Saya tidak dibayar oleh Nike untuk judul di atas :D. Setelah
membaca beberapa tulisan Pangeran Siahaan tentang sepakbola, dan
berselancar di kanal-kanal media olahraga, serta dibantu oleh Wikipedia
dan semesta Google, maka inilah saatnya untuk mulai menulis lagi :)
***
Seorang kawan, seingat saya, sudah dua kali bertanya : "kenapa harus
West Ham?." Mulanya saya bingung harus menjawab apa. Tapi tulisan ini
pun bukan pertanda bahwa akan menjelaskan semuanya. Lebih baik ikuti
saya dan putar waktu sedemikian rupa sampai menyentuh angka 1988. Ya,
bagi yang sudah hidup dan masih ingat, pada tahun itu tentu saja adalah
waktu ketika Belanda menjuarai Piala Eropa untuk pertamakalinya, dan
mungkin sekali-kalinya, karena sampai saat ini tak pernah lagi keluar
sebagai kampiun benua biru. Saya belum genap tujuh tahun dan belum duduk
di bangku sekolah dasar ketika Marco van Basten dkk menghibur para
peminat bola dengan Total Football arahan Rinus Micheal. Barangkali
Tika-Taka Spanyol adalah generasi penerus seni memainkan bola ini.
Kau tahu siapa lawan Belanda di final?. Ya, dialah USSR alias Uni
Soviet, sebuah raksasa eropa yang kemudian dimutilasi oleh Gorbachev. Di
rumah, orang-orang mendukung negara pemimpin blok timur itu, dan saya
sendirian mendukung negeri kincir angin. Saya tidak tahu, apakah
orang-orang rumah terkait dengan sentimen bahwa Uni Soviet adalah
saudara tua Indonesia ketika di bawah pimpinan Soekarno, dan Belanda
adalah antitesisnya yang pernah membuat tidur Soekarno kadang-kadang
tidak nyenyak. Tapi final piala eropa 1988 tidak menyoal itu, saya yang
bahkan diusia sedini itu hanya bisa menikmati jago-jago laga lapangan
hijau dari kincir angin membuat kalang kabut pasukan beruang merah.
Hasilnya tak mengecewakan, 2-0 untuk tim oranye, dan yang paling diingat
adalah gol Marco van Basten dari sudut sulit dengan tendangan first
timenya. Juara!. Rumah sepi, pendukung USSR bungkam.
Lalu Trio Belanda mengusai liga Italia, AC Milan mendapat berkah.
Semua gelar dikantongi. Mau apa? : Liga Serie A, Piala Champion, dan
Piala Toyota (Piala Antar Club yang dulu hanya mempertemukan juara Piala
Champion melawan juara Libertadores). Jangan ungkit tahun 1994, karena
akan menyakitkan para pendukung Barcelona, ya tim Catalan itu dibantai 4
gol tanpa balas di final Piala Champion!. Seperti Pepe Ribo yang
mendukung Real Madrid sejak berusia 8 tahun, begitupun saya mendukung
Belanda, bahkan lebih muda satu tahun dari dia. Ada hal yang terkadang
tidak bisa didefinisikan, seperti akhirnya saya dulu sempat menjadi fans
AC Milan gara-gara Trio Belanda itu. Bangun tengah malam sempat dibela
demi menyaksikan tim dengan jersey yang menyerupai Persipura itu. Dan
memang Serie A Italia sedang berjaya di layar kaca kita, lupakan Premier
League negeri Ratu Elisabeth, karena dulu mereka hanya dikenal dengan
budaya sepakbola menjemukan bergaya kick and rush; tendang dan serbu,
jenis sepakbola tanpa seni.
Dan lupa. Dan bosan. Saya sempat bosan dengan sepakbola eropa yang
telah menjadi industri sehingga (seperti) kehilangan roh. Lalu saya
melupakannya. Hanya sesekali saja melihat highlightnya. Lamat-lamat saya
dengar Serie A digerogoti kasus pengaturan skor dan dikuasai para
taipan judi. Juventus si Nyonya Tua sempat terlempar ke serie B
gara-gara kasus memalukan itu. Beberapa negara eropa limbung digoyang
krisis ekonomi, dan Italia pun terjangkit. Penonton sepakbola di negeri
pizza mulai menyusut, orang-orang sudah tidak mampu lagi membayar tiket
stadion. Tribun sepi penonton. Sementara itu Liga Inggris (di Indonesia)
mulai menemukan lampu sorotnya. Orang-orang yang tahu Liga Inggris
ketika Denis Irwin, Paul Ince, Cantoca, Zola, Sheringham, dan Fowler
masih berjaya pasti tahu bahwa Liga Inggris tidak terlalu gebyar seperti
sekarang. Di sini manajemen adalah ujung tombak. Jangan ambil pusing
dengan prestasi Timnas Inggris yang begitu-begitu saja, yang penting
manajeman klub harus oke, barangkali demikian yang ada di pikiran para
tetua klub-klub Liga Inggris. Dengan mendatangkan pemain-pemain dunia
kelas wahid dan digosok oleh media, maka bersinarlah Premier League
seperti sekarang.
Arsenal and The Damned United :
Kalau ada tim yang lumayan sering ditonton---dalam kondisi saya yang
sudah bosan dengan industri sepakbola---, maka itu adalah Arsenal. Gaya
permainannya kadang-kadang mengingatkan saya pada permainan Belanda era
'88, meskipun mereka padukan dengan speed dan power yang menjadi ciri
khas Liga Inggris. Tidak heran memang, sebab klub itu sempat dihuni oleh
Dennis Bergkamp dan Marc Overmars, diua punggawa Belanda yang menjadi
kesayangan publik Highbury (lupakan Emirates Stadium). Jangan bicara
tentang Robin van persie, sebab dia sudah diikhlaskan untuk pergi ke Old
Trafford dan mencetak gol hampir di setiap pertandingan MU, biarkan
fans Arsenal merindukannya :D. Seorang kawan, dia telah menjadi seorang
Gooner sejak usianya belum menginjak bangku kuliah, sempat saya tanya :
"kenapa lo suka Arsenal?," dan dia jawab : "karena permainannya tidak
seperti kebanyakan klub-klub Liga Inggris yang kick and rush, tapi lebih
mendekati total football." Nah, inilah alasan kenapa klub dari London
Utara ini lumayan sering saya saksikan.
Saya tidak pernah terlalu tertarik dan respect kepada klub sepakbola
mana pun di kolong langit ini (kecuali Persib dengan alasan tradisional
tentu saja), sampai akhirnya menemukan film The Damned United. Jangan
salah sangka, ini bukan film tentang West Ham United, tapi tentang Brian
Clough; seorang pelatih berkebangsaan Inggris yang pernah melatih
Hartlepool United, Derby County, Brighton & Hove Albion, Leeds
United, dan Nottingham Forest.
Di The Damned United, tak ada scene yang lebih berkesan selain
persiapan Derby County menyambut tim kuat (pada masanya) Leeds United.
Bagaimana Brian Cluogh sang pelatih berusaha mempercantik lapangan yang
kondisinya memprihatinkan, membersihkan closet dan lorong tempat pemain
menuju lapangan, menyiapkan handuk bagi para pemain Leeds, dan membeli
dua botol anggur demi menjamu pelatih Leeds yang sangat terkenal : Don
Revie. Itu terjadi di Piala FA ketika undian mempertemukan dua klub
berbeda kasta tersebut. Bagi Derby County, adalah sebuah kehormatan bisa
menjamu tim kuat seperti Leeds, bahkan sesaat setelah undian itu
diumumkan di radio, Clough beserta asisten dan anak istrinya langsung
ditraktir makan-makan oleh tetua Derby County. Mereka merayakan
pertemuan melawan tim kuat itu. Meskipun itu hanya ada di film, tapi
respect saya tak berkurang. Derby County telah memberi pelajaran
bagaimana caranya menghormati tim lawan, dan bagaimana seharusnya
memperlakukan sepakbola; rayakan dengan gairah dan kegembiraan.
Hammers
Saya duduk di depan tv dan menyaksikan pertandingan West Ham United
Vs Arsenal yang disiarkan ESPN. Di Upton Park, orang-orang gemuruh
menyanyikan anthem tim London Timur. Penuh gairah dan semangat. Arsenal
saya kenal, tapi lawannya?, yang saya tahu mereka bermarkas di London
Timur, itu saja. Cara bermainnya penuh determinasi, sama seperti
supporternya. Sempat unggul lebih dulu sebelum akhirnya digulung Arsenal
1-3. Beberapa hari setelah itu seorang kawan nge-tag barang dagangan di
fb : t-shirt film. Ada satu t-shirt bertuliskan "Green Street
Hooligans". Seperti sebuah kebetulan besoknya saya dapat DVD film
tersebut di lapak Atrium. Film yang jelek!. Sutradaranya telah
menyia-nyikan bahan-bahan bagus yang telah tersedia. Itu hanya sebuah
film penuh stereotif tentang pendukung sepakbola yang divisualkan
doyannya hanya mabuk dan berkelahi. Tidak ada spirit yang menginspirasi.
Memang film itu tentang supporter West Ham United, tapi hanya anthemnya
saja yang membuat saya tertarik. Di penghujung film, lamat-lamat Elijah
Woods menyanyikan anthem tersebut :
I'm forever blowing bubbles,
Pretty bubbles in the air
They fly so high, nearly reach the sky
Then like my dreams they fade and die
Fortune's always hiding,
I've looked everywhere
I'm forever blowing bubbles,
Pretty bubbles in the air
Lupakan film itu, karena saya langsung membuka Wikipedia (meskipun
datanya tidak selalau benar) dan menemukan spirit working class dari
West Ham United. Para pekerja galangan kapal (inilah sebabnya kenapa
logo klub bergambar palu) mendirikan klub sepakbola yang bernama Thames
Ironworks. Karena terbelit masalah finansial, maka Thames Ironworks
bangkrut dan berganti nama menjadi West Ham United. Rival abadi WHU
adalah Millwall (sekarang berlaga di kasta kedua Liga Inggris),
perseteruan dimulai pada tahun 1926; pemogokan umum dimulai oleh para
pekerja di East End, yang sebagian besar merupakan pendukung West Ham,
tetapi pekerja galangan kapal di Isle of Dogs, yang dipenuhi fans
Millwall menolak untuk menunjukkan dukungan mereka, maka hal ini
kemudian memprovokasi kemarahan massa. Itu hanyalah sekelumit dari
sejarah panjang tentang West Ham United yang sisanya saya simpan di
kepala.
Sepakbola telah hadir bukan hanya sebagai permainan belaka, tapi juga
meresap menembus batas-batas budaya, menggelorakan gairah, proud,
passion, fanatisme, kekerasan, pundi-pundi uang, bahkan mungkin agama.
Tidak mudah untuk mengetahui mengapa seseorang mendukung tim sepakbola
yang secara geografis dan demografis berjauhan dengan data privatenya,
tapi setidaknya bisa diidentifikasi dari karakter dan watak setiap
pribadi. Atau yang paling mudah adalah mari kita nyalakan tv dan lihat
klub mana saja yang paling sering tampil di layar kaca : bisa jadi
banyaknya fans berbading lurus dengan seringnya klub tertentu nongol di
tv. Karena pada akhirnya fans adalah penghuni folder-forder dokumen klub
dengan judul : "perkembangan pasar". [itp]
Come On You Irons !! # COYI !!
No comments:
Post a Comment