06 May 2015

Tegallega Menakar Selatan-Utara

Jayalah Badminton!

Barangkali Bre Redana benar, bahwa selain car free day, kita juga sekali-kali mesti mencoba gadget free day. Hal ini saya pahami sebagai sebuah laku pengalaman. Hari Ahad kemarin (3 Mei 2015), waktu ngaleut Tegallega, saya mencoba bertindak sebagai yang meng-update kegiatan ke twitter. Sepanjang perjalanan saya kerap menunduk, ditawan layar smartphone. Hal ini menyebabkan saya abai terhadap pengamatan yang lebih detail, saya hanya memburu beberapa gambar demi kecepatan informasi.  Sehari setelah kegiatan itu, saya hanya bisa termangu di depan layar Ms. Word, kosong—apa yang hendak saya tulis? Sudah satu jam lewat, tapi ingatan sepanjang ngaleut Tegallega tercecer entah di mana, barangkali di smartphone itu. Yakinlah saya sekarang, bahwa gadget tak membawa saya ke mana-mana. Di beberapa potong waktu, dia juga mesti istirahat.

Maka catatan yang lahir kemudian tak lebih dari laku “babalědogan”, sebuah rekontruksi dari ingatan yang tercecer dan prematur. Tapi memang di sinilah letaknya, bahwa kerja koreksi dari pembaca diciptakan bukan untuk menahan lahirnya catatan, namun sebagai instrument untuk membuka ruang komunikasi yang lebih karib.

Dari sini, dari layar yang semula putih, akhirnya ada juga jejalin paragraph yang coba saya susun.

***

Apa yang menarik dari Tegallega? Pertanyaan itu menurut saya penting, sebab tanpa ketertarikan, gerak manusia tak lebih dari mesin yang takdirnya tak punya jiwa.

Buat saya yang sudah merasa giung dengan suasana Jl. Asia-Afrika akhir-akhir ini, pilihan ngaleut Tegallega bukanlah ide yang buruk. Alasannya tak kurang dari dua. Pertama, jika menempatkan Tegallega sebagai sebuah taman, maka di daerah Utara semua taman sudah saya singgahi. Dari Taman Balaikota sampai Taman Lansia semuanya sudah khatam. Kedua, meskipun masuk Bandung dimulai sejak tahun 2002, namun tak pernah sekali pun saya masuk ke dalam Tegallega. Tahu bahwa di sana ada Tugu Bandung Lautan Api, juga pernah membaca buku tentang kisah pacuan kuda, tapi saya hanya pernah lewat saja.

Maka pagi itu, dimulai dari halaman Museum Sri Baduga, hal pertama yang saya temui adalah para penjaga pintu masuk dengan sobekan karcis di tangan. Saya hampir tertawa, ruang publik macam apa yang bertiket? Orang-orang bukan mau menonton pacuan kuda, bukan pula hendak masuk wahana tong setan, rumah hantu, dan sebagainya—tapi hanya mau masuk ke sebuah lapangan yang maha luas untuk berolahraga, jalan-jalan, dan belanja. Dilihat dari sudut pandang manapun, masuk Tegallega dengan membayar karcis buat saya tidak masuk akal.

Yang lebih parah ternyata pembayaran tiket pun berlapis dua. Pertama, waktu masuk di pintu luar. Kedua, waktu akan masuk ke area badminton massal, atau ke wilayah yang lebih dekat dengan Monumen Bandung Lautan Api. Harga karcis memang tak mahal, hanya seribu rupiah per-pintu masuk, tapi ketidaklayakan pungutan inilah yang membuat saya enggan untuk mengeluarkan uang. Dengan uang yang saya keluarkan apa yang saya dapat? Tidak ada! Bahkan orang-orang yang hendak bermain badminton pun “disediakan” tempat penyewaan raket yang artinya harus kembali mengeluarkan uang.

Logika tukang parkir—yang meskipun terkadang tidak terlalu penting, buat saya lebih masuk akal. Anggaplah dia ikut menjaga kendaraan kita dan membantu waktu kita akan kembali ke haribaan jalan raya. Artinya, di sana ada kerja, ada manfaat yang kita peroleh.

Di luar persoalan karcis seribu rupiah tadi, buat saya Tegallega adalah pasar yang lengkap. Dari penjual biji pala, “kacamata kuda”, semur jengkol, sandal berduri, penyewaan raket, salep gatal-gatal, tukang batu akik, catur berhadiah, sampai judi mendirikan botol bekas minuman berenergi, semuanya ada. Rakyat bergembira dengan aneka macam barang dan penawaran. Ini adalah interaksi yang mesra, tawar-menawar harga yang seru, juga piknik murah meriah bagi kalangan bawah.

Di Bandung, ketika arah mataangin menjadi persoalan serius karena terkait dengan pengelompokan warga yang diskriminatif, Tegallega mencuat menjadi simbol ruang publik orang-orang Selatan--kaum pribumi yang kerap dimarjinalkan. Hari ini, membicarakan pribumi dan non pribumi sebenarnya tidak relevan, namun jika dilihat dari riwayat ke belakang, ada celah yang bisa saya persoalkan.

Kaum kolonial membagi Bandung menjadi kawasan Utara dan Selatan--dengan de Groote Postweg sebagai pembelah, untuk memisahkan orang-orang Eropa, Timur jauh, dan pribumi. Dari Jl. Asia-Afrika yang kita sekarang, pribumi harus menempati daerah Selatan. Bahkan sampai masa bersiap atau sekitar revolusi kemerdekaan, pasukan republik adalah mereka yang menempati wilayah Selatan dengan rel kereta pai sebagai garis demarkasi.

Dari kenyataan ini pula kemudian lahir lagu-lagu patriotik-romantik dari tangan dingin Ismail Marzuki seperti; Sapu Tangan dari Bandung Selatan dan Bandung Selatan di Waktu Malam. Kita bisa berdebat bahwa hal itu karena istri sang musisi memang orang Ciwidey, justeru hal itulah menunjukan bahwa kaum pribumi memang di Selatan. Puncak keterkaitan antara Selatan, pribumi, dan rentetan revolusi adalah dengan mengungsinya orang-orang pribumi ke Selatan ketika peristiwa Bandung Lautan Api. Lalu semuanya seperti hendak mengabadi dengan didirikannya monumen peringatan di Tegallega!

Kenyataan hari ini adalah bahwa taman-taman yang direvitalisasi oleh pemkot hampir semuanya berada di Utara; Taman Balaikota, Taman PERSIB, Taman Lansia, Taman Kandaga Puspa, Pet Park, Taman Pasupati/Jomblo, Taman Film, Taman Fitnes, Taman Panatayudha, Taman Superhero, Taman Fotografi, semuanya tak ada yang melintas ke Jalan Raya Pos selain alun-alun yang kesohor dengan rumput sintetisnya.

Selain untuk menancabkan beberapa “nisan” dan bola batu dalam rangka peringatan KAA yang ke-50 dan 60, Tegallega jarang diposisikan sebagai sebagai ruang publik yang penting. Salahsatu indikator penting atau tidaknya sebuah ruang publik adalah dengan berkibarnya di jejaring sosial. Media kekikinian yang kerap mengorbitkan banyak hal itu sangat jarang membahas lapangan maha luas tersebut.

Tata kelola yang kurang baik seperti duri dalam daging bagi gempita pesta rakyat di setiap penghujung pekan. Padahal di tengah kesederhanaannya, Tegallega justeru membibit kembali budaya olahraga yang pernah gilang gemilang di negeri ini. Badminton yang dulu sangat populer hadir dalam wujud lapangan massal, juga kolam renang murah-meriah tempat bintang renang Jabar (Catherine Surya) berlatih semasa kecilnya.

Dengan potensi bawaannya, yaitu luas yang sangat, Tegallega layak untuk diperhatikan, ditata ulang, dan diberdayakan seluas-luasnya bagi masyarakat. Hari ini, sentimen Utara-Selatan yang dulu pernah digagas oleh kaum kolonial, mestinya sudah selesai. Namun hari ini juga, Tegallega membawa pesan bahwa hal itu masih perlu dipertanyakan. [ ]


Foto : Arsip Irfan TP       

No comments: