Oleh : @simangade
Sebuah upaya tentatif menafsirkan beberapa aspek budaya Sunda dari
sejumlah toponimi dan peribahasa. Tafsir tentatif atas kebudayaan Jawa
juga dihadirkan sebagai pembanding.
***
Oke. Ini untuk menyambung cerita saya dulu tentang toponimi Sunda. Dan seperti sebelumnya, sifatnya juga cuma "babalédogan."
Kata "babalédogan" saya gunakan, karena kata "spekulatif" itu bisa
punya makna yang sangat serius, justru. "Hipotetik” kayaknya berkesan
rada ilmiah. Singkatnya, gini deh: ada tiga sumber dominan dalam
toponimi Sunda: alam, aktivitas manusia, dan—ini rada unik—"emosi,"
atau, "cinta."
Contoh untuk kasus pertama: Citarum, Rancamanyar,
Pasirkaliki, Gegerkalong, dan banyak lagi; untuk kasus kedua:
Pangalengan, Panjunan, Banceuy; untuk kasus ketiga: Padasuka,
Hegarmanah, Babakan Asih, Margacinta. (Oh, satu lagi, yang rada beken
belakangan ini: Karang Asih)
Saya menduga, evolusinya
berlangsung seperti ini: Bila area dalam bentang alam itu tak
berpenghuni, maka penamaannya mengikuti "kaidah" deskriptif yg
menggunakan unsur alam. Ketika area itu dibuka untuk situs kerja, maka
penamaan yang menunjukkan "tempat manusia menyelenggarakan satu jenis
aktivitas" dapat digunakan. Lalu, setelah di area tersebut tumbuh
komunitas yang penduduknya cukup banyak, unsur "cinta" dapat juga
digunakan untuk penamaan. Jadi, urutannya adalah sebagai berikut: alam,
kerja, cinta.
Ada idiom bahasa Sunda yang saya kira secara
simbolik merangkumkan triad "alam-kerja-cinta" ini ke dalam paradigma
proses: "kauntun tipung, katambang beas." Yang dimaksudkan dengan "untun
tipung" atau "untaian tepung" adalah satu jenis penganan yang bernama
"papais." Dan yang dimaksudkan dengan "tambang béas" atau "jalinan
beras" adalah satu lagi jenis penganan yang bernama "leupeut."
Kedua penganan ini--keduanya dikemas dengan bungkus daun
pisang--biasanya disajikan dalam acara-acara kenduri. Kata "papais" itu
berima dengan kata "papaés" yang bermakna "riasan"--dan inilah yang
sebenarnya dimaksudkan dalam idiom ini. Sedangkan mengenai “leupeut”, yang
disiratkan di sini adalah fitur khas dalam penyajiannya: Leupeut
biasanya disajikan dalam kemasan dua-dua: dua bungkus yang membentuk dua
belahan disatukan, dan diikat dengan serat bambu. Jadi: ada kenduri,
ada yang dirias, dan ada dua pihak yang disatukan dalam sebuah ikatan.
Maka maknanya menjadi jelas: "kauntun tipung, katambang béas" itu
berarti "menikah."
Kita lihat: Unsur alam (beras, pisang, bambu,
dsb.) diolah dengan kerja (mencuci, menumbuk, mengukus, dst.)--untuk satu
tujuan: "merayakan cinta." Bila interpretasi atas, seperti yang tadi
saya sebut, "paradigma Sunda" ini tampak berkesan feminin, saya kira
kesan itu memang sulit untuk dinafikan. Kata "sunda" sendiri pada
awalnya berarti "indah" atau "cantik." Makna ini masih dapat kita temui
dalam kata "sundari" yang berarti "perempuan cantik." (Kata "ri" itu
berarti (manusia) perempuan; "ra" berarti (manusia) laki-laki.)
Tapi ada, sih, keberatan untuk interpretasi "feminin" seperti ini. Orang
Sunda sering membayangkan Tatar Sunda sebagai kesatuan
geografis-kultural-filosofis ideal "Parahyangan." Ada "ra" di situ, dan
tidak ada "ri." Tapi saya berpendapat bahwa hal itu dapat dijelaskan
begini: Subjek dari kata "ra-hyang" ("dewa-manusia") dalam kata
"parahyangan" adalah "hyang"; sense-nya adalah spiritualitas, dan
spiritualitas itu genderless. Kemudian, "ra" (di sini, nomina atributif,
berfungsi predikatif, bukan epitetik) merujuk kepada "manusia," baik
laki-laki maupun perempuan. Dan konfiks "pa-an" itu secara generik
menunjukkan "tempat"--atau, secara spesifik, di sini: "negeri,"
"mintakat," "Lebensraum." Jadi, dalam pembacaan saya, "pa-ra-hyang-an"
itu bermakna, "negeri tempat bersemayamnya keilahian yang dimanusiakan."
Atau, versi Inggrssnya: "The abode of humanized divinity."
