Ruangan student centre
penuh dengan asap rokok dan gelas plastik berisi kopi. Saya dan kawan-kawan
sedang rapat persiapan menyambut mahasiswa baru angkatan 2003. Siang itu
agendanya adalah pemilihan ketua pelaksana OSPEK jurusan. Seperti juga yang
lain, saya bolos dari kelas. Mata kuliah Kewirausahaan ditinggalkan. Rapat
memutuskan saya sebagai ketua pelaksana. Buat saya, ini adalah keputusan yang
kurang nyaman. Selama aktif di organisasi kemahasiswaan saya selalu memosisikan
diri di belakang layar: dari Himpunan sampai BEM. Departemen Kajian Strategis
selalu menjadi pos pilihan. Sekali ini tantangan hadir di muka, saya mesti
menjadi sosok paling depan. Keputusan sudah diambil, dan saya tak boleh mundur.
Selesai rapat, kelas sudah bubar. Seorang kawan datang
menghampiri, “Bung, tugas Kewirausahaan sudah bikin?” tanyanya. “Tentu saja,”
jawab saya singkat. Dia kemudian melanjutkan bahwa tugas itu sudah dikumpulkan
ke dosen yang bersangkutan, dan saya mesti segera menyetorkannya. Saya bergegas
menuju ruangan dosen di lantai dua. Di ambang pintu saya berhenti dan mendapati
ruangan telah kosong. Dengan tugas di tangan, saya masuki ruangan dosen lalu
meletakkannya di di atas tumpukan tugas kawan-kawan yang lain.
Besoknya saya dipanggil dosen Kewirausahaan dan dicecar
kemarahan tanpa ampun karena ia mendapati mejanya berantakan. Saya bilang, benar
saya kemarin bolos dan terlambat mengumpulkan tugas, tapi saya tak membuat
kekacaun. Saya hanya menyimpan beberapa lembar makalah saja. “Kalau kamu yang
terakhir masuk ruangan dan tidak mengaku, lalu siapa lagi? Masa sama hantu!” Urusan
semakin rumit karena dosen itu kemudian melebar ke sikap saya yang kerap
“menyerangnya” selama di kelas.
Satu hal memang benar: selama kuliah saya adalah sosok
menyebalkan bagi sebagian orang. Di kelas, jika ada diskusi, saya selalu
bertanya dengan maksud menguji sejauh mana pengetahuan kawa-kawan, dan bukan
bermaksud ingin tahu jawabannya. Begitu pula ke semua dosen, saya kerap
“menyerang” para pengemban risalah pendidikan itu dengan pertanyaan-pertanyaan
tajam yang sebetulnya saya sudah tahu jawabannya. Dosen yang satu ini, yang
konon mejanya saya acak-acak itu, adalah juga yang kerap saya “serang”.
“Kamu sebenarnya mau apa? Setiap saya di kelas, kamu selalu menyerang
saya seperti hendak mempermalukan!” Saya pikir, jawaban apapun tak akan
meredakan amarahnya yang tengah muntab. Saya memilih diam. “Kamu mau DO?!” Sambaran
yang cukup mengejutkan. Saya pribadi sejujurnya tidak takut DO, tapi apa kabar dengan
orangtua di kampung. Tak terbayang reaksi mereka sekiranya tahu anaknya yang
ditatah dengan segenap do’a dan biaya malah kalah di gelanggang pendidikan.
Saya lemas dan cemas. “Tunggu keputusannya Senin, kamu mesti menghadap Kepala
Program Studi dan Kepala Jurusan, sebelum akhinya kamu resmi DO!” Ancaman itu
kembali menyambar.
Setelah itu saya menghubungi kawan-kawan dan menyampaikan
semuanya. Kepada Ketua Himpunan saya bilang, “Bung, saya teracam DO, sementara
saya juga harus memimpin OSPEK jurusan. Saya kira posisi kita tak aman. Segala
perizinan yang terkait dengan acara kita pasti akan dipersulit atau bahkan akan
digagalkan.” Dia diam sejenak. “Nanti sore kita ketemu di student centre, kita bicarakan dengan kawan-kawan yang lain,”
ujarnya. Kemudian saya pergi ke kantin, memesan kopi dan menghabiskan setengah
bungkus rokok. Kelas saya lupakan. Sehari itu saya tak berminat kuliah.
Sore harinya keputusan diambil: saya meletakkan jabatan yang
baru sehari diemban. Ketua pengganti diputuskan setelah melalui perdebatan yang
panjang dan panas. Menjelang
pulang, seorang kawan mencoba membesarkan hati saya, “Bung, kalau kasusnya
seperti itu, saya kira bung akan selamat, paling-paling hanya pending,”
ujarnya.
Saya kuliah di sebuah politeknik negeri. Lembaga pendidikan
yang tugasnya mempersiapkan buruh-buruh pabrik nomor wahid. Setiap hari kelas
dimulai dari jam tujuh pagi dan selesai jam tiga sore. Dosen memegang absen,
setiap hari mereka teriak di kelas menyebut mahasiswanya satu persatu. SKS
dipaket, dan tiap semester mahasiswa menyerahkan lehernya di ambang pisau
pancung. Jika dalam satu semester terdapat satu nilai E atau tujuh nilai D,
maka ia otomatis DO. Tak ada semester pendek, tak ada kesempatan memperbaki
bopeng di transkrip nilai. Lama kuliah dibatasi hanya tiga tahun, dan toleransi
setahun bagi mereka yang malas dan lemah iman. “Pending” adalah kosakata
politeknik untuk toleransi itu.
Asal tahu saja, baik pending maupun DO, keduanya adalah aib
tak terampuni. Tak terhitung banyaknya anak politeknik yang menangis ketika
vonis pending dijatuhkan. Alasannya jelas: malu dan biaya yang menggantang
sebab mesti memperpanjang kuliah selama setahun ke depan. Maka dengan tak
mengurangi rasa hormat kepada kawan yang berusaha membesarkan hati itu,
sejatinya saya tetap cemas. Waktu pulang ke kosan, saya berjalan dengan
kecemasan yang menggores.
Tiba di kosan, seorang kawan tengah uring-uringan dengan
muka pahit, entah apa penyebabnya: yang terbit hanya satu, saya ingin
melemparnya dengan sepatu. Sebuah pesan masuk di layar hp, bapak tanya kabar
dan prestasi akademik. Deg! Inilah situasi yang saya takutkan itu.
Di kosan kecemasan semakin berparade. Saya tak tahu cara
meredakannya. Lalu akhirnya teringat satu hobi yang sudah jarang dirawat:
membaca buku. Karena di rak tidak ada stok baru, saya memutuskan pergi ke
Gramedia di Jl. Merdeka. Angkot dari Ciwaruga berjalan serupa siput:
terseok-seok kepayahan. Uang di kantong tak banyak, tapi saya harus membeli
satu buku, ingin mencoba meredakan kondisi yang tengah berada di tubir
kekalahan.
Di sudut sebuah rak, saya mendapati satu buku bersampul
coklat muda, lusuh, sampul plastiknya sudah terlepas, berjudul “Aku, Buku, dan
Sebuah Sajak Cinta” karangan Muhidin M. Dahlan. Sepenggal narasi di sampul
belakangnya berbunyi: “Derita menjadi tertanggungkan ketika ia menjelma
cerita”, sebuah kutipan dari Hannah Arendt. “Derita” dan “cerita”, bukahkan dua
hal ini yang tengah saya hadapi? “Derita” berwujud kecemasan karena teror
kampus yang mengancam, dan “cerita” adalah kondisi ketika saya ingin menuliskan
semuanya. Di kasir yang lumayan antri, saya tak sabar, seperti salat isya baru
rakaat pertama sementara perut mulas tak tertahankan.
Sesampainya di kosan, saya langsung menyuntuki buku
tersebut. Memoar Muhidin ini menggiring saya ke apotek, maksudnya seperti
menelan obat penangkal sakit: terlalu banyak kesamaan, sehingga saya merasa ada
kawan senasib-sepenanggungan. “Bangke Muhidin ini!” gumam saya dalam hati.
Catatannya seperti mengejek sekaligus menyembuhkan: anak rantau, bermasalah
dengan kampus, mencintai literasi, dan kisah cinta yang morat-marit. Semuanya ditatah
dalam semesta memoar yang menggigilkan.
Perhatikan kalimatnya ketika ia harus pergi ke Yogyakarta
untuk melanjutkan sekolah: “Aku meninggalkan kotaku, kampung kelahiranku. Hari
itu adalah hari yang begitu mengharukan sekaligus mendebarkan. Mengharukan
karena ia adalah perpisahan yang panjang dengan semua sanak, semua keluarga,
semua kawan, semua kenangan. Mendebarkan karena aku tengah menuju ke suatu
titik yang jauh dari bayanganku.”
Bukan soal meninggalkan kampung, tapi saya membacanya ketika
kondisi hampir ditendang kembali ke kampung karena ancaman DO. Perpisahan
dengan kampung ternyata ga
panjang-panjang amat. Belum lagi perkataan bapaknya ketika ia hendak
benar-benar berangkat, “Jangan pulang sebelum kau berhasil.” Asu tenan!
Muhidin kuliah di dua kampus: IKIP dan IAIN, keduanya di
Yogyakarta, dan keduanya tidak ia selesaikan. Tapi berbeda dengan saya, ia mengambil
keputusan itu karena sadar akan pilihan, hendak lebur dengan dunia literasi
yang ia yakini. Berbeda dengan saya yang meskipun secara pribadi tidak takut
DO, namun lingkungan sosial masih menjadi ketakutan yang menggenggam. Muhidin
seperti menggedor-gedor nurani, bahwa keputusan adalah keputusan, tak peduli
respon orangtua sekalipun! Ia menegaskannya dengan mengutip sesobek petuah Romo
Mangun:
“Anggaplah ini pilihan. Dan aku memilih jalan itu walau
tergolong pahit—bergelut tanpa kepastian akan nasib hendak diempaskan ke mana.
Bersyukur-syukurlah aku masih sanggup memilih. Kesanggupan memilih, sebagaimana
petuah novel ‘Burung-burung Manyar’ yang kubaca sejak aku menginjak semester
tiga di Kampus IKIP, mengandaikan suatu kemampuan untuk menimbang, untuk
memegang kendali nasib, untuk berkreasi. Sebab siapa berkemampuan untuk
memilih, dia mengatasi nasib.”
Di titik ini saya tercerahkan. Tantangan Muhidin saya
terima. Saya tak hendak mengemis ke kampus agar lolos dari ancaman, juga bersiap
menghadapi orangtua dengan segala kekecewaannya. Anggaplah saya tidak lagi
kuliah, dan kiriman bulanan dari kampung dihentikan, paling-paling saya
menggelandang di Bandung. Kalau sedang mujur, sekali-dua mungkin hidup
ditambali oleh honor tulisan yang dimuat di surat kabar. Setidaknya dengan
begitu saya telah mengatasi nasib.
Besoknya saya datangi kampus dengan kepala tegak. Saya
sampaikan apa adanya kepada para pengampu kebijakan dengan kalimat-kalimat
terukur. Dan keputusannya saya hanya dijatuhi SP II dengan menandatangai surat
pernyataan di atas materai enam ribu rupiah. Tak jadi DO. Tak jadi dihantam
palu godam kekecewaan orangtua. Di akhir semester saya malah dapat nilai A
untuk mata kuliah yang diampu oleh dosen yang mengancam itu. Ajaib!
Pasca kuliah saya menjalani hidup seperti orang kebanyakan, bekerja di firma-firma kaum kapital. Hidup dari gaji yang mengalir sebulan sekali. Di permukaan seperti tak ada gejolak, hidup hampir mirip ternak, dan saya bosan. Bosan menekan-mendesak. Lalu saya teringat lagi petuah Romo Mangun yang dikutip Muhidin, saya hendak memilih dan berkreasi. Pertengahan 2014 saya tinggalkan pekerjaan. Inilah saatnya tantangan Muhidin itu benar-benar bisa saya terapkan. Saya hampir menggelandang, kemudian berkomunitas, dan hidup dari menulis.
Keberanian memilih yang didadarkan Muhidin berkelindan
dengan dua hal lain, yaitu gandrung literasi dan kisah percintaan yang cukup
menyedihkan. Keduanya berjejalin membentuk diri saya yang lain. Sedari kecil
saya telah terbiasa membaca koran dan buku cerita, namun hal itu tak pernah
dijadikan nafas hidup. Saya tak pernah mencurahkan waktu, dana, dan tenaga
kepada teks dan bahan bacaan. Sampai akhirnya Muhidin—di tengah kecemasan yang
menggores, datang dan menawarkan “jalan sesat”. Ia menggilai buku. Menguruskan
badannya demi buku. Begini siasatnya:
“Karena kekurangan droping pesangon dari orangtua, maka aku
pun bersiasat. Uang makanku kupangkas sekecil-kecilnya. Aku memutuskan untuk
jalan kaki dan tidak naik bus yang sewanya waktu itu hanya 300 rupiah untuk
mahasiswa/pelajar. Dan aku coba menyisir uang makanku hanya 500-1000 rupiah
perhari (makan normalnya 3000). Dan waktu makanku tidak pagi tidak malam, tapi
sore. Waktu sore adalah waktu tengah dalam perputaran aktivitas manusia dan
waktu tengah ketika energi dikeluarkan dan diistirahatkan. Dari cara yang
menguruskan badan ini sedikit demi sedikit aku mendapatkan buku dengan cara
membeli. Kalau ada uang mengapa harus meminjam. Aku tidak suka meminjam.”
