Penulisan sepakbola hari ini telah mengalami perkembangan
yang begitu pesat. Di banyak kota, kantong-kantong pewedar permainan si kulit
bundar—dengan media publikasi terutama daring, subur bermunculan. Generasi
penulis sepakbola yang terbaru, pasca Gus Dur, Sindhunata, Sumohadi Marsis,
Kadir Jusuf, dll, tak bisa lepas begitu saja dari nama Zen RS. Penulis yang
semula dikenal sebagai esais lintas tema: sastra, budaya, sejarah, seni rupa,
dan pertunjukkan ini, di titimangsa 2004 mulai ikut mewarnai khazanah penulisan
sepakbola, dan—diakui atau tidak, banyak melahirkan “murid” untuk tidak
menyebut epigon.
Setelah melahirkan buku kumpulan prosa “Traffic Blues: Saat
Hujan Deras dan Jalanan Mulai Tergenang”, dan novel “Jalan Lain ke Tulehu”,
kini Zen RS datang lagi dengan sebuah buku yang berisi kumpulan tulisannya
tentang si kulit bundar dengan cakupan tema yang begitu luas. Ia mewartakan pengalaman
masa kecil ihwal perkenalannya yang mula-mula dengan sepakbola, kegandrungannya
terhadap buku, mengupas sejarah, sastra, budaya, dan seni, yang keseluruhannya
dibingkai dan—meminjam istilah si penulis, diblejeti
dalam kerangka sepakbola.
Kumpulan tulisan ini—karena Zen sejak kecil mengalami
langsung sepakbola, tidak lahir hanya dari ruang simulakra atau “representasi
atas suatu objek yang menggantikan kedudukan objeknya”, namun juga menghadirkan
sesobek catatan pengalaman tak-terpermanai yang ditatah dari fragmen-fragmen yang
pernah lewati si penulis dalam dunia si kulit bundar. Seperti kutipan di awal
tulisan ini, ia tumbuh dan menulis dari subkultur menonton dan memirsa.
Dalam ruang “menonton” yang penuh-seluruh, ia mendadarkan
kisah sepatu baru yang nostalgik, rite de
passage atau ritus peralihan yang dibidani oleh sepakbola, perlawanan
terhadap tiran pengampu sepakbola nasional, sampai merekam peristiwa sederhana
dan sunyi di pinggir lapang ketika kesebelasan favoritnya menorehkan gelar
juara. Di titik ini, Zen seolah tak mau melewatkan kelebatan momentum yang
berwatak cepat menghilang dan terlupakan, dan ia sebisa-bisa menangkap dan
menangkarnya dalam tulisan.
Sedangkan dalam “memirsa” ia begitu piawai mempadu-padankan,
memilih sudut pandang, dan menjlentrehkan
pengalaman berjarak yang diambil dari media populer dengan kerakusannya dalam membaca.
Ia banyak sekali menyebut nama “non-sepakbola”, seperti Orhan pamuk, George
Orwell, AB. Lapian, Vladimir Nabokov, Takashi Shiraishi, Multatuli, Amir
Hamzah, Jorge Luis Borges, Albert Camus, Jean Baudrillard, dll. Maka tak
mengherankan bila ia kemudian—coba-coba, menyusun “Kesebelasan Bapak Bangsa” yang
tulang rusuknya diambil sedemikian rupa dari historiografi nasional. Ia juga
mencoba menyigi sejarah lahirnya sepakbola nasional dengan bahan yang jauh ke
belakang ketika Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderal Cornelis de
Jonge, saat krisis ekonomi melanda dan penyakit sosial meruyak di se-antero
Nusantara. Di tulisan yang lain Zen juga mendadarkan tentang begitu cepatnya
kosakata asing baru lahir dari dunia sepakbola yang membuat para
penyunting-penyelia kedodoran menerjemahkan dan mencari padanannya.
Buku ini sendiri dibelah menjadi empat bagian: Jejak, Dunia
Simulasi, Koloni Bola, dan Narasi Kaki-kaki. Bagian pertama—meski tidak terlalu
banyak, setidaknya menjelaskan bagian-bagian selanjutnya. Di usia dini Zen
telah tumbuh dalam perkawinan antara sepakbola dan pustaka. “Ini hari ketiga ia
membacanya. Dan akhir itu sudah makin dekat. Halaman penutup hanya tinggal
menghitung detik. Ia membaca dengan keingintahuan yang tak sabar. Sekitar 10
menit kemudian, ketika kawan-kawan main sepakbolanya belum kelar menyelesaikan
sesi pemanasan, ia terlebih dulu menamatkan bacaannya.”
Pada “kawan-kawan main sepakbolanya” dan “ia terlebih dulu
menamatkan bacaannya” ada irisan dan simpul yang teramat tegas, bahwa Zen—yang
di kemudian hari menggeluti dunia penulisan sepakbola, berpijak dari batu tapal
yang jelas: hendak berangkat menggeledah sepakbola dengan mata pisau literasi
yang diakrabinya terus-menerus. Sepakbola tak lagi menjadi sekerat catatan statistik
dan profil pemain, namun juga sehampar permainan yang kaya oleh kisah dan
teramat luas untuk dicacah oleh interpretasi dan sudut pandang lintas tema.
“Simulakra Sepabola” oleh karenanya tak hendak (hanya) menyajikan
sebuhul catatan “pandangan mata” dari lapangan hijau, namun juga mengajak
pembacanya untuk meninggalkan ruang panoptikon stadion yang batasannya rigid,
untuk melihat juga permainan populer itu dari sudut-sudut lain yang meskipun lintas
tema, namun masih menorehkan jejalin yang jelas dengan sepakbola itu sendiri.
Di 12 tahun masa berkaryanya dalam menggeluti penulisan olahraga
yang disebarluaskan orang-orang Inggris ini, kiranya buku ini adalah halte
untuk melihat ulang apa-apa yang yang telah dikerjakan. Semacam “turun minum”
dari seorang pelakon sekaligus juru lakon. Esai terakhir di buku ini bercerita
tentang “Memahami Rumah”, sebuah (mungkin) kesengajaan yang merepresentasikan
ihwal “turun minum” itu.
Di penghujung mukadimah, Zen menulis, “…dalam hidup
seseorang yang kini sudah tak lagi remaja.” Kalimat itu seolah memberikan
jarak, antara yang telah dilalui dengan kenyataan hari ini. Seperti seseorang
yang berdiri di puncak bukit dan melihat ke bawah, ke setapak riwayat yang
ditaburi jejak. Setapak tentang lakon sepakbola yang realitas karena pernah
mengalami menyepak dan menonton, serta hiperrealitas karena memirsa yang
berjejalin dengan kecintaan terhadap pustaka. [irf]
* Tayang di harian Jawa Pos (edisi 7 Agustus 2016)
No comments:
Post a Comment