Ini adalah salah satu anak rohani Pramoedya Ananta Toer yang
terdapat dalam buku Menggelinding. Tulisan-tulisan Pram dalam buku tersebut
sangat jarang ditemui di ruang publik. Jika dibandingkan dengan karya-karya
Pram yang lain, yang lebih terkenal---misalnya kuartet Buru, tentu catatan ini
kalah pamor. Kumpulan tulisan Pram dalam buku Menggelinding adalah
tulisan-tulisan awal Pram dalam perjalanan kepenulisannya. Ini hanyalah sebuah
usaha untuk mencatat ulang, dan menghadirkannya kepada kalian :
## Yang Cantik dan Yang Sakit ##
Walau sudah lama aku pikirkan namun hingga kini aku tetap
takmengerti. Soalnya ialah : mengapa begitu banyak kesia-siaan dilakuakan para
wanitra untuk menjadi cantik!.
Sebetulnya tak sampai hatilah aku mngetakan apa hakikatnya, tetapi
karena ini termasuk dalam daerah ceritaku kali ini, terpaksa jugalah aku
ceritakan. Hakikatnya: membuat para pria yang melihatnya timbul nafsu
birahinya, membuat para wanita yang melihatnya disiksa oleh iri hatinya.
Memang kita semua bukanlah hidup di atas dan di dalam dunia
hakikat, barangkali kita lebih banyak hidup di dalam dan di atas dunia ke
sia-siaan. Pikiran-pikiran semacam ini timbul setelah aku memperhatikan
kehidupan sekelamin suami-istri yang begitu damai dan mnyenangkan.
Si suami memuja istrinya yang bisa berjalan begitu
menggiurkan bisa berdandan begitu ramping, walaupun telah beberapa orang
naknya, bisa berbedak begitu lamat sehingga kulit langsatnya tak kabur
karenanya. Sebaliknya sang siang dan malam, baik waktu hujan suami demikian
rajin kerjanya---maupun panas---dan barangkali pun dapat memenuhi segala yang
didambakan oleh istrinya.
Keduanya hidup rukun dan aman sentosa.
Nyonya mewakili jenis wanita yang sejati dan tuan mewakili
jenis suami yang ideal. Nyonya mengurus parasnya dengan amat baik, dan tuan
mencari uang dengan giatnya, serta tiap pagi mengantarkan anaknya masuk
sekolah.
Karena tuan pegawai menengah dengan gaji yang pasti tidak
cukup, di samping pekerjaannya yang tetap ia menyatut. Hasilnya kadang-kadang
baik, kadang-kadang ia sendiri yang kena catut.
Tetapi seluruh hasil si suami tak kan cukup buat merawat
kecantikan nyonya. Cobalah hitung sendiri berapa buat ongkos rambut yang tiap
minggu harus diurus, belum lagi termasuk transport. Kemudian : bedak, rounge,
lipstick, sipat alis, cat kuku, subal, kantung dada yang tiada musimnya, kalung
rantai, anting, bros, dan sebagainya, dan sebagainya. Perhiasan-perhiasan yang
bukan dari emas itu ternyata lebih mahal harganya karena tipa pakaian
membutuhkan komposisinya sendiri. Maka tertelan habislah gaji si suami tiap
bulan buat kesia-siaan itu. Akhirnya nyonya terpaksa membantu bekerja, sebagai
apa aku tidak tahu. Ia berangkat di siang hari dan pulang enam jam kemudian.
Tentu saja akibatnya sudah nyata : anak-anaknya tiada
berpendidikan dan terlerai dari kasih sayang orangtua. Sang babu menjadi raja
di rumahtangga.
Tetapi penghasilan itu tak juga cukup. Suami-istri yang
berbahagia itu tetap tinggal di sebuah pondok di kampung becek. Akhirnya
keduanya mendapatkan pengahasilan baru : ambil orang indekos. Dan mereka
perolehlah beberapa uang indekos. Kenyataan : separoh belanja makan mereka
dibayar oleh orang-orang indekos ini. Orang-orang indekos ini tiada lain
daripada anak-anak sekolah yang dititipkan orangtua mereka masing-masing kepada
kebijaksanaan suami-istri itu. Karena itu tuan dan nyonya berhak menentukan
pimpinan : dalam pergaulan rumahtangga dan dalam makan sehari-hari. Dengan
demikian dapatlah belanja sehari-hari dicangkok sedemikian rupa sehingga tak
melaupaui garis minimum.
Dan hidup pun berjalan terus seperti kincir angin baik ada
angin maupun tiada.
Kemudian…..meniuplah desas-desus pada kuping nyonya : kalau
beranak jangan susui si orok, menyusuimembuat perempuan menjadi lebih cepat
tua. Dan waktu anaknya yang kesekian lahir, diturutilah desas-desus itu.
Akibatnya, tiap hari harus dibeli susu asem cair, dan sekian puluh atau sekian
ratus rupiah harus bertanggungjawab atas kecantikan si nyonya. Akibat lainnya ialah
: tipa-tiap kali nyonya diserang demam susu dan tergolek setengah mati
diranjang. Sehingga pada suatu kali datang seorang kawan yang memberi nasehat :
“kalau nyonya mau hentikan keluarnya air susu itu, pasanglah
kantong dada nyonya tinggi-tinggi. Tiga hari kemudian berhentilah aliran air
susu itu.”
Ia menuruti nasehat itu, dan lenyaplah demam itu.
Tetapi alangkah terkejutnya waktu dilihatnya di kaca bahwa
mukanya menjadi tua dan berkeriput. Dengan diam-diam ia mendoa untuk
keselamatan parasnya. Dengan tiada disangka-sangkanya terkabulah doanya. Pada
suatu hari datang ibunya dari kampung dia memberinya nasehat :
“Tentu saja kau begitu cepat tua. Orang jangan menyalahi
takdir Tuhan. Anak itu mesti kau susui dari dadamu sendiri.”
Dengan takzimnya ia turuti nassehat ibunya dan dengan penuh
keyakian pula. Beberapa minggu kemudian wajahnya kembali berseri tetapi
tubuhnya tumbuh menjadi langsing mendekati kurus, sekalipun tak kehilangan garis-garis
lekuk dan lengkung kewanitaannya.
Harga barang-barang tiba-tiba meningkat. Bencana demi bencana
alam menyusul. Daerah demi daerah mengalami kegagalan panen. Bahaya kelaparan
menimpa desa demi desa. Gerombolan yang kehilangan daerah makmur berhijrah ke
daerah yang masih dapat mereka harapkan untuk memeperoleh sumber bahan mentah. Harga-harag
di kota membumbung tinggi, dan tap hari makin membumbung. Tuan kian hari kian
menjadi kurus. Kedua belah bahunya nampak seperti ditarik oleh tenaga ajaib ke
depan sehingga menjadi semakin bongkok. Antara sebentra ia memeperdengarkan
batuknya yang tiada bertenaga. Kegesiatnnya memang tak berkurang, tetapi daya
tahannya tambah dirasainya akan berkurangnya, sedang produksi kerjanya makin
merosot.
Sementara itu nyonya kian gilang gemilang kecantikannya dalam
kekurusan tubuh dan dan wajahnya. Kulitnya berubah menjadi begitu gemilang. Dan
tiap pulang ke rumahia Nampak tambah berubah. Barangkali karena di jalanan
lebih banyak lagi para pria yang memandangnya dengan birahinya. Nyatalah seri
nyonya ini ditimbulkan karena kegembiraan hidup. apa lagi!, begitu banyak mata
membirahikannya. Begitu banyak jantung memujanya.
Pada suatu hari yang tak menyenangkan tuan memuntahkan darah
kental sebesar-sebesar jari. Dokter dipanggil. Tetapi paru-paru tuan yang telah
compang-camping itu tak dapat disembuhkan dalam beberapa hari. Tuan harus
diasingkan dari rumahtangganya. Tetap tuan sendiri tak mau :
“Kalau aku mati, biarlah mati dalam rawatan istriku.”
Mula-mula nyonya merawat suaminya dengan rajinnya. Mula-mula!.
Tetapi kemudian lebih banyak ia merawat wajahnya. Seminggu tinggal di rumah
tanpa pergi bekerja dan menerima berahi dari mata serta pujaan dari hati
orang-orang lalulintas membuat hidupnya begitu sepi dan terpencil. Kareana itu
ia pun mulai bekerja lagi.
Tuan tak bisa bicara apa-apa. Ia tak pernah punya uang
simpanan. Dan ia tak pernah dianggap sebagai tokoh masyarakat yang patut
menerima hutang, apa pula dalam keadaan sesakit itu. Kadang-kadang ia ingin
melihat anaknya yang terkecil, tetapi ia tidak boleh. Ia tahan hatinya. Ia
ingin diurus oleh istrinya sendiri. Tetapi keinginannya ini batal. Dan
bersyukurlah ia menerima rawatan dari orang-orang indekosnya.
Dalam senulan tergolek di ranjang itu tak sejam pun istrinya
pernah tidur di sampingnya seperti biasa. Dan pada suatu hari di waktu senja
istrinya datang, menjenguk ke dalam kamarnya sambil membawakan susu. Ia belum
lagi berganti pakaian. Ia lihat wajah istrinya begitu gilang gemilang, begitu
mengikat, danmenggairahkan. Tiba-tiba berahinya timbul demikian hebatnya,
seperti sebelum ia kawini dia.
“Tidurlah di sampingku,” katanya merajuk.
Nyonya mencinirkan bibirnya.
Tuan merasa terhina. Tetapi ia sakit. Ia tak dapat membela diri.
“Mengapa?,” Tanya tuan.
“kan kau tak ingin aku jatuh sakit juga.”
“Aku tahu hidupku hanya tinggal beberapa minggu atau bulan
lagi. Aku tetap hormati dan puja kecantikanmu. Sebelum mati, berilah aku
kenikmatan dari kecantikan yang beguru kuhormati dan kupuja itu.”
Sore itu juga nyonya pergi ke tempat tetangganya yang paling
tua dan mnegadukan halnya.
Ah,non, aklau orang sedang diamuk nafsu, dia lupa
segala-galanya. Sifat lupanya akan lebih kuat dari pikiran-pikirannya. Dalam
nafsu yang lupa ini mungkin dia gigit lidah atau bibirmu. Lebih baik kau minta
cerai, tetapi rawatlah dia terus sebagai manusia yang pernah mencintai dan
mengasihi engkau.
Malam itu juga nyonya masuk kembali ke dlaam kamar tuan :
“Baiklah kujaga dan urus kau sampai baik, tetapi ceraikanlah
aku,” katanya.
Tuan menjadi kaku seluruh tubuhnya mendengar penawaran itu.
Matanya tak berkedip memandangi langit-langit kelampu. Ia tak bicara apa-apa.
Tengah malam ia minta minum. Ia rasai jari-jari istrinya yang lentik dan lembut
itu. Ia pegangi nyonya dengan kasihsayangnya.
“Kalau itu yang menajdi kemauan, kukabulkan permintaanmu
itu……”
Seminggu itu nyonya mengurus surat cerai sehingga dapat. Dengan
gembiranya ia perlihatkan surat itu kepada suaminya yang tergolek payah di
ranjang. Ia lihat suaminya tersenyum. Tuan minta dipanggilkan orang-orang
indekos dan meminta mereka untuk memperlihatkan anaknya yang terkecil. Ia
pandangi anak itu dari suatu jarak. Begitu montok anak itu : tuan tersneyum
berbahagia. Kemudian berbisik :
“Engkau akan hidup bahagia nak.”
Akhirnya ia suruh keluarkan si orok. Tiba-tiba. Ia berpaling
kepada nyonya dan berkata perlahan :
“Sekarang kau bukan lagi istriku. Jangan kau dekati aku. Aku
mau mati sendirian. Aku tak butuhkan kau, kau tak lagi membutuhkan aku. Bawalah
segala yang kau kehendaki. Suruh anak-anak indekos mencari pondokan lain. Rumah
ini tidak sehat bagi mereka. Bawa anak-anak pergi, juga anak ini tidak naik
bagi mereka.
Ia lihat nyonya melelehkan airmata. ”Pergi!,” kata tuan. Nyonya
masih juga tak bergerak. “Pergi!,” bentak tuan dengan suara yang lebih lelah.
Dua hari kemudian orang mendapatkan tuan telah meninggal di
atas tempat tidurnya. Ia telah atur sendiri kedua belah tangannya yang
tersilang di atas dada dan kaki yang telah dirapatkan.
Nyonya serta anak-anaknya datang untuk menangisi kematian
tuan. Terlampau banyak air mata dirtumpahkannya sehingga matanya menjadi
bengkak. Beberapa hari kemudian ia jual perabot rumahtangga yang ada, dan
berangkatlah ia ke udik bersamaanak-anaknya. Orang bilang bahwa beberapa bulan
lamanya nyonya hidup menjanda danbersunyi-sunyi di kampung.
Setengah tahun kemudian ia kembali ke kota tanpa
anak-anaknya. Kembali ia giat bekerja untuk dapat merawat kecantikan dan
mempertahankan kelangsingan resam tubuhnya. [ ]
No comments:
Post a Comment