10 August 2016

Lakon Sepakbola yang Realitas dan Hiperrealitas


Saya bagian subkultur menonton dan memirsa itu.

Penulisan sepakbola hari ini telah mengalami perkembangan yang begitu pesat. Di banyak kota, kantong-kantong pewedar permainan si kulit bundar—dengan media publikasi terutama daring, subur bermunculan. Generasi penulis sepakbola yang terbaru, pasca Gus Dur, Sindhunata, Sumohadi Marsis, Kadir Jusuf, dll, tak bisa lepas begitu saja dari nama Zen RS. Penulis yang semula dikenal sebagai esais lintas tema: sastra, budaya, sejarah, seni rupa, dan pertunjukkan ini, di titimangsa 2004 mulai ikut mewarnai khazanah penulisan sepakbola, dan—diakui atau tidak, banyak melahirkan “murid” untuk tidak menyebut epigon.

Setelah melahirkan buku kumpulan prosa “Traffic Blues: Saat Hujan Deras dan Jalanan Mulai Tergenang”, dan novel “Jalan Lain ke Tulehu”, kini Zen RS datang lagi dengan sebuah buku yang berisi kumpulan tulisannya tentang si kulit bundar dengan cakupan tema yang begitu luas. Ia mewartakan pengalaman masa kecil ihwal perkenalannya yang mula-mula dengan sepakbola, kegandrungannya terhadap buku, mengupas sejarah, sastra, budaya, dan seni, yang keseluruhannya dibingkai dan—meminjam istilah si penulis, diblejeti dalam kerangka sepakbola.

Kumpulan tulisan ini—karena Zen sejak kecil mengalami langsung sepakbola, tidak lahir hanya dari ruang simulakra atau “representasi atas suatu objek yang menggantikan kedudukan objeknya”, namun juga menghadirkan sesobek catatan pengalaman tak-terpermanai yang ditatah dari fragmen-fragmen yang pernah lewati si penulis dalam dunia si kulit bundar. Seperti kutipan di awal tulisan ini, ia tumbuh dan menulis dari subkultur menonton dan memirsa.

Dalam ruang “menonton” yang penuh-seluruh, ia mendadarkan kisah sepatu baru yang nostalgik, rite de passage atau ritus peralihan yang dibidani oleh sepakbola, perlawanan terhadap tiran pengampu sepakbola nasional, sampai merekam peristiwa sederhana dan sunyi di pinggir lapang ketika kesebelasan favoritnya menorehkan gelar juara. Di titik ini, Zen seolah tak mau melewatkan kelebatan momentum yang berwatak cepat menghilang dan terlupakan, dan ia sebisa-bisa menangkap dan menangkarnya dalam tulisan.

Sedangkan dalam “memirsa” ia begitu piawai mempadu-padankan, memilih sudut pandang, dan menjlentrehkan pengalaman berjarak yang diambil dari media populer dengan kerakusannya dalam membaca. Ia banyak sekali menyebut nama “non-sepakbola”, seperti Orhan pamuk, George Orwell, AB. Lapian, Vladimir Nabokov, Takashi Shiraishi, Multatuli, Amir Hamzah, Jorge Luis Borges, Albert Camus, Jean Baudrillard, dll. Maka tak mengherankan bila ia kemudian—coba-coba, menyusun “Kesebelasan Bapak Bangsa” yang tulang rusuknya diambil sedemikian rupa dari historiografi nasional. Ia juga mencoba menyigi sejarah lahirnya sepakbola nasional dengan bahan yang jauh ke belakang ketika Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderal Cornelis de Jonge, saat krisis ekonomi melanda dan penyakit sosial meruyak di se-antero Nusantara. Di tulisan yang lain Zen juga mendadarkan tentang begitu cepatnya kosakata asing baru lahir dari dunia sepakbola yang membuat para penyunting-penyelia kedodoran menerjemahkan dan mencari padanannya.

Buku ini sendiri dibelah menjadi empat bagian: Jejak, Dunia Simulasi, Koloni Bola, dan Narasi Kaki-kaki. Bagian pertama—meski tidak terlalu banyak, setidaknya menjelaskan bagian-bagian selanjutnya. Di usia dini Zen telah tumbuh dalam perkawinan antara sepakbola dan pustaka. “Ini hari ketiga ia membacanya. Dan akhir itu sudah makin dekat. Halaman penutup hanya tinggal menghitung detik. Ia membaca dengan keingintahuan yang tak sabar. Sekitar 10 menit kemudian, ketika kawan-kawan main sepakbolanya belum kelar menyelesaikan sesi pemanasan, ia terlebih dulu menamatkan bacaannya.”

Pada “kawan-kawan main sepakbolanya” dan “ia terlebih dulu menamatkan bacaannya” ada irisan dan simpul yang teramat tegas, bahwa Zen—yang di kemudian hari menggeluti dunia penulisan sepakbola, berpijak dari batu tapal yang jelas: hendak berangkat menggeledah sepakbola dengan mata pisau literasi yang diakrabinya terus-menerus. Sepakbola tak lagi menjadi sekerat catatan statistik dan profil pemain, namun juga sehampar permainan yang kaya oleh kisah dan teramat luas untuk dicacah oleh interpretasi dan sudut pandang lintas tema.

“Simulakra Sepabola” oleh karenanya tak hendak (hanya) menyajikan sebuhul catatan “pandangan mata” dari lapangan hijau, namun juga mengajak pembacanya untuk meninggalkan ruang panoptikon stadion yang batasannya rigid, untuk melihat juga permainan populer itu dari sudut-sudut lain yang meskipun lintas tema, namun masih menorehkan jejalin yang jelas dengan sepakbola itu sendiri.

Di 12 tahun masa berkaryanya dalam menggeluti penulisan olahraga yang disebarluaskan orang-orang Inggris ini, kiranya buku ini adalah halte untuk melihat ulang apa-apa yang yang telah dikerjakan. Semacam “turun minum” dari seorang pelakon sekaligus juru lakon. Esai terakhir di buku ini bercerita tentang “Memahami Rumah”, sebuah (mungkin) kesengajaan yang merepresentasikan ihwal “turun minum” itu.  

Di penghujung mukadimah, Zen menulis, “…dalam hidup seseorang yang kini sudah tak lagi remaja.” Kalimat itu seolah memberikan jarak, antara yang telah dilalui dengan kenyataan hari ini. Seperti seseorang yang berdiri di puncak bukit dan melihat ke bawah, ke setapak riwayat yang ditaburi jejak. Setapak tentang lakon sepakbola yang realitas karena pernah mengalami menyepak dan menonton, serta hiperrealitas karena memirsa yang berjejalin dengan kecintaan terhadap pustaka. [irf]     

* Tayang di harian Jawa Pos (edisi 7 Agustus 2016)

No comments: