Alina sayang…
Ketiadaan alamat membuat semua surat untukmu tak memiliki
tempat. Anggaplah kamu telah menjadi semesta, tidakkah siang itu kamu melihatku
tengah berdiri di atap masjid itu?
Burung-burung kuntul dan blekok beterbangan dan hinggap di
rumpun-rumpun bambu. Kepak mereka begitu menawan, membawa kabar jutaan mil
jarak tempuh yang telah dilalui. Siapa bilang jarak begitu bekhianat?
Ketiadaanmu melebihi jarak, waktu, dan segala.
Kampung berpenghuni ratusan jiwa manusia ini telah dikepung proyek-proyek
raksasa. Batas-batasnya begitu jelas dan menganga. Alat berat berdiri kokoh di
kejauhan, dan patok-patok wilayah setegas garis sungai yang mati itu.
Alina bara apiku…
Di sini, di kampung Rawa Bayawak yang jaraknya tak sampai
satu jam dari pusat Kota Bandung, warga kini tengah berjuang sekuat yang mereka
bisa, untuk menghalau para penawar tanah moyangnya. Ya, tanah yang ini juga dari
dulu, tempat kawanan burung itu merasa nyaman untuk singgah dan menetap di
rumpun-rumpun bambu.
Pagi kala semburat mentari menerobos pohon-pohon selong, dan
rembang petang saat adzan magrib berkumandang, kawanan burung-burung itu pergi
dan pulang. Langit berhiaskan ratusan kepak sayap, sebuah pemandangan indah yang
ingin aku kerat untukmu, Alinaku.
Alina manisku…
Jika suatu waktu yang entah kapan kamu main ke sini,
bercengkramalah dengan warganya. Mereka punya beberapa kuliner khas yang
mungkin kamu sukai. Bicaralah dan dengar keluhan serta harapan-harapan mereka,
lalu kabarkan kepada orang-orang, bahwa di tengah gelisah pembangunan kota,
masih tersisa sekerat harapan warga dan ruang hayat bagi kawanan burung-burung
itu. [irf]
No comments:
Post a Comment