Seorang
perempuan muda turun dari angkot jurusan Buahbatu-Kalapa di Jl. Gurame. Saya
kira dia masih usia kuliah, dari wajah yang tak boros saya menebaknya. “Ti
Kordon,” ucapnya sambil memberikan ongkos ke sopir angkot. Kordon? Ya, semenjak
berdomisili di Buahbatu, saya sering mendengar kata itu.
Kata
berikutnya yang begitu lekat dengan Kordon adalah Pasar, maka menempellah Pasar
Kordon di lereng ingatan, dan apa yang mengendap di benak saya dari sebuah
pasar? ; jorok dan bau tentu saja. Pasar Kordon dari jalan raya, selalu
terlihat deretan pisang yang menggantung menunggu pinangan calon pembeli, dan
lorong agak gelap ke dalam. Kalau saja minat pada sejarah dan kehidupan sosial
tidak membibit, barangkali saya tidak akan pernah nyukcruk ke dalam pasar itu. Maka Ahad kemarin (10 mei 2015) minat
itu mengejawantah; saya mencoba menyigi Kordon.
***
Selain di
Buahbatu, nama Kordon ternyata ada juga di daerah Dago. Lalu apa arti Kordon? Lema
ini dalam KBBI berarti garis pelindung
atau garis pertahanan. Sedangkan dalam
khazanah bahasa Inggris, Cordon diartikan sebagai : a line of people, military posts, or ships stationed around an area to
enclose or guard it.
Karena
secara harfiah kata Kordon terkait dengan kemiliteran, maka kemudian timbul
pendapat yang menyatakan bahwa penamaan Kordon yang berada di Buahbatu erat
hubungannya dengan peristiwa revolusi di Bandung. Satu contoh pertempuran dapat
diambil dari buku memoar seorang anggota Resimen Pelopor; R.J. Rusady W. beliau
menulis : “Pada bulan Juli 1946, di
Buahbatu terjadi pertempuran hebat dengan Kompi Ambon “Anjing NICA”, yang
mengakibatkan puluhan korban di pihak Hizbullah.”
Plakat di jembatan yg ke arah masjid |
Kalau kita
mencoba bertanya secara acak ke beberapa orangtua di sana, maka folklore yang berkembang ternyata berbeda
dengan sudut pandang kemiliteran. Saya sempat bertanya kepada dua orang sepuh,
dan cerita keduanya sama; yaitu bahwa Kordon berasal dari kata “cokor” dan
“ngadon”, yang kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih
“kaki/orang yang numpang main”. Penjelasannya adalah bahwa dulu sebelum ada
pasar, Kordon telah menjadi pusat bermain beberapa warga dari kampung sekitar.
Pusat keramaiannya adalah station/halte kereta api yang menuju ke Ciwidey.
Karena hal itulah “cokor ngadon” dilekatkan.
Dari beberapa
kemungkinan di atas, jika dikaitkan dengan nama Kordon di daerah Dago,
sepertinya penamaan Kordon lebih tepat merujuk kepada arti harfiah. Namun bukan
yang terkait dengan masa revolusi di Bandung, tapi adanya kesamaan dalam hal
“garis pelindung” yang berupa pintu air. Ihwal pertempuran dan folklore yang berkembang di Buahbatu,
rupanya berbeda dengan yang ada di Dago, jadi kesamaannya hanya pada pintu air.
***
Sungai yang
membelah Pasar Kordon tipikal sungai-sungai yang ada di sekujur Nusantara; kotor,
penuh sampah, dan bau. Jika ada yang menarik dari sungai ini tentu adalah cerita
rakyat tentang Curug Ece. Persis di bawah pasar, terdapat air terjun/curug
kecil yang cukup melegenda. Asal usul penamaan Ece pun terbelah menjadi dua
cerita (setidaknya yang saya ketahui).
Pertama, Ece
adalah seorang tua yang pikirannya agak terganggu. Setiap hari dia bermain di
sekitar curug tersebut. Suatu hari orang-orang menemukan jasadnya telah
mengambang di permukaan curug tersebut. Kedua, ada dua orang jawara/jagoan yang
hendak beradu kekuatan dengan jalan menenggelamkan diri di sungai tersebut. Satu
orang bersal dari Sekelimus, dan satu orang lagi dari Buahbatu yang bernama
Ece. Dan ternyata Ece menang, sampai sekarang dirinya tidak pernah muncul lagi
ke permukaan, tenggelam selamanya di dekat curug tersebut.
Bekas rel kereta api di dalam pasar |
Terlepas
dari cerita rakyat tersebut, Kordon memang dibelah oleh sungai yang mengalir ke
arah Selatan. Di dekat Jl. Batununggal sungai tersebut dipotong oleh alat
penyaring sampah yang keberadaannya kontroversial. Alat tersebut dibuat persis
di sebelah bangunan permanen, semacam pos Dinas Kebersihan. Namun beberapa saat
setelah diresmikan, penyaringan tersebut malah menjadi malapetaka, sebab sampah
yang menyangkut menyumbat aliran air. Debit kemudian naik dan tumpah ke
pemukiman warga.
Warga marah,
penyaringan disingkirkan dari sungai, proyek pemerintah itu berantakan. Kini di
dekat pos tersebut menjadi tempat pengumpulan sampah sementara dari limbah
rumahtangga yang sebagian tidak dibuang ke sungai.
Dari bahasan
sungai kita kembali ke pasar. Di dalam pasar terdapat bekas rel kereta api yang
dulu memanjang sampai ke Ciwidey. Station/halte tidak jauh dari pasar, sekira
50 meter yang berada di Jl. Puskesmas, arah Selatan pasar. Selain itu ada juga
tugu bekas penanda perbatasan antara Kota dan Kabupaten Bandung.
Mula
berdirinya pasar---berdasarkan penuturan seorang warga, adalah ketika seorang
pedagang asal Pangalengan yang bernama Pak Ruhiyat, membuka toko besi/matrial
dan minyak tanah di dekat bekas rel kereta yang dibatasi oleh kawat. Pembatas
yang dibuat oleh PT. KAI tersebut kemudian dibuka demi pelebaran lahan niaga. Nasib
bisnis matrial kurang mujur, hanya minyak tanah yang tidak gulung tikar. Setelah
itu kemudian satu persatu warga yang lain ikur berjualan di sana. Bertambah,
berlipat ganda, lalu terbentuklah sebuah pasar yang cukup besar.
Konsekwensi
dari berdagang di sana adalah pembayaran retribusi yang berlipat; pertama ke
dinas pengelola pasar, dan yang kedua ke keluarga Pak Ruhiyat yang merasa mempunyai
hak atas lahan tersebut. Pak Ruhiyat sendiri mempunyai tujuh orang anak, yang
pertama bernama Opon, kini tinggal di dekat bekas bioskop di daerah Margacinta.
Komoditi
yang paling terkenal di Pasar Kordon adalah pisang. Seorang kawan sempat
mencatat varian pisang tersebut, dan didapatkan angka lebih dari 10 jenis. Selain
pisang, ada juga beberap buah-buahan lokal yang sekarang mulai langka seperti
buah kesemek dan kapundung.
Di pinggiran
pasar, saya menjumpai beberapa pedagang ayam potong dan jeroan sedang membuang
limbahnya ke sungai. Bau tak sedap bergulung-gulung, berasal dari sungai dan
pasar, beradu di udara, menghajar penciuman. Sebuah prestasi jika tak muntah,
dan saya berhasil. Waktu saya membidikkan kamera, mereka nampak kurang nyaman.
Hanya
sepelemparan batu dari pasar, terdapat sebuah masjid yang cukup besar; itulah
Masjid Agung Buahbatu yang selesai dibangun pada tahun 1939. Dari plakat yang
tersisa diketahui bahwa penggagas dan jajaran panitia semuanya berasal dari
warga pribumi. Nama Eropa hanya yang menggambar saja. Plakat tersebut awalnya
tersimpan di gudang masjid, tergeletak begitu saja tanpa ada kesan penghargaan
terhadap sejarah, sebelum kemudian sebuah surat kabar menuliskannya. Kini
plakat tersebut terpasang di dinding luar masjid. Terlihat ada sebuah patahan
di salahsatu pojoknya.
Bangunan
masjid sendiri sudah tak menyisakan kontruksi lama, semuanya sudah baru sesuai
dengan pemugaran yang dilakukan oleh pemerintah. Kombinasi masjid dan sungai
(pasar berdiri belakangan) mungkin dulu dimaksudkan untuk mempermudah dalam
menjalankan ibadah, yaitu untuk pengambilan air wudhu.
***
Dalam waktu
yang relatif sebentar, menyigi Kordon buat saya menyenangkan sekaligus getir
yang berulang. Gembira sebab bisa tahu beberapa hal tentang sejarah lokal,
namun juga masih dihadapkan pada beberapa kenyataan yang masih, dan semakin
parah tentang kondisi lingkungan yang buruk.
Pada beberapa
cerita rakyat yang beredar, budaya buang sampah ke sungai, rel kereta api yang
terbengkalai, buah-buahan lokal, penghargaan kepada sejarah yang minim pada
kasus plakat masjid; Kordon sesungguhnya wajah yang telah lama kita kenal. Inilah
rupa khas tata kelola oleh pemerintah yang ringkih, dan kehidupan warga
sehari-hari; yang kita lebur di dalamnya. Ya, Kordon adalah kita. [irf]
Foto : Arsip Irfan
TP
No comments:
Post a Comment