakan digubah pada abad 16:
“Ongkarana sangtabéan/ pukulun sembah rahayu/ aing dék nyaksi ka beurang/ aing dék nyangsi ka peuting/ candra wulan aditia/ deungeun sanghiang akasa/ kalawan hiang pretiwi/ ka batara Nagaraja/ ka nusia Awak Larang/ ka luhur ka sang Rumuhun/ nusia Larang di manggung.”
Petikan yang berasal dari baris 1-11 itu bahkan menggunakan kata “aing” saat sedang berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Sekali lagi: kata “aing”. Padahal kata “aing”, dalam cita rasa kiwari, dianggap sebagai bahasa Sunda kasar dan tidak pantas digunakan kepada orang tua atau orang yang terhormat atau dalam percakapan formal. Lha ini malah kata “aing” digunakan dalam doa?
Undak Usuk Basa sebagai Perkara Kekuasaan
Beni Sastrawidjaya, seorang penganut kepercayaan Sunda Wiwitan yang
tinggal di Belanda, menampik untuk menggunakan bahasa Sunda versi
kiwari. Kepada Hendi Jo, penulis buku-buku sejarah, Beni menjelaskan alasannya: ”Bahasa yang sekarang dipakai itu bahasa Sunda versi penjajah.”
Bahasa Sunda yang sekarang mengenal undak usuk basa, atau tingkatan berbahasa, juga tata krama berbahasa, mengatur bagaimana cara berkomunikasi dengan orang lain berdasarkan usia, pangkat dan jabatan, atau bahkan garis keturunan, dll. Undak usuk basa adalah hasil interaksi kebudayaan yang, dalam banyak segi, berlangsung dengan tidak seimbang. Dikatakan tidak seimbang karena, salah satunya, melibatkan kekuasaan politik. Kekuasaan yang dimaksud adalah Mataram Islam dan kolonialisme Belanda.
Sobana Hardjasaputra dalam buku Seri Sundalana: Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda menerangkan bahwa pada mulanya Priangan hanya terdapat dua daerah yang berdiri sendiri, yaitu Sumedang dan Galuh. Pada 1595 Galuh dikuasai oleh Mataram di bawah pemerintahan Panembahan Senopati. Lalu setelah kekuasaan Mataram beralih ke tangan Sultan Agung, Sumedang pun berserah diri kepada Mataram. Pada perjalanannya, pembagian wilayah Priangan mengalami beberapa perubahan. Pasca pemberontakan Dipati Ukur, berdasarkan Piagam Sultan Agung, Priangan di luar Galuh terdiri dari Sumedang, Sukapura, Bandung, dan Parakan Muncang.
Salah satu dampak dari kekuasaan Mataram di tatar Sunda adalah mulai berubahnya corak produksi. Jika sebelumnya corak produksi masyarakat Sunda cenderung berladang, membangun huma, dan sekaligus berpindah-pindah, maka kekuasaan Jawa mengenalkan corak produksi sawah yang menetap. Dampak perubahan corak produksi itu membuat egaliterianisme sosial dalam masyarakat ladang berpindah karena memerlukan kerja-kerja komunal yang penuh gotong royong dalam suatu sistem kekerabatan, digantikan oleh hierarki sosial yang makin tegas.
Hierarki sosial itu ditegaskan secara konkrit, salah satunya, melalui bahasa. Bahasa Sunda yang sebelumnya tidak mengenal stratifikasi, pelan-pelan mulai mengenal tingkatan yaitu halus, sedang dan kasar. Hal ini melanjutkan, atau mencerminkan, hierarki bahasa yang juga sudah lebih dulu dikenal di pusat-pusat kekuasaan Mataram di Jawa.
Mikihiro Moriyama dalam Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 menulis, “Orang-orang Sunda sangat terpengaruh kebudayaan Jawa setelah pada abad ke-17 mereka ditaklukkan oleh tetangganya, raja Jawa dari Mataram. Bukan hanya ranah kesenian, tapi juga administrasi pemerintahan, gaya hidup, dan bahasa yang terkena dampaknya: selama hampir duaratus tahun kesusastraan Sunda berkembang menurut estetika Jawa.”
Kendati kekuasaan Mataram tidak bersifat langsung, namun korespondensi penguasa di Priangan dengan Mataram berlangsung dalam bahasa Jawa yang sudah mengenal hierarki. Bahasa Jawa yang hierarkis itu dianggap perlu dikuasai dan bahkan menjadi ukuran kebangsawanan seseorang. Moriyama menyebut bahwa para menak Sunda menggunakan bahasa Jawa karena pertimbangan gengsi.
