Warung kopi tempat bang Bisma dan
kawan-kawannya berkumpul, yang kini mulai mereka tinggalkan karena operasi yang
belum sepenuhnya saya ketahui, adalah warung kopi generic khas pinggir jalan.
Jangan bayangkan warung kopi itu seperti warung kopi yang ada di Manggar, atau
seperti warung kopi yang di sangat komersilkan macam Starbuck.
Kopi dengan
berbagai merek (mayoritas dikuasai “tiga huruf pertama alphabet” dan “kapal
yang rajin menyalakan api unggun”) menggantung di paku atau di sebilah kayu
yang melintang. Pembeli tinggal tunjuk saja kopi mana yang mau diseduh, sebab
di penjual pasti punya gunting untuk menuangkan serbuk ajaib itu ke dalam gelas
transparan lalu menyiramnya dengan air panas.
Rasakanlah aromanya, aroma kopi
yang dibuat dipabrik, hasil kerjasama yang cantik antara mesin dan buruh
berpenghasilan pas-pasan. Ini bukan warung kopi untuk berwisata dan tidak cocok
untuk berpose, dipotret, lalu hasilnya dijadikan modal bergaul di facebook dan
twitter. Oh lupakan semua itu. Ini adalah warung kopi di mana orangtua para
mahasiswa yang ekonominya pas-pasan menitipkan anak-anaknya dari derita
kelaparan tengah malam, sebab mie rebus dan gorengan pun menjadi penghuni tetap
warung tersebut.
Di sini, buku Karl Marx, Pram, Tan Malaka, dan doktrin
pergerakan politik kampus sangat cocok untuk disuntikkan ke kepala para
mahasiswa yang sedang puber politik, kritis, idealis, dan senang beragitasi
sambil memakai jaket almamater; semua hal yang akan cepat berlalu dan hanya
menjadi kenang-kenangan ketika jadwal kerja telah memenggal kualitas waktu.
Ketika sedang tidak sibuk
menyelidiki operasi sunyi bang Bisma dan kawan-kawanya, saya kadang-kadang
duduk di warung kopi bu Risna dan memesan segelas susu cap bendera setengah
tiang. Saya belum berani membakar cigarette, sebab masih SMP dan takut ketahuan
sama bang Bisma.
Saya hanya duduk dan menikmati susu panas sedikit demi
sedikit, sambil melamun tentunya. Pembeli yang lain biasanya orang-orang yang
lebih tua dari saya; kalau tak mahasiswa, tukang ojeg, supir angkot trayek
kampung, dan beberapa pemuda yang kurang jelas identitasnya (mahasiswa bukan,
tapi kerja juga engga, inilah mungkin yang disebut pengangguran, yang konon
mengerikan).
Bu Risna adalah spesies ibu-ibu
yang sudah lama ditinggalkan jayanya masa muda tapi belum terlalu tua. Anaknya
tiga, yang paling besar sudah kelas satu SMA dan sedang berada di titik norak
sebab puber yang membuat suaranya nge-bass telah menggiringnya menjadi anak
laki-laki yang gampang jatuh hati kepada lawan jenis sebayanya, tipe ABG yang
tidak berkarakter. Yang paling menyebalkan adalah kalau dia sedang pedekate,
aih gayanya tak lebih seperti ayam jantan mendekati petelur, kalau dia punya
sayap saya yakin sayapnya akan dikembangkan dan berjalan miring.
Nama panggilannya
tak usahlah saya sebutkan, nanti saja. Anak yang kedua masih duduk di SMP kelas
dua dan si bungsu di kelas enam SD, ya dua tahun sekali memang, cukup rajin
juga bu Risna ini. Semua anaknya berpiranti vertical sama seperti ayahnya, maka
kalau bu Risna mau mengklaim dan membanggakan diri bahwa di keluarganya
beliaulah yang paling cantik, maka boleh-boleh saja, silahkan mumpung belum
tua-tua amat.
Setiapkali saya duduk di warung kopi itu dan
pembeli lain semuanya sudah berusia di atas kepala dua, maka saya seperti
petasan cabe yang terperangkap dalam gerombolan dinamit berhulu ledak tinggi.
Mereka, para pembeli yang sudah berkepala dua itu (mayoritas mahasiswa juga
sudah berusia demikian) , seringkali melirik dengan pandangan yang membuat saya
kurang nyaman. Oh status quo, ternyata usia adalah jarak mutlak yang paling
laku untuk dijadikan semacam otoritas saling menindas.
Yang tua menganggap
remeh yang muda, yang muda mengolok-olok yang tua, yang menang adalah ego
mereka berdua. Di warung kopi itu saya kerap (orang-orang yang pernah
mengunjungi Wikipedia menyebutnya) bersolilokui. Ngomong sendiri dalam hati,
dan Farid Gaban menyebutnya belajar tidak bicara. Saya merasa terperangkap
dalam tubuh seorang anak SMP, entah kenapa.
***
Seperti yang sudah saya katakan
sebelumnya, saya dan teman-teman sebaya sepermainan adalah barisan pembenci
para orangtua yang tidak pernah mengerti bahwa masa menjelang remaja adalah
masa yang perlu dirayakan dengan aksi-aksi menyenangkan dan menegangkan agar
jerawat tidak sering muncul di sekitar muka. Tapi apa boleh buat, ternyata
tidak semua orangtua dapat memehami yang namanya jembatan zaman.
Maka tak heran
jika antar generasi seringkali terjadi deadlock. Seorang ibu bisa ribut dengan
anaknya yang masih remaja karena memperebutkan remote tv. Anak remaja maunya
nonton sinetron “putri yang tertukar dengan panci”, sedangkan si ibu berminat
betul sama film India yang punya resep baku: tari dan nyanyi, ya dalam kondisi
sesedih apa pun jangan khawatir sebab para penari selalu bersembunyi di balik
pohon lalu berhamburan menghibur tokoh yang sedang bersedih dengan tari-tarian
ceria sambil pamer pusar yang tak tak sanggup ditutupi baju sari.
Sore hari, seorang bapak setengah
baya santai dan sedap betul menghisap cigarette pertamanya sambil duduk manis
di bangku teras rumah. Anaknya baru saja lulus ke Institut Tekhnologi Gajah
Duduk jurusan teknik mesin, padahal anaknya lebih berminat kuliah di Institut
Kesenian dan Keindahan mengambil jurusan cinematograpy. Dan begituh, kuasa ayah
lebih besar daripada minat anaknya.
Si bapak berpikir bahwa jurusan teknik
lebih menjanjikan demi masa depan yang senang sentosa sejahtera daripada kuliah
mengambil seni yang dia pikir masadepannya tak jauh hanya menjadi gembel dan
gelandangan kebudayaan. Setahun berlalu si bapak dihidangkan pada satu
kenyataan: anaknya DO sebab terlalu sering bolos dan nongkrong di komunitas
film indie.
Pada sebuah siang yang bagus oleh
baluran rahmat sinar matahari, seorang bocah asyik sendiri memainkan bola
dengan kaki dan kepala, bola itu seperti lengket pada kedua kakinya, itulah dia
bocah jagoan kampung yang bercita-cita jadi pemain sepakbola profesional. Tapi
mimpinya buyar seperti tidur siang yang terganggu suara meriam bambu.
Bagi
orang kampung yang kondisi ekonominya tidak terlalu menggembirakan bercita-cita
menjadi atlet professional ibarat Adam dengan buah khuldi; menggoda tapi tidak
boleh didekati, apalagi disentuh. Kalau nekad maka akan ditendang dari dunia
mimpi dan tersadar ketika jalur hidup merayap pelan, terukur, dan membosankan
melalui hierarki bangku sekolah.
Setelah tamat SMA para orangtua akan merasa
gembira jika anaknya berhasil masuk pabrik kapitalis dan menghabiskan sisa
umurnya dengan menjadi jongos, toh menjadi atlet pun masih bisa dikejar dengan
lari pagi di setiap hari minggu yang ramai oleh obrolan para jongos dan
beberapa ambtenaar.
Itulah beberapa kondisi yang
terjadi karena deadlock. Rentang usia tiap generasi hanya bisa disambungkan
oleh jembatan zaman yang bernama pengertian. Dari titik ini pula mungkin bang
Bisma dan kawan-kawannya berangkat, mereka mencoba menjalankan sebuah misi suci
dalam bentuk operasi terselubung dan rapi demi menjembatani rentang perbedaan
antar generasi.
Tapi saya belum yakin dengan kesimpulan tersebut, sebab ibarat
sebuah puzzle, apa yang mereka lakukan masih jauh dari sebuah lukisan yang
sempurna, masih terlalu dini untuk dihujani dengan tafsir tunggal penuh
tendensi. Saya harus bersabar, orang sabar disayang bu Risna (loh?, apa
hubungannya?). .....
No comments:
Post a Comment