Jayalah Badminton! |
Barangkali
Bre Redana benar, bahwa selain car free
day, kita juga sekali-kali mesti mencoba gadget free day. Hal ini saya pahami sebagai sebuah laku
pengalaman. Hari Ahad kemarin (3 Mei 2015), waktu ngaleut Tegallega, saya mencoba
bertindak sebagai yang meng-update
kegiatan ke twitter. Sepanjang perjalanan saya kerap menunduk, ditawan layar smartphone. Hal ini menyebabkan saya
abai terhadap pengamatan yang lebih detail, saya hanya memburu beberapa gambar
demi kecepatan informasi. Sehari setelah
kegiatan itu, saya hanya bisa termangu di depan layar Ms. Word, kosong—apa yang
hendak saya tulis? Sudah satu jam lewat, tapi ingatan sepanjang ngaleut
Tegallega tercecer entah di mana, barangkali di smartphone itu. Yakinlah saya sekarang, bahwa gadget tak membawa saya ke mana-mana. Di beberapa potong waktu, dia
juga mesti istirahat.
Maka catatan
yang lahir kemudian tak lebih dari laku “babalědogan”, sebuah
rekontruksi dari ingatan yang tercecer dan prematur. Tapi memang di sinilah
letaknya, bahwa kerja koreksi dari pembaca diciptakan bukan untuk menahan
lahirnya catatan, namun sebagai instrument untuk membuka ruang komunikasi yang
lebih karib.
Dari sini,
dari layar yang semula putih, akhirnya ada juga jejalin paragraph yang coba
saya susun.
***
Apa yang
menarik dari Tegallega? Pertanyaan itu menurut saya penting, sebab tanpa
ketertarikan, gerak manusia tak lebih dari mesin yang takdirnya tak punya jiwa.
Buat saya
yang sudah merasa giung dengan
suasana Jl. Asia-Afrika akhir-akhir ini, pilihan ngaleut Tegallega bukanlah ide
yang buruk. Alasannya tak kurang dari dua. Pertama, jika menempatkan Tegallega
sebagai sebuah taman, maka di daerah Utara semua taman sudah saya singgahi.
Dari Taman Balaikota sampai Taman Lansia semuanya sudah khatam. Kedua, meskipun
masuk Bandung dimulai sejak tahun 2002, namun tak pernah sekali pun saya masuk
ke dalam Tegallega. Tahu bahwa di sana ada Tugu Bandung Lautan Api, juga pernah
membaca buku tentang kisah pacuan kuda, tapi saya hanya pernah lewat saja.
Maka pagi
itu, dimulai dari halaman Museum Sri Baduga, hal pertama yang saya temui adalah
para penjaga pintu masuk dengan sobekan karcis di tangan. Saya hampir tertawa,
ruang publik macam apa yang bertiket? Orang-orang bukan mau menonton pacuan
kuda, bukan pula hendak masuk wahana tong setan, rumah hantu, dan
sebagainya—tapi hanya mau masuk ke sebuah lapangan yang maha luas untuk berolahraga,
jalan-jalan, dan belanja. Dilihat dari sudut pandang manapun, masuk Tegallega
dengan membayar karcis buat saya tidak masuk akal.
Yang lebih
parah ternyata pembayaran tiket pun berlapis dua. Pertama, waktu masuk di pintu
luar. Kedua, waktu akan masuk ke area badminton massal, atau ke wilayah yang
lebih dekat dengan Monumen Bandung Lautan Api. Harga karcis memang tak mahal,
hanya seribu rupiah per-pintu masuk, tapi ketidaklayakan pungutan inilah yang
membuat saya enggan untuk mengeluarkan uang. Dengan uang yang saya keluarkan
apa yang saya dapat? Tidak ada! Bahkan orang-orang yang hendak bermain
badminton pun “disediakan” tempat penyewaan raket yang artinya harus kembali
mengeluarkan uang.
Logika
tukang parkir—yang meskipun terkadang tidak terlalu penting, buat saya lebih
masuk akal. Anggaplah dia ikut menjaga kendaraan kita dan membantu waktu kita
akan kembali ke haribaan jalan raya. Artinya, di sana ada kerja, ada manfaat
yang kita peroleh.
