15 August 2016

Surat untuk Alina yang Ditulis dari Ranca Bayawak

Alina sayang…

Ketiadaan alamat membuat semua surat untukmu tak memiliki tempat. Anggaplah kamu telah menjadi semesta, tidakkah siang itu kamu melihatku tengah berdiri di atap masjid itu?

Burung-burung kuntul dan blekok beterbangan dan hinggap di rumpun-rumpun bambu. Kepak mereka begitu menawan, membawa kabar jutaan mil jarak tempuh yang telah dilalui. Siapa bilang jarak begitu bekhianat? Ketiadaanmu melebihi jarak, waktu, dan segala.

Kampung berpenghuni ratusan jiwa manusia ini telah dikepung proyek-proyek raksasa. Batas-batasnya begitu jelas dan menganga. Alat berat berdiri kokoh di kejauhan, dan patok-patok wilayah setegas garis sungai yang mati itu.

Alina bara apiku…

Di sini, di kampung Rawa Bayawak yang jaraknya tak sampai satu jam dari pusat Kota Bandung, warga kini tengah berjuang sekuat yang mereka bisa, untuk menghalau para penawar tanah moyangnya. Ya, tanah yang ini juga dari dulu, tempat kawanan burung itu merasa nyaman untuk singgah dan menetap di rumpun-rumpun bambu.

Pagi kala semburat mentari menerobos pohon-pohon selong, dan rembang petang saat adzan magrib berkumandang, kawanan burung-burung itu pergi dan pulang. Langit berhiaskan ratusan kepak sayap, sebuah pemandangan indah yang ingin aku kerat untukmu, Alinaku.

Alina manisku…

Jika suatu waktu yang entah kapan kamu main ke sini, bercengkramalah dengan warganya. Mereka punya beberapa kuliner khas yang mungkin kamu sukai. Bicaralah dan dengar keluhan serta harapan-harapan mereka, lalu kabarkan kepada orang-orang, bahwa di tengah gelisah pembangunan kota, masih tersisa sekerat harapan warga dan ruang hayat bagi kawanan burung-burung itu. [irf]

No comments: