17 Agustus sudah di muka. Inilah titimangsa itu. Pintu
gerbang yang dicitakan, sekaligus ada ragu di seselanya, yang lahir dari masa
darurat di waktu berat. Jauh sebelumnya, kemerdekaan yang ditandai dengan
sesobek esai pendek bertenaga yang bernama proklamasi, adalah jalan terjal dan
berliku yang dipanggul oleh beragam wajah, aneka ideologi, jutaan anak
revolusi, namun satu semangat yaitu terbebas dari neraka horizontal yang
bernama kolonial. Merdeka narasi tunggal di satu sisi, namun penggagas dan
penatahnya adalah rupa bhineka yang tak hanya sewujud bintang dan bulan sabit,
palu dan arit, atau wajah bumi dan langit.
Jika sejarah pada akhirnya ditulis oleh rezim dengan
kekuatan politiknya dan hanya mempolarisasi antara pahlawan dan pembangkang,
atau malaikat dan setan, namun riwayat yang tercatat tak sepenuhnya bisa
disembunyikan. Kita—generasi yang lahir dan tumbuh di tengah doktrin rezim, kini
punya kesempatan untuk menggeledah dan mengkoreksi narasi itu, meski mungkin
tak sepenuhnya. Kita bisa mengunyah kisah Sukarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim,
dan para pahlawan lainnya, sekaligus juga bisa memamah cerita Aidit, Njoto,
Daud Beureuh, Sam, Musso, dll yang kadung dicap pemberontak dan pengkhianat
republik.
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam
pikiran,” begitu kata Nyai Ontosoroh dalam prosa terkenal Pramoedya Ananta
Toer. Kiranya pepatah ini bisa juga ditujukan kepada kita dalam membaca,
menilai, dan mengapresiasi manusia-manusia pelopor yang telah berkalang tanah
di taman luas sejarah republik yang bernama Indonesia. Di titik ini masalalu,
mestinya, tak lagi berwujud sebuah lukisan hitam-putih yang mudah diadili dan
divonis mati, namun barangkali bisa menyorongkan juga sikap bijak-bestari dalam
memandang risalah kemerdekaan dan ke-Indonesia-an.
Dari pemetaan inilah kemudian Kelas Literasi Komunitas Aleut
yang masuk pekan ke-56 mencoba mengusung tema. Beberapa teks telah dipilih, dan
kami memutuskan untuk menjadikan TEMPO dengan buku serialnya sebagai media
untuk menyelami sejarah itu. Dari perspektif pemilihan sumber bacaan keputusan
ini mungkin bukan yang terbaik, sebab TEMPO dengan segala kontroversi yang
menyertainya tidak bisa dijadikan rujukan tunggal tentu saja. Namun kami pun
telah menimbang beberapa hal: Pertama, TEMPO menulis sejarah dengan mata pisau
reportase jurnalisme sastrawi yang kemudian menghadirkan tulisan-tulisan
sejarah yang mudah dikunyah. Kedua, TEMPO tidak hanya menghamparkan masalalu,
tapi juga masakini yang terpahat dalam penelusurannya terhadap jejak-jejak yang
tersisa. Dua hal itulah yang kami rasa sesuai dengan kondisi para pegiat
Komunitas Aleut—yang meski terbiasa menyuntuki sejarah, namun tak banyak yang
mengakrabi periode di sekitar kemerdekaan.
Baru-baru tersiar kabar bahwa lukisan karya Galam Zulkifli
yang terpasang di Terminal 3 Bandara Sukarno-Hatta diturunkan karena disinyalir
menyertakan wajah Aidit. Lukisan berjudul “The Indonesia Idea” itu
menghamparkan 600-an wajah anak bangsa yang hadir berparade dalam titian
sejarah republik. Zulkifli sepenuh sadar bahwa Indonesia sejatinya adalah
proyek coba-coba yang tak hanya diusung oleh para “pahlawan”, namun juga
“pemberontak” yang kalah bertaruh dan tersisih dari arus utama. Kasus ini
menabalkan satu hal, bahwa tantangan masih menggantang, tentang phobia yang
masih menggelapkan mata dan logika. Indonesia dalam banyak benak, seolah
digagas dan ditatah oleh para pemenang saja. Doktrin ternyata belum sepenuhnya
luruh dan pudar. Kelas Literasi pekan ini kiranya adalah sebuah ikhtiar untuk
menyigi “ruang gelap” itu. [irf]
No comments:
Post a Comment