11 May 2015

Kordon adalah Kita


Seorang perempuan muda turun dari angkot jurusan Buahbatu-Kalapa di Jl. Gurame. Saya kira dia masih usia kuliah, dari wajah yang tak boros saya menebaknya. “Ti Kordon,” ucapnya sambil memberikan ongkos ke sopir angkot. Kordon? Ya, semenjak berdomisili di Buahbatu, saya sering mendengar kata itu.

Kata berikutnya yang begitu lekat dengan Kordon adalah Pasar, maka menempellah Pasar Kordon di lereng ingatan, dan apa yang mengendap di benak saya dari sebuah pasar? ; jorok dan bau tentu saja. Pasar Kordon dari jalan raya, selalu terlihat deretan pisang yang menggantung menunggu pinangan calon pembeli, dan lorong agak gelap ke dalam. Kalau saja minat pada sejarah dan kehidupan sosial tidak membibit, barangkali saya tidak akan pernah nyukcruk ke dalam pasar itu. Maka Ahad kemarin (10 mei 2015) minat itu mengejawantah; saya mencoba menyigi Kordon.

***

Selain di Buahbatu, nama Kordon ternyata ada juga di daerah Dago. Lalu apa arti Kordon? Lema ini dalam KBBI berarti garis pelindung atau garis pertahanan. Sedangkan dalam khazanah bahasa Inggris, Cordon diartikan sebagai : a line of people, military posts, or ships stationed around an area to enclose or guard it.  

Karena secara harfiah kata Kordon terkait dengan kemiliteran, maka kemudian timbul pendapat yang menyatakan bahwa penamaan Kordon yang berada di Buahbatu erat hubungannya dengan peristiwa revolusi di Bandung. Satu contoh pertempuran dapat diambil dari buku memoar seorang anggota Resimen Pelopor; R.J. Rusady W. beliau menulis : “Pada bulan Juli 1946, di Buahbatu terjadi pertempuran hebat dengan Kompi Ambon “Anjing NICA”, yang mengakibatkan puluhan korban di pihak Hizbullah.”

Plakat di jembatan yg ke arah masjid
Kalau kita mencoba bertanya secara acak ke beberapa orangtua di sana, maka folklore yang berkembang ternyata berbeda dengan sudut pandang kemiliteran. Saya sempat bertanya kepada dua orang sepuh, dan cerita keduanya sama; yaitu bahwa Kordon berasal dari kata “cokor” dan “ngadon”, yang kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih “kaki/orang yang numpang main”. Penjelasannya adalah bahwa dulu sebelum ada pasar, Kordon telah menjadi pusat bermain beberapa warga dari kampung sekitar. Pusat keramaiannya adalah station/halte kereta api yang menuju ke Ciwidey. Karena hal itulah “cokor ngadon” dilekatkan.

Dari beberapa kemungkinan di atas, jika dikaitkan dengan nama Kordon di daerah Dago, sepertinya penamaan Kordon lebih tepat merujuk kepada arti harfiah. Namun bukan yang terkait dengan masa revolusi di Bandung, tapi adanya kesamaan dalam hal “garis pelindung” yang berupa pintu air. Ihwal pertempuran dan folklore yang berkembang di Buahbatu, rupanya berbeda dengan yang ada di Dago, jadi kesamaannya hanya pada pintu air.

***

Sungai yang membelah Pasar Kordon tipikal sungai-sungai yang ada di sekujur Nusantara; kotor, penuh sampah, dan bau. Jika ada yang menarik dari sungai ini tentu adalah cerita rakyat tentang Curug Ece. Persis di bawah pasar, terdapat air terjun/curug kecil yang cukup melegenda. Asal usul penamaan Ece pun terbelah menjadi dua cerita (setidaknya yang saya ketahui).

Pertama, Ece adalah seorang tua yang pikirannya agak terganggu. Setiap hari dia bermain di sekitar curug tersebut. Suatu hari orang-orang menemukan jasadnya telah mengambang di permukaan curug tersebut. Kedua, ada dua orang jawara/jagoan yang hendak beradu kekuatan dengan jalan menenggelamkan diri di sungai tersebut. Satu orang bersal dari Sekelimus, dan satu orang lagi dari Buahbatu yang bernama Ece. Dan ternyata Ece menang, sampai sekarang dirinya tidak pernah muncul lagi ke permukaan, tenggelam selamanya di dekat curug tersebut.

Bekas rel kereta api di dalam pasar
Terlepas dari cerita rakyat tersebut, Kordon memang dibelah oleh sungai yang mengalir ke arah Selatan. Di dekat Jl. Batununggal sungai tersebut dipotong oleh alat penyaring sampah yang keberadaannya kontroversial. Alat tersebut dibuat persis di sebelah bangunan permanen, semacam pos Dinas Kebersihan. Namun beberapa saat setelah diresmikan, penyaringan tersebut malah menjadi malapetaka, sebab sampah yang menyangkut menyumbat aliran air. Debit kemudian naik dan tumpah ke pemukiman warga.

Warga marah, penyaringan disingkirkan dari sungai, proyek pemerintah itu berantakan. Kini di dekat pos tersebut menjadi tempat pengumpulan sampah sementara dari limbah rumahtangga yang sebagian tidak dibuang ke sungai.

Dari bahasan sungai kita kembali ke pasar. Di dalam pasar terdapat bekas rel kereta api yang dulu memanjang sampai ke Ciwidey. Station/halte tidak jauh dari pasar, sekira 50 meter yang berada di Jl. Puskesmas, arah Selatan pasar. Selain itu ada juga tugu bekas penanda perbatasan antara Kota dan Kabupaten Bandung.

Mula berdirinya pasar---berdasarkan penuturan seorang warga, adalah ketika seorang pedagang asal Pangalengan yang bernama Pak Ruhiyat, membuka toko besi/matrial dan minyak tanah di dekat bekas rel kereta yang dibatasi oleh kawat. Pembatas yang dibuat oleh PT. KAI tersebut kemudian dibuka demi pelebaran lahan niaga. Nasib bisnis matrial kurang mujur, hanya minyak tanah yang tidak gulung tikar. Setelah itu kemudian satu persatu warga yang lain ikur berjualan di sana. Bertambah, berlipat ganda, lalu terbentuklah sebuah pasar yang cukup besar.

Konsekwensi dari berdagang di sana adalah pembayaran retribusi yang berlipat; pertama ke dinas pengelola pasar, dan yang kedua ke keluarga Pak Ruhiyat yang merasa mempunyai hak atas lahan tersebut. Pak Ruhiyat sendiri mempunyai tujuh orang anak, yang pertama bernama Opon, kini tinggal di dekat bekas bioskop di daerah Margacinta.

Komoditi yang paling terkenal di Pasar Kordon adalah pisang. Seorang kawan sempat mencatat varian pisang tersebut, dan didapatkan angka lebih dari 10 jenis. Selain pisang, ada juga beberap buah-buahan lokal yang sekarang mulai langka seperti buah kesemek dan  kapundung.

Di pinggiran pasar, saya menjumpai beberapa pedagang ayam potong dan jeroan sedang membuang limbahnya ke sungai. Bau tak sedap bergulung-gulung, berasal dari sungai dan pasar, beradu di udara, menghajar penciuman. Sebuah prestasi jika tak muntah, dan saya berhasil. Waktu saya membidikkan kamera, mereka nampak kurang nyaman.


Hanya sepelemparan batu dari pasar, terdapat sebuah masjid yang cukup besar; itulah Masjid Agung Buahbatu yang selesai dibangun pada tahun 1939. Dari plakat yang tersisa diketahui bahwa penggagas dan jajaran panitia semuanya berasal dari warga pribumi. Nama Eropa hanya yang menggambar saja. Plakat tersebut awalnya tersimpan di gudang masjid, tergeletak begitu saja tanpa ada kesan penghargaan terhadap sejarah, sebelum kemudian sebuah surat kabar menuliskannya. Kini plakat tersebut terpasang di dinding luar masjid. Terlihat ada sebuah patahan di salahsatu pojoknya.

Bangunan masjid sendiri sudah tak menyisakan kontruksi lama, semuanya sudah baru sesuai dengan pemugaran yang dilakukan oleh pemerintah. Kombinasi masjid dan sungai (pasar berdiri belakangan) mungkin dulu dimaksudkan untuk mempermudah dalam menjalankan ibadah, yaitu untuk pengambilan air wudhu.

***

Dalam waktu yang relatif sebentar, menyigi Kordon buat saya menyenangkan sekaligus getir yang berulang. Gembira sebab bisa tahu beberapa hal tentang sejarah lokal, namun juga masih dihadapkan pada beberapa kenyataan yang masih, dan semakin parah tentang kondisi lingkungan yang buruk.    

Pada beberapa cerita rakyat yang beredar, budaya buang sampah ke sungai, rel kereta api yang terbengkalai, buah-buahan lokal, penghargaan kepada sejarah yang minim pada kasus plakat masjid; Kordon sesungguhnya wajah yang telah lama kita kenal. Inilah rupa khas tata kelola oleh pemerintah yang ringkih, dan kehidupan warga sehari-hari; yang kita lebur di dalamnya. Ya, Kordon adalah kita. [irf]


Foto : Arsip Irfan TP

No comments: