Barangkali bepergian dalam hidup adalah cermin dari hidup itu
sendiri: sebuah perjalanan tanpa tiket pulang, persis seperti lakon dalam film
“Le Grand Voyage” dan “Into The Wild”. Setidaknya dari dua film ini, perjalanan
tak hanya sewujud piknik namun parade meniti ruang dan waktu yang kudus dan
sakral. Pergi tanpa (kepastian) kembali adalah sebenar-benar riwayat manusia
yang mesti dipersiapkan dan dijalani dengan kesungguhan ikhtiar. Chairil Anwar
menulisnya dengan kalimat “sekali berarti sudah itu mati.”
Bila tensinya agak diturunkan, perjalanan tetaplah sebuah rekreasi
yang fungsinya untuk (terutama) menyegarkan rohani yang teresidu oleh rutinitas
kehidupan yang kerap menumpulkan kesadaran dan memburamkan mata batin. Dari
perjalanan Soe Hok Gie ke puncak-puncak gunung sampai darma wisata anak-anak
SMP yang ceria menelan hidup usia muda, semuanya tak bisa lepas dari upaya
“pembersihan” ruang penat dan bosan yang mungkin hampir berjelaga. Ya,
perjalanan memang bukan hal baru, telah terlalu tua malah. Dalam risalah
keagamaan pun hal ini begitu jelas ditatah oleh para nabi dan orang-orang suci
lainnya.
Di kehidupan hari ini, perjalanan kembali menjadi sebuah laku
populer yang banyak dijalani oleh banyak orang. Tua-muda berlomba lari dari
rutinitas demi keindahan yang tak-tepermanai. Jika menilik para penulis catatan
perjalanan, kita tak bisa menampik bahwa yang kerap ditemui pada
tulisan-tulisannya adalah benda mati. Kita jarang menemui manusia dengan
kehidupannya yang beragam, porsinya kalah dengan debur ombak, sinar mentari,
kilau air laut, semilir angin gunung, gemerlap kota, anggunnya bangunan, dan
kata-kata keindahan lainnya. Catatan perjalanan seperti punya tendensi untuk
menuliskan surga.
Hal tersebut memang tak salah, toh
pada rekreasi seperti itu pun porsi menyegarkan rohani punya haknya. Namun jika
ditilik ulang, kehidupan manusia sebetulnya tak kalah menarik jika dibandingkan
dengan keindahan alam. Bagaimana misalnya para nelayan yang tak peduli dengan
senja, petani kentang yang menghela hidup sedepa demi sedepa, guru SD yang
mesti menyeberangi jembatan ringkih demi mencapai sekolah, nenek-nenek pemecah
batu, dan masih banyak lagi. Manusia dengan segala dinamika hidupnya terkadang
lebih puitis dari pesona alam yang dijejakinya.
Namun demikian, catatan ini tak hendak membuat polarisasi, hanya
sekadar menawarkan dua sisi mata hidup dalam perjalanan, yaitu mencoba meraba
alam dan manusia yang beraktifitas di atasnya. Kedua hal tersebut selamanya
adalah teman sejati bagi setiap pejalan, petualang, pengembara, dan mungkin
para pecundang yang tak berani menghunus pedang di medan laga kehidupan.
Komunitas Aleut sebagai sebuah kelompok yang berminat dan
berkhidmat pada sejarah kota, alam, dan dinamika manusia, juga adalah
sekumpulan orang yang sering melakukan perjalanan. Setidaknya seminggu sekali,
dengan metode jalan kaki dalam berbagai penelusuran, sudah banyak
mengalami perjalanan dan menuangkannya
dalam catatan. Mencatat, seturut mantra “scripta manent verba volant” bisa jadi
bukanlah jalan abadi, namun setidaknya ada proses pewarisan risalah yang bisa
dibaca ulang oleh generasi selanjutnya. Dalam catatan ada spasi perenungan yang
bisa dihela dan dibaca perlahan.
Dari sini sebuah pertanyaan kemudian menyeruak, catatan perjalanan
seperti apa yang kira-kira tak hanya menawarkan pesona, namun juga bisa
memberikan petunjuk jalan yang akurat agar bisa dinapaktilasi oleh para
pembaca? Hal terpenting tentu saja keterangan rute dan tempat. Sehimpunan data
dan informasi selayaknya menjadi pengiring yang setia dari setiap narasi yang
hendak dihiperbola, misalnya. Pada semburat langit jingga mesti ada juga
keterangan di mana lokasinya, cahaya rembulan keemasan pun memerlukan nama
ruang jejaknya, bahkan jika terjebak dalam sebuah wilayah konflik pun tetap
harus ada asma siapa saja yang bertikai dan di mana kejadiannya. Mencatat
perjalanan tak hanya rentetan deskripsi pesona dan tragedi, namun juga presisi.
Dari rumusan inilah kemudian Kelas Literasi sebagai kegiatan rutin
Komunitas Aleut yang Sabtu ini akan masuk pekan ke-57, mencoba mendiskusikan
hal-hal tersebut di atas. Dengan beberapa buku catatan perjalanan sebagai bahan
pembanding dan inspirasi, kami hendak belajar dan mengevaluasi apa-apa yang
telah dan tengah dikerjakan. Jeda untuk mengakrabi teks seperti biasa tidak
terlalu leluasa, sebab seminggu dengan bauran kesibukan di dalamnya tentu bukan
waktu yang ideal untuk benar-benar memahami ratusan halaman catatan perjalanan.
Tapi seperti pekan-pekan sebelumnya, sesempit apapun, kami tetap mencoba melakoninya.
No comments:
Post a Comment