Secara sintagmatik, versi yang barusan itu, bila disederhanakan menjadi
kata-kata kunci "abode, human, divinity," paralel dengan "alam, kerja,
cinta." Coba kita jukstaposisikan: {alam, kerja, cinta | negeri,
manusia, spiritualitas}. Sebagai himpunan kode, saya kira ini adalah
lahan subur bagi interpretasi; misalnya, dengan menarik perkaitan pada
sumbu paradigmatik: Bagaimana, misalnya, bila alam dipandang sebagai
negeri, kerja sebagai aktualisasi hakikat manusia, dan cinta sebagai
inti dari spiritualitas?
Lalu timbul pertanyaan: Di mana
tempatnya satu unsur penting dari setiap filosofi sosial-kultural, yaitu
power, dalam paradigma Sunda ini? IMHO, power tidak hilang di sini,
hanya jadi implisit--yaitu sebagai potensi (mungkin dengan sense
Aristotelian) atau will-to-power (mungkin dengan sense Spinozistik).
Coba kita perhatikan bagaimana konteks "femininitas" ini, boleh jadi,
membawa konsekuensi-konsekuensi seperti yang tampak dalam sejarah
masyarakat Sunda.
Dalam sejarahnya, masyarakat Sunda, barangkali
seperti halnya perempuan, cenderung akomodatif terhadap dominasi atau
kooptasi. Perlawanan yang keras dan frontal cenderung, sedapat mungkin,
dihindari oleh masyarakat Sunda, bila dominasi atau kooptasi itu
bersifat hegemonik. Meskipun, hal itu tampaknya tidak berlaku bila
dominasi atau kooptasi itu bersifat opresif.
Bukan hanya itu,
juga barangkali seperti halnya perempuan, masyarakat Sunda bahkan
bersedia belajar untuk mencintai dominator atau kooptatornya. Akomodasi
masyarakat Sunda terhadap hegemoni, tapi resistensi terhadap opresi,
ilustrasinya: perbantahan Surianagara dengan Daendels pada pembuatan
Cadas Pangeran. Kesediaan masyarakat Sunda untuk belajar mencintai
dominator yang datang silih berganti, tamsilnya: tokoh Olenka dalam "The
Darling"-nya Anton Chekhov.
Namun demikian, saya kira ini juga
patut dicatat: Seperti halnya perempuan, masyarakat Sunda, dalam
sejarahnya, bisa saja "dikuasai"--tapi tidak pernah benar-benar dapat
"ditaklukkan." Perlawanan itu selalu ada, meskipun barangkali lebih
sering dalam bentuk yang sangat subtle.
Sekarang saya akan
mencoba 'membuat komparasi antara paradigma Sunda dan pembanding
[antitesis?] par-excellence-nya, yaitu, seperti tadi juga, "paradigma
Jawa." Tapi sebelum melangkah lebih jauh, saya kira saya harus
menyampaikan beberapa precaution di sini. (Kita menyentuh isu yang rada
sensitif, nih. Bisa ruwet, urusannya, kalau gak hati-hati):
Pertama: Dalam pandangan saya, paradigma Sunda dan paradigma Jawa itu
memang berbeda, tapi saya tidak melihat yang satu super/infer-ior dari
yang lain. Kedua: Saya sendiri orang Sunda. Betapapun saya berusaha
netral, rasanya saya tidak dapat melepaskan diri dari bias. Ketiga:
Pengetahuan saya mengenai budaya Jawa sangat terbatas. Saya mohon maaf
atas ketak-akurat-an yang boleh jadi akan muncul di sini. Keempat:
Sekali lagi, kupasan saya ini cuma "babalédogan". Apa yang sebenarnya
jelas dengan sendirinya rasanya harus dieksplisitkan: Bahwa tidak ada
klaim atas validitas yang mutlak, permanen, lintas-segala, atau
cakup-semua di sini. Itu saya kira adalah catatan pentingnya. Sekarang:
lanjut...
Kita mulai kupasan komparatif kita dari satu hal
tunggal yang sangat penting baik bagi paradigma Jawa maupun bagi
paradigma Sunda, yaitu "beras." Oke. Seperti kata orang Bandung, "Sanguan!"

Telah kita lihat bahwa dalam idiom "kauntun tipung, katambang béas,"
makna "beras" tidak beranjak dari makna "dasar"-nya, yaitu "bahan
pangan." Kalaupun di situ ada transendensi, maka transendensi itu
bertolak dari metafor-diskursif idiomnya, bukan metafor-nominal "beras."
Sekarang kita akan melihat bagaimana semantic-kernel "beras," bahasa
Sanskrit (?) nya: "java," mengalami transendensi dalam paradigma Jawa.
(Belum diriset, nih. Sanskrit atau bahasa rumpun Hindi yg lain. Mohon
koreksi)
Perhatikan evolusi kata berikut ini: "java" → "jawa" →
"sawah." Barangkali yang terlihat logis di sini adalah bahwa "java"
berevolusi secara bercabang menjadi "jawa" dan "sawah": "java" → "jawa";
java → "sawah." Tapi saya menduga, simply dengan alasan fonologis, bahwa
kata "sawah" itu berevolusi dari kata "jawa," tidak secara langsung
dari kata "java."
Saya juga menduga, esensinya lebih dari alur
evolusioner "java" → "jawa" → "sawah." Saya kira, di sini "jawa" menjadi
bukan sekadar "persinggahan," tapi juga "penghubung," atau bahkan
"pusat," yang mendefinisikan evolusi semantik ini. Untuk meminjam satu
kalimat terkenal: “'Djawa' adalah kuntji."
"Beras" sebagai
"bahan pangan" menjadi tak terpisahkan dari "sawah" sebagai "sistem
ketersediaan pangan" karena eksistensi "Jawa" sebagai "entitas
geopolitik." Karena kultur dan power-relations dari geopolitik Jawa-lah,
"beras" akan selalu diartikan sebagai "beras yang dihasilkan oleh
sawah." Dan sawah adalah sebuah sistem sosial-ekonomik-politis, sebuah
"power store." Karena bicara sawah berarti bicara sistem kepemilikan
lahan, tatakelola air, organisasi produksi/pascaproduksi, hirarki
sosial, dan power distribution.
Jadi baragkali sudah sejak awal,
power itu menjadi unsur penting dalam paradigma Jawa. Bukan saja
implisit will-to-power, tapi juga eksplisit power-qua-power. Maka bila
maskot untuk paradigma Sunda adalah sunda-ri, maskot untuk paradigma
Jawa adalah jawa-ra. Dalam konteks power (dist.) ini pula, kita akan
melihat bagaimana paradigma Jawa dan paradigma Sunda menempatkan kaidah
penting (harmoni) dalam perspektif.
Baik paradigma Sunda maupun
paradigma Jawa tampaknya memandang harmoni sosial sebagai kaidah yang
bersifat mendasar. Satu idiom terkenal dalam bahasa Sunda yang menjadi
penanda harmoni sosial adalah, "ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi
salogak." Makna yang kuat mengemuka di sini adalah "gerak," dan arah
dari "gerak" ini adalah horizontal: "(pergi) ke perairan... (pergi) ke
daratan." Aksi-dinamik "(pergi) ke perairan" yang dipasangkan dengan
"(pergi) ke daratan" menjadikan idiom ini dapat dipandang sebagai proses
yang repetitif atau iteratif. Sedangkan kondisi-statik "jadi saleuwi"
dan "jadi salogak" menjadi bersifat transien. Bahkan, kata "jadi" pun
sebenarnya menunjukkan sebuah proses, dus tidak dapat dipandang sabagai
sepenuhnya statik juga.
Idiom terkenal bahasa Jawa yang
barangkali dapat dikatakan sebagai penanda "prasyarat" bagi harmoni
sosial setahu saya adalah, "mikul dhuwur, mendhem jero.” Karena makna
yang lebih kuat mengemuka tampaknya bukanlah "memikul" atau "memendam"
itu sendiri, melainkan efek yg dihasilkannya. Atau, bukan aksi-dinamik
"memikul" atau "memendam," tetapi kondisi-statik "keterpikulannya, apa
yang ditempatkan di atas, dan keterpendamannya, apa yang ditempatkan di
bawah." Bayangkan sebuah bangunan joglo yang berdiri. Diam. Statik.
Strukturnya terdiri dari atap, pilar-pilar, dan fondasi. Bila kita
nisbatkan atribut "mikul dhuwur, mendem jero" kepada pilar-pilar joglo
itu, saya kira itu sangat logis. Satu lagi, catatannya: "gerak"--atau,
yang lebih signifikan: "vektor-gaya"--di sini arahnya adalah vertikal.
Jadi, sementara baik bagi paradigma Jawa maupun bagi paradigma Sunda
harmoni itu penting, masing-masing tampaknya memandangnya secara
berbeda. Paradigma Jawa memandang harmoni sebagai struktur. Parameter
kuncinya adalah stabilitas. Paradigma Sunda memandang harmoni sebagai
proses. Parameter kuncinya adalah kontinuitas. Tengok juga, dalam kaitan
ini, dua nama dari dua raja Sunda berikut, yang berkonotasi proses,
kontinuitas, dan estetika: Silihwangi, Wastukancana. Lalu bandingkan
dengan dua nama dari dua raja Jawa berikut, yang berkonotasi struktur,
stabilitas, dan ontologi: Hamengkubuwono, Pakualam.
Bila Jawa
adalah gunung, maka Sunda adalah sungai. Bila kriteria penting dalam
paradigma Jawa adalah excellence, maka kriteria penting dalam paradigma
Sunda adalah modesty. Bila concern paradigma Jawa adalah institusi, maka
concern paradigma Sunda adalah konvensi. Dalam bingkai kehidupan
sosial-politik kontemporer, barangkali, bila fokus paradigma Jawa adalah
state, maka fokus paradigma Sunda adalah civil society.
DemiKian (Santang) sajah dari sayah. Mugia teu janten picacapékeun. [ ]
No comments:
Post a Comment