Sejak tahun 1949 jasadnya telah terkubur. 26 Juli kemarin dia
baru ulang tahun. Dalam catatan yang paling moderat, selama hidupnya,
setidaknya ada delapan orang perempuan yang menjadi bribikan Chairil Anwar. Mereka, perempuan-perempuan yang
di-birahi-kan oleh penyair bohemian itu, menurut Majalah Historia—saya sertakan
juga penggalan puisi yang dibuat untuk masing-masing perempuan (kecuali Hapsah),
adalah sebagai berikut:
1. Ida Nasution: “Bagaimana? / Kalau Ida mau turut
mengabur / Tidak samudra caya tempatmu menghambar” (Ajakan)
2. Sri Ayati: “Kepada Sri / Sepi di luar / Sepi
menekan mendesak / Lurus Kaku Pohonan / Tak bergerak / Sampai ke puncak / Sepi
memagut / Tak satu kuasa melepas renggut” (Hampa)
3. Dian Tamaela: “Dalam sunyi malam ganggang menari
/ Menurut beta punya tifa / Pohon pala / Badan perawan jadi / Hidup sampai pagi
tiba” (Cerita Buat Dien Tamaela)
4. Gadis Rasid: “Kita terapit / Cintaku / Mengecil
Diri / Kadang bisa mengisar setapak / Mari kita lepas / Kita lepas jiwa mencari
jadi merpati” (Buat Gadis Rasid)
5. Tuti Artic: “Kau pintar benar bercium / Ada
goresan tinggal terasa / Ketika kita bersepeda kuantar kau pulang / Panas
darahmu / Sungguh lekas kau jadi dara / Mimpi tua bangka ke langit lagi
menjulang” (Tuti Artic)
6. Karinah Moordjono: “Ah! Tercebar rasanya diri /
Membubung tinggi atas kini / Sejenak saja / Halus rapuh ini jalinan kenang /
Hancur hilang belum dipegang” (Kenangan)
7. Sumirat: “Buat Miratku! Ratuku! / Kubentuk dunia
sendiri / Dan kuberi jiwa segala / Yang dikira orang mati di alam ini! /
Kucuplah aku terus / Kucuplah / Dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam
hidupku.” (Sajak Putih)
8. Hapsah Wiriaredja: “Gajah, kalau umurku panjang,
aku akan jadi menteri pendidikan dan kebudayaan.” (Bukan penggalan puisi, tapi
perkataan Chairil kepada istrinya. Dan Gajah adalah panggilan sayangnya kepada
Hapsah karena badannya gemuk)
Chairil ini kiranya—jika mengacu pada buku besar peminum
kopinya Ikal di buku “Cinta di Dalam Gelas”, adalah seorang player: minum kopi pahit, makin pahit
kopinya makin berliku petualangannya. Hidupnya penuh intaian mara bahaya. Cinta
berantakan. Istri minggat. Dan kekasih berkhianat di atas tempat tidur mereka
sendiri! Tetapi orang-orang seperti ini tetap mencoba dan mencipta. Mereka adakalanya
menang gilang gemilang, namun sekalinya kalah langsung tumbang tersuruk-suruk. Delapan
bribikan bukan jumlah sedikit, bung! Bahkan
sumber lain menyebutkan totalnya ada 13!
Terjatuh dan bangun lagi memang bukan hanya urusan amor, di
ladang kehidupan lain pun hal ini kerap terjadi: kuliah DO, bisnis kena tipu,
kerja di PHK, iman longsor, bertengkar dengan orangtua, mau mandi tak ada
sabun, gosok gigi melamun pasta diganti sabun muka, belajar naik motor nabrak
kambing senewen yang hendak kawin, ngambil
rendang dapat lengkuas, dll. Medan laga di mana-mana, peluang terluka menganga
setiap saat, tapi seperti kata pepatah lama, “apa yang tak bisa membunuhmu akan
membuatmu lebih kuat.”
Barangkali sebagian orang menyangka bahwa PAT telah menjadi
seorang penantang sejak lahir sampai liang lahat. Tak sepenuhnya keliru, ia
memang keras sejak zaman perang sampai akhir hayatnya. Mendekam di bui dan
dibuang ke Pulau Buru dengan total 14 tahun adalah alasan serius untuk membuat
PAT seperti itu. Tapi dalam sekerat perjalanan hidupnya, PAT juga pernah begitu
sentimental, dan tak kuasa menolak “permintaan” ayahnya untuk pulang kampung. Tak
ada bantahan, tak ada perlawanan, yang tersisa hanya parade kenang-kenangan
hidup yang mengular ke belakang di sepanjang rel kereta api. Dalam “Bukan Pasar
Malam” PAT menggambarkan hidup dan batin manusia seperti ini:
“Gundukan tanah merah
yang tinggi, yang selalu kulihat di zaman Jepang dulu bila aku bepergian ke
Blora juga, kini tinggal seperempatnya. Diendapkan oleh hujan. Dicangkuli.
Diseret oleh air hujan. Tiba-tiba saja terasa ngeri olehku melihat gundukan
tanah merah di statiun Jatinegara itu. Bukankah hidup manusia ini tiap hari
dicangkul, diendapkan, dan diseret juga seperti gundukan tanah merah itu?”
Dicangkul, diendapkan, diseret! Siapa yang tak mengalami hal
itu? Konon pengalaman seperti itulah yang membuat orang semakin dewasa atau bahkan
trauma. Tapi bukankah hidup tak pernah surut ke belakang? Selain yang kita
simpan di lemari ingatan, bukankah hidup hanya bentangan jalan ke depan sampai
bertemu titik akhir? Chairil tak sepenuhnya lancar jaya dalam bertualang, namun
ia terus membuat halaman-halaman baru sampai akhirnya usai dan menyerah di
Karet Bivak. PAT apalagi, 14 tahun hidup dalam semesta purba penjara dan
telinganya menjadi tuli karena dihajar popor senapan: ia terus berkarya. Masa tuanya
dihabiskan dengan hobi membakar sampah sampai ajal menjemput di tahun 2006
sebagai penanda bahwa “pasar malam” telah berakhir.
Seorang kawan baru telah cukup lama bercerai. Anaknya—bocah paling
lucu se-Yogyakarta tinggal bersama (mantan) istri. Sesekali saja bocah itu
mengunjungi bapaknya. Belum lama kawan baru itu menulis status di laman FB: setiap
lebaran, ibu-bapaknya yang penuh kasih terhadap anak lanang yang rumahtangganya berantakan itu selalu mengulang sebuah
pesan, “Ojo kapok le.” [irf]
No comments:
Post a Comment