Di luar
persoalan karcis seribu rupiah tadi, buat saya Tegallega adalah pasar yang
lengkap. Dari penjual biji pala, “kacamata kuda”, semur jengkol, sandal
berduri, penyewaan raket, salep gatal-gatal, tukang batu akik, catur berhadiah,
sampai judi mendirikan botol bekas minuman berenergi, semuanya ada. Rakyat bergembira
dengan aneka macam barang dan penawaran. Ini adalah interaksi yang mesra,
tawar-menawar harga yang seru, juga piknik murah meriah bagi kalangan bawah.
Di Bandung,
ketika arah mataangin menjadi persoalan serius karena terkait dengan
pengelompokan warga yang diskriminatif, Tegallega mencuat menjadi simbol ruang publik
orang-orang Selatan--kaum pribumi yang kerap dimarjinalkan. Hari ini,
membicarakan pribumi dan non pribumi sebenarnya tidak relevan, namun jika
dilihat dari riwayat ke belakang, ada celah yang bisa saya persoalkan.
Kaum
kolonial membagi Bandung menjadi kawasan Utara dan Selatan--dengan de Groote Postweg sebagai pembelah,
untuk memisahkan orang-orang Eropa, Timur jauh, dan pribumi. Dari Jl.
Asia-Afrika yang kita sekarang, pribumi harus menempati daerah Selatan. Bahkan
sampai masa bersiap atau sekitar revolusi kemerdekaan, pasukan republik adalah mereka
yang menempati wilayah Selatan dengan rel kereta pai sebagai garis demarkasi.
Dari
kenyataan ini pula kemudian lahir lagu-lagu patriotik-romantik dari tangan
dingin Ismail Marzuki seperti; Sapu
Tangan dari Bandung Selatan dan Bandung
Selatan di Waktu Malam. Kita bisa berdebat bahwa hal itu karena istri sang
musisi memang orang Ciwidey, justeru hal itulah menunjukan bahwa kaum pribumi
memang di Selatan. Puncak keterkaitan antara Selatan, pribumi, dan rentetan
revolusi adalah dengan mengungsinya orang-orang pribumi ke Selatan ketika
peristiwa Bandung Lautan Api. Lalu semuanya seperti hendak mengabadi dengan
didirikannya monumen peringatan di Tegallega!
Kenyataan
hari ini adalah bahwa taman-taman yang direvitalisasi oleh pemkot hampir
semuanya berada di Utara; Taman Balaikota, Taman PERSIB, Taman Lansia, Taman
Kandaga Puspa, Pet Park, Taman Pasupati/Jomblo, Taman Film, Taman Fitnes, Taman
Panatayudha, Taman Superhero, Taman Fotografi, semuanya tak ada yang melintas
ke Jalan Raya Pos selain alun-alun yang kesohor dengan rumput sintetisnya.
Selain untuk
menancabkan beberapa “nisan” dan bola batu dalam rangka peringatan KAA yang
ke-50 dan 60, Tegallega jarang diposisikan sebagai sebagai ruang publik yang
penting. Salahsatu indikator penting atau tidaknya sebuah ruang publik adalah
dengan berkibarnya di jejaring sosial. Media kekikinian yang kerap mengorbitkan banyak hal itu sangat jarang
membahas lapangan maha luas tersebut.
Tata kelola
yang kurang baik seperti duri dalam daging bagi gempita pesta rakyat di setiap
penghujung pekan. Padahal di tengah kesederhanaannya, Tegallega justeru
membibit kembali budaya olahraga yang pernah gilang gemilang di negeri ini.
Badminton yang dulu sangat populer hadir dalam wujud lapangan massal, juga
kolam renang murah-meriah tempat bintang renang Jabar (Catherine Surya)
berlatih semasa kecilnya.
Dengan
potensi bawaannya, yaitu luas yang sangat, Tegallega layak untuk diperhatikan,
ditata ulang, dan diberdayakan seluas-luasnya bagi masyarakat. Hari ini,
sentimen Utara-Selatan yang dulu pernah digagas oleh kaum kolonial, mestinya
sudah selesai. Namun hari ini juga, Tegallega membawa pesan bahwa hal itu masih
perlu dipertanyakan. [ ]
Foto : Arsip
Irfan TP
No comments:
Post a Comment