Bahasa Sunda yang sekarang mengenal undak usuk basa, atau tingkatan berbahasa, juga tata krama berbahasa, mengatur bagaimana cara berkomunikasi dengan orang lain berdasarkan usia, pangkat dan jabatan, atau bahkan garis keturunan, dll. Undak usuk basa adalah hasil interaksi kebudayaan yang, dalam banyak segi, berlangsung dengan tidak seimbang. Dikatakan tidak seimbang karena, salah satunya, melibatkan kekuasaan politik. Kekuasaan yang dimaksud adalah Mataram Islam dan kolonialisme Belanda.
Sobana Hardjasaputra dalam buku Seri Sundalana: Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda menerangkan bahwa pada mulanya Priangan hanya terdapat dua daerah yang berdiri sendiri, yaitu Sumedang dan Galuh. Pada 1595 Galuh dikuasai oleh Mataram di bawah pemerintahan Panembahan Senopati. Lalu setelah kekuasaan Mataram beralih ke tangan Sultan Agung, Sumedang pun berserah diri kepada Mataram. Pada perjalanannya, pembagian wilayah Priangan mengalami beberapa perubahan. Pasca pemberontakan Dipati Ukur, berdasarkan Piagam Sultan Agung, Priangan di luar Galuh terdiri dari Sumedang, Sukapura, Bandung, dan Parakan Muncang.
Salah satu dampak dari kekuasaan Mataram di tatar Sunda adalah mulai berubahnya corak produksi. Jika sebelumnya corak produksi masyarakat Sunda cenderung berladang, membangun huma, dan sekaligus berpindah-pindah, maka kekuasaan Jawa mengenalkan corak produksi sawah yang menetap. Dampak perubahan corak produksi itu membuat egaliterianisme sosial dalam masyarakat ladang berpindah karena memerlukan kerja-kerja komunal yang penuh gotong royong dalam suatu sistem kekerabatan, digantikan oleh hierarki sosial yang makin tegas.
Hierarki sosial itu ditegaskan secara konkrit, salah satunya, melalui bahasa. Bahasa Sunda yang sebelumnya tidak mengenal stratifikasi, pelan-pelan mulai mengenal tingkatan yaitu halus, sedang dan kasar. Hal ini melanjutkan, atau mencerminkan, hierarki bahasa yang juga sudah lebih dulu dikenal di pusat-pusat kekuasaan Mataram di Jawa.
Mikihiro Moriyama dalam Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 menulis, “Orang-orang Sunda sangat terpengaruh kebudayaan Jawa setelah pada abad ke-17 mereka ditaklukkan oleh tetangganya, raja Jawa dari Mataram. Bukan hanya ranah kesenian, tapi juga administrasi pemerintahan, gaya hidup, dan bahasa yang terkena dampaknya: selama hampir duaratus tahun kesusastraan Sunda berkembang menurut estetika Jawa.”
Kendati kekuasaan Mataram tidak bersifat langsung, namun korespondensi penguasa di Priangan dengan Mataram berlangsung dalam bahasa Jawa yang sudah mengenal hierarki. Bahasa Jawa yang hierarkis itu dianggap perlu dikuasai dan bahkan menjadi ukuran kebangsawanan seseorang. Moriyama menyebut bahwa para menak Sunda menggunakan bahasa Jawa karena pertimbangan gengsi.
Kemurnian Sunda yang Ditentukan Kolonialisme
Dennys Lombard, dalam jilid ketiga mahakarya Nusa Jawa: Warisan Kerajaan Konsentris,
menyebut bahwa hierarki bahasa di tlatah Jawa ini sangat kuat. Bahasa
Jawa, bahasa Madura, dan bahasa Sunda, kata Lombard, berbeda dengan
tingkatan bahasa di wilayah-wilayah lainnya di dunia. Jika di tempat
lain, masih menurut Lombard, tingkatan tersebut umumnya terbatas pada
pemakaian beberapa kata ganti yang khusus, namun dalam tiga bahasa tadi
keseluruhan wacana lisan ditandai perbedaan tingkat.
Kesaksian Tome Pires, pelancong yang mencatat perjalanannya ke berbagai belahan dunia dalam karya legendaris Suma Oriental, memberi kesaksian soal ini. Katanya: "Tidak ada tempat lain di dunia yang sifat angkuhnya menonjol sedahsyat di (pulau) Jawa yang mempunyai dua bahasa, yang satu dipakai oleh kaum bangsawan dan yang lain oleh rakyat."
Sejumlah sarjana Belanda melanjutkan, sekaligus melampaui, tilasan feodalisme Jawa itu dalam merancang suatu bahasa Sunda baku untuk dijadikan standar. Dikatakan "melampaui" karena sarjana-sarjana Belanda kemudian meyakini bahwa bahasa Sunda tidak semata dialek dari bahasa Jawa, melainkan bahasa yang mandiri. Gagasan kemurnian bahasa Sunda menguar dari sini.
Cendekiawan Sunda sebenarnya juga terobsesi dengan gagasan kemurnian berbahasa ini. Mohammad Moesa, sastrawan Sunda dan Penghulu Besar di Kabupaten Limbangan yang hidup pada abad-19, mengeluhkan bahasa Sunda yang dianggapnya "tidak bersih" (basana tatjan beresih) karena kelewat banyak dipengaruhi oleh bahasa Jawa, Melayu bahkan Arab. Ia percaya bahwa bahasa Sunda sangat kaya dan sudah ada jauh sebelum Jawa, Melayu atau Arab menancapkan pengaruhnya (basa asal nini aki).
Dari sanalah dimulai proyek kebudayaan merancang standar bahasa Sunda untuk digunakan dalam buku-buku pengajaran bahasa yang diperlukan untuk melatih para menak Sunda agar siap pakai dalam tata administrasi kolonial pada abad 19. Mereka lalu mengatur suatu bahasa Sunda yang baik dan benar untuk diajarkan kepada masyarakat Sunda. Strata krama inggil-krama madya-ngoko dalam bahasa Jawa diadaptasi menjadi lemes-sedeng-kasar dalam bahasa Sunda.
Pada 1872, pemerintah kolonial menyatakan bahwa bahasa Sunda yang murni adalah bahasa Sunda yang digunakan di Bandung. Bahasa Sunda Bandung, bersama bahasa Jawa yang dituturkan di Surakarta, bahasa Batak di Mandailing, dan bahasa Melayu yang dituturkan di Malaka dan Kepulauan Riau, ditetapkan sebagai bahasa pendidikan di sekolah-sekolah pribumi Belanda (Peran kamus amat menentukan dalam standarisasi bahasa ini.
Dengan lahirnya standar undak usuk basa Sunda yang mengacu pada strata bahasa Jawa, maka bahasa di luarnya dinilai kasar dan tidak beraturan. Bahasa yang mengikuti standarlah yang dianggap bernilai tinggi untuk digunakan orang Sunda. Rintisan para intelektual Belanda itulah yang terus dipertahankan masyarakat Sunda hingga sekarang (Iip Dzulkifli Yahya, "Tradisi Ngalogat di Pesantren Sunda" dalam Politik & postkolonialitas di Indonesia, hal. 287)
Situasi ini menegaskan ironi pahit: dialek yang dinyatakan paling benar ditentukan bukan oleh penuturnya melainkan oleh penguasa kolonial.
Kesaksian Tome Pires, pelancong yang mencatat perjalanannya ke berbagai belahan dunia dalam karya legendaris Suma Oriental, memberi kesaksian soal ini. Katanya: "Tidak ada tempat lain di dunia yang sifat angkuhnya menonjol sedahsyat di (pulau) Jawa yang mempunyai dua bahasa, yang satu dipakai oleh kaum bangsawan dan yang lain oleh rakyat."
Sejumlah sarjana Belanda melanjutkan, sekaligus melampaui, tilasan feodalisme Jawa itu dalam merancang suatu bahasa Sunda baku untuk dijadikan standar. Dikatakan "melampaui" karena sarjana-sarjana Belanda kemudian meyakini bahwa bahasa Sunda tidak semata dialek dari bahasa Jawa, melainkan bahasa yang mandiri. Gagasan kemurnian bahasa Sunda menguar dari sini.
Cendekiawan Sunda sebenarnya juga terobsesi dengan gagasan kemurnian berbahasa ini. Mohammad Moesa, sastrawan Sunda dan Penghulu Besar di Kabupaten Limbangan yang hidup pada abad-19, mengeluhkan bahasa Sunda yang dianggapnya "tidak bersih" (basana tatjan beresih) karena kelewat banyak dipengaruhi oleh bahasa Jawa, Melayu bahkan Arab. Ia percaya bahwa bahasa Sunda sangat kaya dan sudah ada jauh sebelum Jawa, Melayu atau Arab menancapkan pengaruhnya (basa asal nini aki).
Dari sanalah dimulai proyek kebudayaan merancang standar bahasa Sunda untuk digunakan dalam buku-buku pengajaran bahasa yang diperlukan untuk melatih para menak Sunda agar siap pakai dalam tata administrasi kolonial pada abad 19. Mereka lalu mengatur suatu bahasa Sunda yang baik dan benar untuk diajarkan kepada masyarakat Sunda. Strata krama inggil-krama madya-ngoko dalam bahasa Jawa diadaptasi menjadi lemes-sedeng-kasar dalam bahasa Sunda.
Pada 1872, pemerintah kolonial menyatakan bahwa bahasa Sunda yang murni adalah bahasa Sunda yang digunakan di Bandung. Bahasa Sunda Bandung, bersama bahasa Jawa yang dituturkan di Surakarta, bahasa Batak di Mandailing, dan bahasa Melayu yang dituturkan di Malaka dan Kepulauan Riau, ditetapkan sebagai bahasa pendidikan di sekolah-sekolah pribumi Belanda (Peran kamus amat menentukan dalam standarisasi bahasa ini.
Dengan lahirnya standar undak usuk basa Sunda yang mengacu pada strata bahasa Jawa, maka bahasa di luarnya dinilai kasar dan tidak beraturan. Bahasa yang mengikuti standarlah yang dianggap bernilai tinggi untuk digunakan orang Sunda. Rintisan para intelektual Belanda itulah yang terus dipertahankan masyarakat Sunda hingga sekarang (Iip Dzulkifli Yahya, "Tradisi Ngalogat di Pesantren Sunda" dalam Politik & postkolonialitas di Indonesia, hal. 287)
Situasi ini menegaskan ironi pahit: dialek yang dinyatakan paling benar ditentukan bukan oleh penuturnya melainkan oleh penguasa kolonial.
Superioritas dalam Kasar-Halus Bahasa Sunda
Salah satu kata dalam Sunda yang populer digunakan bukan hanya oleh
orang Sunda, melainkan juga orang-orang non-Sunda, adalah kata “aing”.
Kata ini pantas dibicarakan secara khusus karena, dalam banyak
kesempatan, sering memicu perdebatan soal bahasa Sunda yang baik dan
benar. Banyak orang Sunda yang menganggap orang non-Sunda tidak paham
bahasa Sunda karena dengan seenaknya menggunakan kata “aing”.
Misalnya, Tirto pernah dikiritik karena menurunkan laporan yang diberi judul: “Pak Jokowi, Benerin Sekolah Aing Dong”. Padahal judul itu diambil apa adanya dari tulisan seorang bocah SD yang bersekolah di SDN 1 Sukasari, Kec. Rumpin, Bogor. Kalimat itu dianggap tidak mencerminkan bahasa Sunda yang baik, tidak pantas digunakan dan bahkan, salah seorang pembaca, menganggap para guru di sekolah si bocah telah gagal mengajarkan tata krama.
Membicarakan kata “aing”, juga membicarakan undak usuk basa dalam bahasa Sunda, sering mengabaikan konteks kesejarahan. Yang kadang kala hilang adalah pemahaman bahwa saat seseorang menegaskan mana yang baik dan benar dalam berbahasa, termasuk dalam bahasa Sunda dan penggunaan kata “aing”, di sana praktik kekuasaan sedang beroperasi secara subtil dalam bentuk superioritas kebudayaan.
Terkait hal ini, Mamat Sasmita, mantan pemimpin redaksi majalah berbahasa Sunda Cupumanik, mengutarakan bahwa perbedaan estetika dan penggunaan bahasa Sunda di beberapa wilayah di Jawa Barat, bukanlah sebuah persoalan melainkan sebuah kekayaan.
“Pada dasarnya bahasa mah, kan, tergantung yang menggunakan. Kalau menurut yang menggunakannya tidak kasar, ya berarti tidak kasar. Kalau kata ‘aing’ di wewengkon (wilayah) luar Priangan dalam komunikasi sehari-hari tidak dianggap kasar, berarti memang begitu keadaan bahasanya,” ujarnya kepada Tirto.
Mamat mempraktikkan keyakinannya itu dalam pengelolaan keredaksian di Cupumanik. “Waktu jadi Pemred Cupumanik saya memuat tulisan dari para penulis di luar Priangan, seperti Indramayu, misalnya. Ya, harus diterima. Kalau hanya memuat bahasa Sunda menurut estetika Priangan saja, kan, artinya memaksakan bahasa kepada orang yang tidak menggunakannya,” ujarnya.
Tentang penggunaan kata “aing”, Mamat Sasmita pun menerangkan apa yang sudah diuraikan Moriyama: bahwa hal tersebut dimulai ketika para ahli bahasa dari Belanda pada abad ke-19 menetapkan bahasa Sunda Priangan sebagai bahasa yang (dianggap) murni. Dengan itulah Mamat hendak menegaskan bahwa yang ia maksud sebagai "estetika Priangan" tidaklah alami melainkan lahir dari kolonialisme sebagai konteksnya.
Misalnya, Tirto pernah dikiritik karena menurunkan laporan yang diberi judul: “Pak Jokowi, Benerin Sekolah Aing Dong”. Padahal judul itu diambil apa adanya dari tulisan seorang bocah SD yang bersekolah di SDN 1 Sukasari, Kec. Rumpin, Bogor. Kalimat itu dianggap tidak mencerminkan bahasa Sunda yang baik, tidak pantas digunakan dan bahkan, salah seorang pembaca, menganggap para guru di sekolah si bocah telah gagal mengajarkan tata krama.
Membicarakan kata “aing”, juga membicarakan undak usuk basa dalam bahasa Sunda, sering mengabaikan konteks kesejarahan. Yang kadang kala hilang adalah pemahaman bahwa saat seseorang menegaskan mana yang baik dan benar dalam berbahasa, termasuk dalam bahasa Sunda dan penggunaan kata “aing”, di sana praktik kekuasaan sedang beroperasi secara subtil dalam bentuk superioritas kebudayaan.
Terkait hal ini, Mamat Sasmita, mantan pemimpin redaksi majalah berbahasa Sunda Cupumanik, mengutarakan bahwa perbedaan estetika dan penggunaan bahasa Sunda di beberapa wilayah di Jawa Barat, bukanlah sebuah persoalan melainkan sebuah kekayaan.
“Pada dasarnya bahasa mah, kan, tergantung yang menggunakan. Kalau menurut yang menggunakannya tidak kasar, ya berarti tidak kasar. Kalau kata ‘aing’ di wewengkon (wilayah) luar Priangan dalam komunikasi sehari-hari tidak dianggap kasar, berarti memang begitu keadaan bahasanya,” ujarnya kepada Tirto.
Mamat mempraktikkan keyakinannya itu dalam pengelolaan keredaksian di Cupumanik. “Waktu jadi Pemred Cupumanik saya memuat tulisan dari para penulis di luar Priangan, seperti Indramayu, misalnya. Ya, harus diterima. Kalau hanya memuat bahasa Sunda menurut estetika Priangan saja, kan, artinya memaksakan bahasa kepada orang yang tidak menggunakannya,” ujarnya.
Tentang penggunaan kata “aing”, Mamat Sasmita pun menerangkan apa yang sudah diuraikan Moriyama: bahwa hal tersebut dimulai ketika para ahli bahasa dari Belanda pada abad ke-19 menetapkan bahasa Sunda Priangan sebagai bahasa yang (dianggap) murni. Dengan itulah Mamat hendak menegaskan bahwa yang ia maksud sebagai "estetika Priangan" tidaklah alami melainkan lahir dari kolonialisme sebagai konteksnya.
"Aing" dalam Tiga Teks Sunda Kuna
Jika “kemurnian” dinilai dengan konteks yang lain, misalnya dengan
merujuk naskah-naskah klasik sastra Sunda, penilaiannya bisa sangat amat
berbeda.
Kata “aing” sebetulnya sama sekali tidak dinilai kasar. Dalam tiga naskah Sunda kuna, kata “aing” digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang usianya lebih muda (Pendakian Sri Ajnyana), dengan orang yang lebih tua (Kisah Bujangga Manik: Jejak Langkah Peziarah), dan bahkan ketika berdoa kepada Yang Maha Kuasa (Para Putera Rama dan Rawana).
Noorduyn dan A. Teeuw dalam Tiga Pesona Sunda Kuna menjelaskan bahwa Pendakian Sri Ajnyana adalah puisi didaktis yang khas; dalam bentuk alegori tentang sosok langitan yang berbuat dosa besar sehingga dikeluarkan dari kahyangan. Contoh penggunaan kata “aing” bisa dilihat pada baris 10-20:
“Saurna sang Sri Ajnyana:/ Adiing, ambet ka dini/ mulah ceurik nangtung dinya/ dini di lahunan aing/ tuluy dirawu dipangku/ Adiing aing ngalahun/ teher direduk na gelung/ buuk panjang dirundaykeun/ teher dikawul na beuheung/ dicium diremek penyu/ diulas-ulas awakna.”
(Sri Ajnyana berkata:/ Adikku, marilah ke sini/ jangan menangis, berdiri di situ/ ke sini ke pangkuanku/ lalu diraih ke pangkuannya/ Adikku, saya memangkumu/ kemudian sanggulnya dilepas/ rambut panjangnya diurai/ lalu dia dipeluknya/ diciumnya dengan penuh mesra/ badannya dibelai-belai.”
Sedangkan dalam Kisah Bujangga Manik: Jejak Langkah Peziarah yang merupakan puisi pencarian renungan dan kebijaksanaan yang pada tingkatannya yang tertinggi mengarah kepada pembebasan diri dari keberadaan duniawi, kata “aing” sebagai contoh komunikasi dengan orang yang lebih tua bisa dilihat pada baris 15-23:
“Ambuing tatanghi tinggal/ tarik-tarik dibuhaya/ pawekas pajeueung beunget/ kita ambu deung awaking/ héngan sapoé anyeuna/ aing deuk leumpang ka wétan/ Saanggeus nyaur sakitu/ indit birit sundah diri/ lugay sila sundah leumpang.”
(Ibunda, tataplah dengan jelas/ dengan sedalam-dalamnya/ untuk yang terakhir bertata muka/ kita, ibunda bersamaku/ hanya tinggal sehari ini/ Ananda akan pergi ke arah Timur/ Setelah berkata begitu/ berjongkok lalu berdiri/ berjalan lalu pergi.”
Sementara dalam kisah Para Putera Rama dan Rawana yang disusun sebagai lampiran kisah Ramayana, kata “aing” bahkan digunakan ketika berdoa di baris 1-11:
“Ongkarana sangtabéan/ pukulun sembah rahayu/ aing dék nyaksi ka beurang/ aing dék nyangsi ka peuting/ candra wulan aditia/ deungeun sanghiang akasa/ kalawan hiang pretiwi/ ka batara Nagaraja/ ka nusia Awak Larang/ ka luhur ka sang Rumuhun/ nusia Larang di manggung.”
(Semoga Yang Maha Kuasa memaafkan/ aku berdoa mohon keselamatan/ aku kan bersaksi kepada siang/ aku kan bersaksi kepada malam/ bulan purnama dan matahari/ dengan sanghiang angkasa/ bersama hiang pertiwi/ kepada batara Nagaraja/ kepada yang mulia Awak Larang/ kepada para arwah di dunia atas/ arwah suci di ketinggian.”
Bahasa yang bebas dari undak usuk basa tak hanya terdapat dalam tiga naskah di atas. Undak usuk basa yang feodalistik, tulis Edi Suhardi Ekadjati dalam Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya (hal. 138), tidak dikenal dalam bahasa Sunda seperti tampak dalam naskah-naskah tua yang ditulis dalam huruf Sunda. Undak usuk mulai kelihatan dalam naskah-naskah yang lebih kemudian.
Jika melihat kronologi, maka bahasa Sunda dalam tiga naskah klasik itu jelas lebih “murni” dibanding naskah-naskah dari zaman setelahnya, termasuk yang telah dibakukan ke dalam undak usuk basa yang sudah dipengaruhi feodalisme Mataraman. Apalagi penggunaan kata “aing”, juga kata “siya/sia” seperti dikutip di pembuka tulisan, berasal dari karya sastra yang pastilah dianggap sebagai karya yang mencerminkan bahasa terbaik pada zamannya.
Kata “aing” sebetulnya sama sekali tidak dinilai kasar. Dalam tiga naskah Sunda kuna, kata “aing” digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang usianya lebih muda (Pendakian Sri Ajnyana), dengan orang yang lebih tua (Kisah Bujangga Manik: Jejak Langkah Peziarah), dan bahkan ketika berdoa kepada Yang Maha Kuasa (Para Putera Rama dan Rawana).
Noorduyn dan A. Teeuw dalam Tiga Pesona Sunda Kuna menjelaskan bahwa Pendakian Sri Ajnyana adalah puisi didaktis yang khas; dalam bentuk alegori tentang sosok langitan yang berbuat dosa besar sehingga dikeluarkan dari kahyangan. Contoh penggunaan kata “aing” bisa dilihat pada baris 10-20:
“Saurna sang Sri Ajnyana:/ Adiing, ambet ka dini/ mulah ceurik nangtung dinya/ dini di lahunan aing/ tuluy dirawu dipangku/ Adiing aing ngalahun/ teher direduk na gelung/ buuk panjang dirundaykeun/ teher dikawul na beuheung/ dicium diremek penyu/ diulas-ulas awakna.”
(Sri Ajnyana berkata:/ Adikku, marilah ke sini/ jangan menangis, berdiri di situ/ ke sini ke pangkuanku/ lalu diraih ke pangkuannya/ Adikku, saya memangkumu/ kemudian sanggulnya dilepas/ rambut panjangnya diurai/ lalu dia dipeluknya/ diciumnya dengan penuh mesra/ badannya dibelai-belai.”
Sedangkan dalam Kisah Bujangga Manik: Jejak Langkah Peziarah yang merupakan puisi pencarian renungan dan kebijaksanaan yang pada tingkatannya yang tertinggi mengarah kepada pembebasan diri dari keberadaan duniawi, kata “aing” sebagai contoh komunikasi dengan orang yang lebih tua bisa dilihat pada baris 15-23:
“Ambuing tatanghi tinggal/ tarik-tarik dibuhaya/ pawekas pajeueung beunget/ kita ambu deung awaking/ héngan sapoé anyeuna/ aing deuk leumpang ka wétan/ Saanggeus nyaur sakitu/ indit birit sundah diri/ lugay sila sundah leumpang.”
(Ibunda, tataplah dengan jelas/ dengan sedalam-dalamnya/ untuk yang terakhir bertata muka/ kita, ibunda bersamaku/ hanya tinggal sehari ini/ Ananda akan pergi ke arah Timur/ Setelah berkata begitu/ berjongkok lalu berdiri/ berjalan lalu pergi.”
Sementara dalam kisah Para Putera Rama dan Rawana yang disusun sebagai lampiran kisah Ramayana, kata “aing” bahkan digunakan ketika berdoa di baris 1-11:
“Ongkarana sangtabéan/ pukulun sembah rahayu/ aing dék nyaksi ka beurang/ aing dék nyangsi ka peuting/ candra wulan aditia/ deungeun sanghiang akasa/ kalawan hiang pretiwi/ ka batara Nagaraja/ ka nusia Awak Larang/ ka luhur ka sang Rumuhun/ nusia Larang di manggung.”
(Semoga Yang Maha Kuasa memaafkan/ aku berdoa mohon keselamatan/ aku kan bersaksi kepada siang/ aku kan bersaksi kepada malam/ bulan purnama dan matahari/ dengan sanghiang angkasa/ bersama hiang pertiwi/ kepada batara Nagaraja/ kepada yang mulia Awak Larang/ kepada para arwah di dunia atas/ arwah suci di ketinggian.”
Bahasa yang bebas dari undak usuk basa tak hanya terdapat dalam tiga naskah di atas. Undak usuk basa yang feodalistik, tulis Edi Suhardi Ekadjati dalam Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya (hal. 138), tidak dikenal dalam bahasa Sunda seperti tampak dalam naskah-naskah tua yang ditulis dalam huruf Sunda. Undak usuk mulai kelihatan dalam naskah-naskah yang lebih kemudian.
Jika melihat kronologi, maka bahasa Sunda dalam tiga naskah klasik itu jelas lebih “murni” dibanding naskah-naskah dari zaman setelahnya, termasuk yang telah dibakukan ke dalam undak usuk basa yang sudah dipengaruhi feodalisme Mataraman. Apalagi penggunaan kata “aing”, juga kata “siya/sia” seperti dikutip di pembuka tulisan, berasal dari karya sastra yang pastilah dianggap sebagai karya yang mencerminkan bahasa terbaik pada zamannya.
"Aing" dan Kebanggaan Diri
Dari paparan di atas, dinamika bahasa tidak terlepas dari hegemoni
kekuasaan. Dan kata “aing” menjadi contoh yang jelas bagaimana politik
bahasa membentuk penilaian baik-buruk dan kemurnian dalam berbahasa.
Dan berbicara tentang keunikan, tidak ada yang lebih khas selain kata "aing" dalam bahasa Sunda untuk menegaskan kebanggaan.
Cukup tepat jika orang Sunda menggunakan frase "Aing Sunda", atau tagar #AingSunda, saat merespons cuitan akun @TNI_AU yang dianggap meremehkan kesundaan. Kata "aing" di sana menyiratkan Sunda yang egaliter, karena tagar #AingSunda toh memang diutarakan secara terbuka bukan untuk orang per orang dan juga bukan ditujukan kepada orang tua. Selain itu, kata "aing" juga menegaskan kedirian, meneguhkan ego, yang pesan kebanggaannya terasa jauh lebih kental ketimbang "simkuring", apalagi kata "abdi" atau "kaula".
Pengajar sastra Sunda di Universitas Padjajaran, Teddi Muhtadin, kepada Ahda Imran dari Pikiran Rakyat (7 Februari 2010), mengatakan: tak ada kata ganti orang pertama (pronomina persona) yang tepat digunakan untuk mengekspresikan kedirian seperti itu, kecuali kata ”Aing”.
Menggunakan "aing" bukan berarti merayakan kebebasan berbicara dengan seenak perut, melainkan menyadari bahwa bahasa tidaklah hitam-putih. Dan bahwa sebuah kata tidak bisa dinilai semata dengan menggunakan standar yang sudah telanjur (mem)baku bahkan (mem)beku, melainkan harus dilihat pula konteks tulisannya maupun situasi percakapannya.
Juga bukan soal "kemurnian". Bahasa tidak pernah bebas dari pengaruh (kebudayaan) asing. Bahasa yang sanggup bertahan selalu terbuka pada khasanah yang berasal dari berbagai tempat. Bahasa yang murni, pada dasarnya, adalah bahasa yang sudah tidak berkembang lagi. Bahasa yang telah menjadi fosil. Dan membatu. (tirto.id - zen/zen)
Dan berbicara tentang keunikan, tidak ada yang lebih khas selain kata "aing" dalam bahasa Sunda untuk menegaskan kebanggaan.
Cukup tepat jika orang Sunda menggunakan frase "Aing Sunda", atau tagar #AingSunda, saat merespons cuitan akun @TNI_AU yang dianggap meremehkan kesundaan. Kata "aing" di sana menyiratkan Sunda yang egaliter, karena tagar #AingSunda toh memang diutarakan secara terbuka bukan untuk orang per orang dan juga bukan ditujukan kepada orang tua. Selain itu, kata "aing" juga menegaskan kedirian, meneguhkan ego, yang pesan kebanggaannya terasa jauh lebih kental ketimbang "simkuring", apalagi kata "abdi" atau "kaula".
Pengajar sastra Sunda di Universitas Padjajaran, Teddi Muhtadin, kepada Ahda Imran dari Pikiran Rakyat (7 Februari 2010), mengatakan: tak ada kata ganti orang pertama (pronomina persona) yang tepat digunakan untuk mengekspresikan kedirian seperti itu, kecuali kata ”Aing”.
Menggunakan "aing" bukan berarti merayakan kebebasan berbicara dengan seenak perut, melainkan menyadari bahwa bahasa tidaklah hitam-putih. Dan bahwa sebuah kata tidak bisa dinilai semata dengan menggunakan standar yang sudah telanjur (mem)baku bahkan (mem)beku, melainkan harus dilihat pula konteks tulisannya maupun situasi percakapannya.
Juga bukan soal "kemurnian". Bahasa tidak pernah bebas dari pengaruh (kebudayaan) asing. Bahasa yang sanggup bertahan selalu terbuka pada khasanah yang berasal dari berbagai tempat. Bahasa yang murni, pada dasarnya, adalah bahasa yang sudah tidak berkembang lagi. Bahasa yang telah menjadi fosil. Dan membatu. (tirto.id - zen/zen)
Tayang pertamakali di tirto.id
tanggal 4 Mei 2017
tanggal 4 Mei 2017
No comments:
Post a Comment