Untuk menguatkan sikapnya, ia mengutip Desiderius Eramus
(1465-1536) yang mengatakan, “Kalau aku punya sedikit uang, aku beli buku. Kalau
masih ada lebihnya, barulah aku belanja makanan dan pakaian.”
Dan saya terpengaruhi. Dulu setiap kali gajian, saya pergi
ke Bandung dan mendatangi Palasari: menukar ratusan ribu rupiah dengan buku. Pameran
buku di Braga, Istora Senayan, dll, pasti menguras kantong karena saya kalap. Niat
membeli dua selalu berakhir dengan sepuluh eksemplar. kantong-kantong buku
loak, komunitas, dan toko buku besar saya datangi dengan semangat meluap hendak
membeli. Duapuluh buku pertama saya hafal di luar kepala, dan akhirnya terpaksa
harus dituliskan karena jumlahnya semakin membengkak menjadi ratusan.
Saya membeli karena hendak membaca. Tapi seperti kata
orang-orang, “terlalu banyak buku, terlampau sedikit waktu.” Demikianlah pada
akhirnya, meski setiap pulang kerja saya sempatkan untuk membaca, namun mata
selalu kalah dihajar lelah setelah berjam-jam menyuntuki angka-angka di layar komputer.
Tapi di luar hal itu, Muhidin telah membuka kembali setapak jalan bagi minat yang
sempat tak terawat. Kegandrungan saya pada literasi, khususnya pada
buku—setidaknya sampai hari ini, ibarat kumbang yang terperangkap ke dalam
toples dan tak hendak keluar lagi.
Dalam hal menulis pun tak jauh beda. Muhidin menyodorkan satu
kasus yang bakal mendorong siapapun meraba ulang ketakutannya untuk menulis.
Menurutnya, plagiasi—bagi para pemula, bukanlah jalan asing, ditempuh banyak
orang malah. Ia mengambil contoh Sartre:
“Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialisme sayap Kiri
Prancis pernah melakukan plagiasi ketika pertama kali menulis novel. Seturut
pengakuannya, novel pertamanya yang berjudul ‘Pour un Papillon’ (Demi
Kupu-kupu) merupakan salinan plek
dari buku cerita bergambar yang ia punyai yang terbit tiga bulan sebelum
novelnya diterbitkan. Semua-muanya sama: tema, tokoh-tokoh, detail
petualangannya, dan bahkan judul pun ia pinjam.”
Bukan laku plagiatnya yang hendak Muhidin tekankan, tapi keberanian
yang tak boleh tertukar dengan ketakutan yang tak berdasar. Ya, ia mengobarkan
pembacanya untuk membaca, membaca, dan menulis. Dua mantra itulah yang akhirnya
menyeret saya ke “jalan sesat”.
Hari ini setiap kali saya bertemu beberapa kawan, mereka
selalu bertanya tentang kawin. “Beli buku terus, kapan kawinnya?!” Seolah
urusan yang satu itu adalah mantra sakti penangkal guna-guna istri muda. Di
antara mereka ada juga yang agak bijak-bestari, ceramah dulu tentang sirah
nabawiyah, lalu menjejalkan Ar Ruum ayat 21 agar saya membayangkan surat undangan
pernikahan, lalu diakhiri dengan ucapan, “kurangi dulu beli bukunya, mending
uangnya ditabung buat bikin buku
nikah.” Baru-baru seorang saudara juga bilang, “coba cari kerja lagi, menulis doang ga bakal cukup, kan kamu juga
suatu saat harus menikah.”
Ya, jalan ini memang “jalan sesat”. Tak banyak orang yang
percaya. Dan sejujurnya saya juga tak butuh kepercayaan mereka. Saya yang
paling berhak menentukan eksistensi dan makna hidup saya sendiri. Yang ingin
saya sampaikan hanya satu: terimakasih banyak-banyak buat Muhidin. Jika suatu
hari nanti hidup saya akhirnya berbelok karena harus berkompromi dengan banyak
hal, setidaknya saya telah melalui perjalanan ini dengan senang dan pengalaman aduhai yang
tak-tepermanai. [irf]
No comments:
Post a Comment