Ini adalah salah satu anak rohani Pramoedya Ananta Toer yang
terdapat dalam buku Menggelinding. Tulisan-tulisan Pram dalam buku tersebut
sangat jarang ditemui di ruang publik. Jika dibandingkan dengan karya-karya
Pram yang lain, yang lebih terkenal---misalnya kuartet Buru, tentu catatan ini
kalah pamor. Kumpulan tulisan Pram dalam buku Menggelinding adalah
tulisan-tulisan awal Pram dalam perjalanan kepenulisannya. Ini hanyalah sebuah
usaha untuk mencatat ulang, dan menghadirkannya kembali di sini :
Lembaga Kehidupan Telah Hancur Sebuah
Lagi
Sekali ini aku ingin bicara kepada kalian tentang lembaga
yang menjadi pangkal. Mula kehidupan manusia : keluarga!. Payung yang melindungi
keturunan manusia daripada hujan dan terik pergaulan hidup. Titik permulaan di
mana tiap suami dan isteri mendapat atau tidak mendapat kebahagiaan.
Aku telah banyak mengenal keluarga. Dengan mencari
hakikat-hakikat yang ada padanya, orang lebih gampang mengerti apakah lembaga
kehidupan ini salah pasang ataukah telah bergeser dari tempatnya yang
semestinya. Demikianlah pada suatu ketika telah aku perhatikan suatu keluarga
yang sebenarnya banyak terdapat di dalam lingkungan kita, banyak juga terdapat
di antara kawan-kawan kita sendiri, dan banyak juga terdapat di antara para
tetangga kita.
Aku ingin tahu pendapat kalian tentang cerita yang hendak aku
bicarakan, cerita tentang lembaga kehidupan yang aku telah perhatikan. Dan sebenarnya
demikian cerita itu :
Machmud adalah seorang pemuda yang amat menghormati ibunya. Ia
anggap wanita ini sebagai isteri yang ideal : selalu membantu ayahnya dalam
tiap kesulitan, siap menggulung lengan baju membantu suami dalam kesempitan
keuangan, mendidik anak-anaknya agar kelak tak terlempar dari masyarakatnya
mendatang, seorang ibu tumahtangga yang menempatkan segala benda dan hal pada
tempatnya yang benar dan layak, dan melakukan pekerjaan sehari-hari tanpa
mengeluh atau meminta pujian. Ibu ini menjadi ukuran baginya untuk mengukur
nilai seorang perempuan.
Pada waktu ia menginjak alam dewasa, justru ia membutuhkan
bantuan ibunya, wanita yang dihormatinya itu meninggal dunia. Akibatnya adalah
tentu : ibu tetap hidup di dalam hatinya.
Kemudian ia kawin. Dengan seorang gadis yang menarik hatinya.
Di Jakarta.
Sebelum meninggalkan kampung halaman, embahnya memberinya
nasihat :
Machmud!. Aku tak tahu berapa tahun kau akan tinggal di
Jakarta. Barangkali engkau pun akan menetap di sana. Kelak engkau akan kawin.
Hati-hatilah mencari isteri. Pilihan yang salah akan membuat hidupmu menjadi
salah.
Walaupun pada waktu itu Machmud telah memikirkan kawin juga,
tetapi pikiran itu masih merupakan cita, belum menjadi sesuatu yang memastikan
dan mendesak. Dan waktu itu, ia telah mendapat penghasilan baik dan berkenalan
dengan gadisnya, ia ceritakan halnya kepada embahnya.
Machmud, kata embahnya. Dalam suatu perkawinan, cinta itu
tidak benar. Mengapa?. Karena ada dua macam wanita. Yang pertama adalah wanita
yang hanya bisa dicintai tetapi tak mampu menjadi isteri yang baik---wanita
yang hanya baik menjadi kekasih. Yang kedua adalah wanita yang baik untuk
menjadi isteri tetapi mungkin tidak bisa dicintai. Untuk mencari isteri aku
ikut berdo’a agar kau mendapat isteri yang memang baik menjadi isteri. Datanglah
pada waktu-waktu yang tak tertentu ke rumahnya, dan perhatikan rumahtinggalnya,
perhatikan sedang apa ia waktu kau dating. Kalau selamanya atau sebagian besar
pada kedatanganmu yang mendadak itu rumahtinggalnya berantakan dan dia tak
lakukan sesuatu untuk membereskannya,
betapapun juga engkau cinta kepadanya, tak patut kau teruskan niatmu mengawini
dia.
Kolot!. Machmud mengejek surat itu sambil mencibirkan bibir.
Sesungguhnyalah. Surat itu tak menyenangkan hatinya, karena
sering ia dating pada waktu-waktu tertentu ke rumah gadisnya. Dan ternyata si
gadis tak pernah lakukan sesuatu hal untuk membereskan rumahtinggalnya.ia lihat
lantai yang berdaki setebal bukutulis, tiang-tiang pintu yang dekil tak pernah
digosok, meja-kursi yang berhamburan seperti kulit pisang. Ia teguk habis the
yang disediakan kepadanya, walaupun ia lihat gelasnya Nampak berminyak, dan the
berbuih. Bahkan pada suatu kali di pagihari ia dapati si gadis masih tidur,
walau hari telah jam delapan.
Tetapi ia dapat memaafkan.
Bila cinta tak dapat memaafkan, tak adalah cinta yang berumur
panjang!, pikirnya.
Machmud pun kawinlah.
Ia merasa berbahagia dalam hidupnya pernah mempunyai isteri
seperti gadisnya. Pagi-pagi benar waktu baru bangun isterinya telah menyediakan
kopi. Kemudian sarapan pun menyusul. Ia berangkat kerja dengan perasaan senang.
Di rumah pun ia merasa senang tinggal di rumah, karena kedua mertuanya tak
pernah ikut campur dengan urusannya. Bahkan kadang-kadang mertua lelaki dapat
diajaknya bicara tentang hal-hal yang sedang menjadi pikirannya. Bila ia pulang
isterinya telah menyediakan makanan masakannya sendiri. Kadang-kadang ia kagum
melihat amarah isterinya karena ia kehilangan nafsu makan. Ia mengerti, si
isteri ingin masakannya mendapat perhargaannya penuh.
Beberapa bulan kemudian keadaan telah berubah. Isterinya tak
memasak lagi. Yang memasak adalah babu. Isterinya tak mencuci lagi. Yang
mencuci adalah babu. Bila ia bangun tidur, mandi, dan siap hendak masuk kerja,
isterinya masih tergolek di ranjang. Tak jarang ia harus berangkat sebelum
minum dan mendapat sarapan sebagaimana biasa. Tetapi is mencintai isterinya.
Dan cinta itu memaafkan dia.
Kemudian mengandunglah isterinya. Ia manjakan wanita yang ia
cintai itu. Ia tak pernah ingatkan wanita itu pada kekurangan-kekurangannya. Di
hari-hari libur sering ia lihat isterinya duduk di kursi depan hingga jam
sepuluh atau sebelas pagi sebelum mandi pagi. Tetapi ini pun ia dapat
memaafkan. Dan waktu anak pertama lahir, ia merasa mendapat anugerah besar dari
segala maaf yang telah ia berikan kepada isterinya.
Anak kedua lahir.
Anak ketiga lahir.
Bangkitlah kemudian keinsyafannya, bahwa kemurahan hatinya
akan maaf itu menyebabkan isterinya menjadi pemalas. Sejak anak pertama lahir
hingga ketiga, belum lagi cukup sepuluh kali isterinya pernah memandikan mereka.
Tak cukup duapuluh lima kali isterinya menceboki mereka. Ia lihat di hadapan
matanya, anak-anaknya yang tumbuh menjadi liar. Ia bertambah lama bertambah
tua, bertambah banyak pengalaman yang diperolehnya, tetapi kemajuan yang layak dan
wajar ia tak peroleh : pikirannya mati, dibunuh oleh kekesalan dan kerisauan
hati.
Jawaban yang diperoleh dari surat embahnya sederhana saja :
Soal itu soalmu berdua sendiri. Orang lain tak bisa
memutuskan atau menentukan. Itu soal pribadi. Segala nasihat akan percuma. Itulah
sebabnya dahulu kami harus menerima isteri pilihan orangtua. Mengapa, Machmud?.
Karena orangtua tahu, calon menantunya adalah wanita yang baik untuk menjadi
isteri dan menjadi ibu dan menjadi ibu rumahtangga. Di rumahtangganya
sendirilah lelaki itu mendapatkan segala-galanya. Kalau tidak ia mencari di
luar. Bukan akau menganjurkan kepadamu, tetapi amatlah hinanya bagi seorang
lelaki yang kematian akal di rumahtangganya sendiri, hanya berhenti sampai di
perjuangan batin. Machmud!. Engkau adalah lelaki, engakau harus tentukan
sendiri keadaanmu.
Tetapi Machmud tak mampu membelokkan kedaan isterinya.
Kematian pikir menyebabkan penghasilannya tak pernah memadai
bagi keperluan sehari-hari. Dan ia lihat isterinya tak pernah memikirkan betapa
sulitnya ia mencari penghasilan. Kadang-kadang di malamhari Machmud duduk
termenung di kursi luar. Sekali ia mendapat pikiran yang buruk.
Kita terbagi atas tiga golongan : aku, isteriku, dan
aanak-anakku. Tiga golongan yangterpisah. Kalu aku mati, soalnya menjadi
gampang---terutama bagiku. Kalau isteriku yang mati, soalnya juga menjadi
gampang, karena dengan demikian aku bisa bawa anakku kea rah yang
kuidam-idamkan bagi mereka. Tetapi kini segala didikan yang kuberikan kepada
mereka dihancurkan oleh ibunya sendiri, oleh embahnya sendiri. Dan kalau
anak-anakku yang mati, soalnya juga gampang, aku akan ceraikan isteriku.
Pikiran itu diikutinya terus. Akhirnya ia merasa menyesal
waktu sadar---soal kematian. Ia mengharapkan kematian di dalam rumahtangganya
sendiri.
Tetapi maut tak dapat dipinta oleh mereka yang masih normal. Jadi
Machmud tetap hidup, isterinya tetap hidup, dan anak-anaknya tetap hidup.
Dalam masa enam tahun perkawinan itu, Machmud telah berubah menjadi
seorang lelaki yang kurus, tua, kehabisan tenaga dan berwajah muram. Pelipisnya
dirujaki uban yang berkilau-kilau bila tertimpa cahaya. Ia diam-diam merenungi
lantai bila isterinya memanggilnya kakek, dan mengejeknya, bahwa rambutnya
tertumpahi rambut bunga jambu.
Sekali waktu ia pulang ke kampung, embahnya memandangnya
dengan memendam perasaan pilu. Dan waktu beberapa orang tetangga menengoknya,
dan salah seorang dari mereka bilang :
“Orang-orang muda sekarang cepat amat tua!.”
Machmud merasa hatinya tersayat-sayat. Ia tahu orang yang
bicara itu belum lagi dikaruniai uban selembar pun dalam umurnya yang limapuluh
enam tahun itu. Dan Machmud sendiri? : duapuluh tujuh tahun!.
Ia sadari : soalnya bukan soal tua. Soalnya adalah lembaga
kehidupan---rumahtangga itu!. Ia tahu, ia bukan tua, hanya : tubuhnya layu,
jiwanya lemas. Bahkan di masa-masa sulit dan tiada jalan keluar ia masih
mengharapkan isterinya suka menyapu atau mengepel lantai, atau membereskan
buku-buku yang habis dipergunakannya. Ia masih mengharap hanya berpikir untuk
maksud yang baik-baik saja : kebahagiaan rumahtangga, pendidikan anak-anak dan
pekerjaannya.
Sebaliknya, rasa-rasanya sudah tua sekali tubuhnya dan sudah
saatnya ia meninggal dunia. Ia tak sanggup kerja lagi. Nafasnya antara sebentar
dirasainya menyesak. Buku-buku kaki dan tangannya lemas, matanya kabur. Ia
berhenti dari pekerjaannya. Ia hanya bertiduran di rumah, siang dan malam. Ia
minum banyak pel vitamin. Tetapi angan-angannya tetap mengembara tanpa arah.
Pada suatu sore dating seorang tamu. Ia masih bertiduran dan
tak ada hasrat untuk menemuinya. Isteri masuk ke dalam kamar dan berteriak :
“Tidur saja!. Kerja tak mau!. Makan minum tiap hari!.”
Hatinya menangis. Ia bangkit : Ia kenakan sarungnya dan
keluar.
Kawan, katanya. Lebih baik jangan bicara. Engkau dengar
sendiri tadi. Pulanglah. Aku tak sanggup menemui kau.
Dan ia pun menggolekkan dirinya di ranjang kembali.
Tidur lagi!. Teriak istrinya waktu masuk ke dalam kamar.
Kalau begini terus aku tidak sanggup!. Beri aku ijin kerja, kau akan lihat aku
bisa hidup tanpa pemberianmu.
Benar-benar Machmud menangis malam itu. Ia merasa malu
mendapat tantangan demikian. Ia mengerti, sekarang sudah sampai waktunya ia
memutuskan siapa yang harus mengelak antara keduanya : ia atau isterinya.
Mungkin aku. Aku yang telah kehabisan tenaga ini.
Waktu ia bangkit dari ranjang isterinya tidur di sampingnya
dan berkata :
“Kalau engkau pergi dari sini bereskan dulu surat-suratnya.”
Ia ingat peringatan itu telah diterimannya tiga kali
berturut-turut dalam setahun.
Baiklah, aku yang pergi, kata Machmud.
Dan keesokan harinya ia serahkan kembali isterinya kepada
mertuanya beserta surat permohonan cerai untuk penghulu.
Semua sudah aku pikir, jawab Machmud. Dan tentang pendidikan
anak-anak itu, katanya dalam hati, selalu mertua juga yang menghancurkannya. Untuk
pindah rumah aku tak mampu.
Dengan menjinjing kopornya ia tinggalkan kampungnya,
rumahnya, bahkan tek terpikir olehnya ia belum lagi minta diri dari
anak-anaknya. Ia tak tahu mesti ke mana. Seorang kawan yangtak diduga-duganya
telah mengajaknya tinggal bersamanya.
Sebuah lembaga kehidupan telah hancur sebuah lagi. Aku ingin
kalian ikut memikirkan. Bukan untuk mencari kesalahan antara Machmud dan
isterinya, tetapi apakah jadinya masyarakat kita bila begitu banyak lembaga
kehidupan hancur. Dan apakah pertanggungan jawab yang berkepentingan terhadap
anak-anaknya.
Kalian tahu, cerita ini belum lagi selesai, tetapi masalah
pertama telah aku kemukakan kepada kalian. [ ]
Pramoedya Ananta Toer
Majalah Roman No. 5 Th. III
Mei 1956
No comments:
Post a Comment