Sekali ini matilah segala slogan dan jargon yang berbunyi:
"Support your local films". Kenyataannya film Atambua 39 Derajat Celcius
mati kutu. Tak lebih dari sepekan, secara serentak di seluruh jaringan
21 dan XXI, film tersebut turun layar.
Hal ini mungkin pernah dialami
juga oleh film Rayya Cahaya di atas Cahaya. Tapi kalau saja siang itu
kau ikut dengan saya pergi ke Kelapa Gading, maka saya tidak akan duduk
sendirian di ruangan gelap berpendingin itu.
Mulanya diketahui ketika
membeli tiket di loket. "Belum putar mas, sebentar lagi," begitu kata si
mbak cantik (cantik standar penjual tiket sih), padahal sudah lewat
lima menit dari jadwal yang tertulis.
"Mau duduk di mana mas?" Dan
lihatlah belum ada satu pun kursi yang berwarna merah, artinya belum
satu pun tiket yang terjual.
Saya berpikir sebentar, menimbang antara
setengah horor dan waktu yang mendesak. Horor sebab saya akan duduk
sendirian di studio 4 yang besar, dingin, dan gelap, plus trailer
film-film untuk menyambut Halloween, mana tak boleh membakar cigarette
pula, aih mantap betul.
Mendesak sebab tinggal hari itu saja Atambua 39
Derajat Celcius akan diputar. Pertanyaannya, kenapa saya begitu memaksa
mesti nonton film tersebut? Setidaknya, saya tidak akan muntah seperti
jika nonton film Breaking Down (versi olok-oloknya : Berakin donk) atau
hantu-hantu lokal berbonus artis-artis sexy kaum skuter.
Sebenarnya saya masih sempat berdoa, mudah-mudahan di sela film-film
trailer yang diputar sebelum film utama itu akan datang satu atau dua
penonton lain yang minatnya sama dengan saya. Tapi sampai lampu perlahan
dimatikan dan akhirnya gelap total tak satu kepala pun yang memasuki
ruangan, "mampus dah gw!"
Kemudian dingin. Dingin yang
menekan-mendesak. Antara AC dan perasaan entah apa, mungkin takut
namanya. Tapi bukan takut sebetulnya, hanya saja kiri-kanan adalah kursi
kosong yang sewaktu-waktu bisa saja diisi oleh "entah siapa".
Lupakan prolog itu. Sebab sekitar 15 menit film berjalan, si mbak
tukang sobek karcis yang seksi (seksi standar tukang sobek karcis sih)
masuk dan ikut nonton. Dia juga sepertinya agak "sungkan" nonton dengan
kondisi sepi, itu terlihat dari mukanya yang melihat ke atas demi
memastikan ada saya di situ.
Tapi kan gelap? Bagaimana dia bisa
melihat? Maka dengan terpaksa batuklah saya demi memberi tahu dia bahwa
artinya, "Hei, jangan takut, kita nonton berdua, sayang."
Dan dia duduk di
kursi bawah, jauh di bawah saya. Dia rupanya tahu dan sadar, bahwa saya
bukan muhrimnya, maka duduk pun dibuat berjarak sedemikian rupa. Ah
sudahlah. Bagaimana filmnya?
***
Atambua 39 Derajat Celcius adalah karya terbaru dari duet maut Mira
Lesmana dan Riri Riza. Ya, duo kribo itu berhasil membuat film yang
bersetting di kota Atambua yang panas, berdebu, dan "menyengat".
Riri
Riza sebenarnya tidak berbicara muluk dengan film ini, dia hanya
memotret gejolak dan kegalauan personal dari orang-orang yang berkait
langsung dengan peristiwa politik terlepasnya Timor Timur (Timor Leste)
dari NKRI.
Adalah Ronaldo, seorang laki-laki beranak tiga yang memilih pergi ke
Indonesia pasca referendum yang dimenangkan oleh orang-orang yang pro
kemerdekaan. Dia membawa serta Joao, anak laki-laki satu-satunya yang
dipercaya akan meneruskan garis keluarga. Sementara Istri dan dua anak
perempuannya yang memilih tetap di Timor Leste, dia tinggalkan.
Atambua,
kota perbatasan di Timor Barat yang panas itu seakan tidak mampu
memujudkan harapan orang-orang yang memilih Indonesia sebagai pilihan
politiknya. Di Atambua, Ronaldo mencari nafkah dengan menjadi sopir bus
antar kota, dan Joao anaknya, menjadi tukang ojeg di pasar yang berdebu.
Hampir setiap hari, setelah bekerja Ronaldo mabuk sampai muntah.
Sedangkan Joao, di usianya yang sedang puber, sesekali pergi ke rumah
kawannya untuk ramai-ramai menikmati film-film porno. Kehidupan memang
masih bisa mereka sambung, tapi tanpa arah dan tujuan yang jelas. Mereka
seperti kehilangan alasan untuk apa mereka bekerja, selain untuk makan
(dan mabuk bagi Ronaldo).
Satu-satunya alasan bagi Joao adalah dia rindu dan ingin bertemu
dengan ibunya yang tidak pernah (atau samar-samar) dia kenali ketika dia
masih sangat kecil. Setelah mereka berpisah (dipisahkan oleh hasil
referendum), ibunya sempat merekam dalam pita kaset yang meminta kepada
Ronaldo suaminya, untuk mengembalikan Joao ke Timor Leste. Dari suara
kaset itulah, hampir setiap hari Joao mengobati kerinduan kepada
ibunya.
Film ini berjalan datar, dan mulai naik serta terjadi konflik ketika
Nikia (woman interest-nya Joao) hadir. Sementara Ronaldo pun tersangkut
masalah ketika dia menghajar kawan mabuknya dengan botol minuman keras,
dia dipenjara.
Joao dan Nikia (sebagaimana biasanya ada dalam sebuah
film), menjalani hari-hari dengan romansa yang sunyi, cinta yang
malu-malu, dan rintangan klasik. Nikia adalah perempuan remaja
yang tidak tahu asal-usulnya. Dia juga adalah manusia pengungsian yang
menjadi korban konflik.
Dia tinggal bersama kakeknya yang sudah tua (tua
banget), hidupnya tidak lama lagi, dan benar saja sutradara
membunuhnya. Ketika Joao sedang "on fire", Nikia malah memilih pergi ke
Kupang, ikut bersama suster-suster yang hidupnya mengabdi kepada Tuhan
yang mereka yakini. Tentu saja Joao merasa kehilangan, lalu dia menyusul
Nikia pergi ke Kupang.
Sementara Ronaldo, selepas dari tahanan kepolisian, berangsur sadar;
bahwa dia membutuhkan sebuah keluarga yang utuh. Dia pun kemudian
mencari Joao, sampai akhirnya bertemu dengan anaknya itu di Kupang. Sama
dengan ayahnya, Joao pun mendambakan keluarganya bisa berkumpul
semuanya.
Maka setelah pamit kepada Nikia, ayah-anak itu kembali ke
Atambua dan melanjutkan perjalanan ke Timor Leste lewat jalur alternatif
(karena tersandung masalah paspor dan visa). Berhari-hari mereka
melewati sungai dan hutan dengan berkumpul lagi dengan keluarganya.
Di palung paling akhir film ini, beberapa pertanyaan retoris muncul: Apakah kondisi seperti ini yang diinginkan oleh kemerdekaan dan
merah-putih? Apakah kemerdekaan itu adalah menceraikan manusia dari
keluarganya? Lalu terdengar sebuah narasi indah, bahwa "tak seorang
pun bisa dicabut dari asal-usulnya, dari keluarga dan tanah tempat
mereka ditadah mula-mula dan menjalani kehidupannya." (irf)
No comments:
Post a Comment