Ali Sadikin bertanya kepada Ajip Rosidi, “Mengapa anak-anak
sekarang tidak membaca buku? Mereka lebih suka membaca komik.” Ajip kemudian
menjelaskan kondisi perbukuan yang tengah redup. Menurutnya, banyak penerbit
yang terutama mendahulukan mencari keuntungan dengan hanya menerbitkan
buku-buku yang dicari oleh masyarakat. Barangkali maksudnya hanya melahirkan
buku-buku praktis dan tidak menerbitkan buku bacaan (sastra) yang baik, seperti
yang dulu dilakukan oleh Balai Pustaka. Ya, penerbit yang tulang rusuknya dirangkai
oleh nafas kolonialisme itu, setidaknya pernah dianggap bermutu.
Percakapan tersebut kemudian menghasilkan kesepakatan untuk
mendirikan sebuah penerbitan yang kiranya bisa mengisi kekosongan bahan bacaan
yang dimaksud. Ajip membawa gagasan dan kesepakatan itu ke kawan-kawannya di
Dewan Kesenian Jakarta, yang di antaranya adalah Asrul Sani dan Ramadhan KH. Ajip
menganggap bahwa Aoh Karta Hadimadja—kakaknya Ramadhan KH, adalah orang yang
tepat untuk memimpin penerbit yang hendak didirikan itu. Aoh bersedia, tapi ia
mengajukan syarat, “Akang tidak mau pusing mengurus kertas dan semacamnya. Akang
hanya mau mengurus pekerjaan redaksional saja, memilih karangan yang baik untuk
diterbitkan menjadi buku.” Syarat itu diluluskan, dan Ajip kemudian yang
menjadi nakhoda penerbit.
Buku-buku Pustaka Jaya mendapat sambutan baik dari
masyarakat. Naskah-naskah penulis luar yang dikurasi dan diterjemahkan oleh
para sastrawan dan penerjemah mumpuni memberikan bacaan alternatif di tengah
kelesuan kondisi perbukuan. Untuk menyebut beberapa penerjemah, di antaranya:
Sapardi Djoko Damono, Koesalah Soebagyo Toer, Djokolelono, Rusman Sutiasumarga,
dll.
Dalam peta buku sastra yang dibaca oleh masyarakat
Indonesia, Pustaka Jaya barangkali bisa dibilang sebagai tonggak baru pasca
Balai Pustaka, Gunung Agung, Djambatan, dan penerbit-penerbit tua lainnya yang mulai
kehabisan nafas. Penulis luar beserta karya-karyanya diperkenalkan dengan
begitu masif, di antaranya: Nikolai Gogol, Jean-Paul Sartre, Arthur Koestler,
Jaroslav Hasek, John Steinbeck, Emile Zola, Stefan Zweig, Ernest Hemingway,
Kahlil Gibran, Yasunari Kawabata, Oscar Wilde, Paul Fournel, William
Shakespeare, Voltaire, Antoine de Saint-Exupery, dll. Meski demikian, para pengarang
Indonesia tetap punya tempat, sebab Pustaka Jaya banyak juga menerbitkan
buku-bukunya, di antaranya: Wing Kardjo, Rendra, Ajip Rosidi, Iwan Simatupang,
H.B. Jassin, Taufik Ismail, Nh. Dini, dll.
Ketika Ajip Rosidi di tahun 1980-an harus pergi ke Jepang, dan
pucuk pimpinan Pustaka Jaya diserahkan kepada oranglain, perlahan pamor penerbit
tersebut mulai redup. Keterpurukan itu sempat membuat Pustaka Jaya akan
ditutup, namun Ajip Rosidi sigap dengan membeli sahamnya. Ajip hendak
mengembalikan kejayaan Pustaka Jaya, dan hal tersebut tak jarang dengan mengorbankan
aset-aset pribadinya. Hari ini Pustaka Jaya masih hadir mewarnai kancah
perbukuan nasional, meski kondisinya tidak terlalu menggembirakan. Buku-buku
yang diterbitkan kian beragam, tak melulu sastra, tapi ada juga tentang sejarah,
bahasa, kebudayaan, dll. Belakangan, naskah-naskah sastra yang dulu pernah
diterbitkan dan diminati para pembaca, diterbitkan ulang atas kerjasama Pustaka
Jaya dan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Dalam ruang pembacaan, buku-buku Pustaka Jaya memang banyak
memberikan kesan yang mendalam bagi para peminat sastra. Sebagai contoh, di
Ciputat, ada sekelompok anak muda yang membuat blog dengan nama
Anggur Torelli—sebuah blog yang dibuat oleh para pendirinya
setelah mereka membaca “Dataran Tortilla” karya John Steinbeck. Di laman “ikhwal”
tertulis,“Blog ini diberi nama Anggur Torelli lantaran Dataran Tortilla
merupakan karya yang demikian mengesan bagi kami, para pendiri.”
Bagi kami--Komunitas Aleut dan Pustaka Preanger,
Pustaka Jaya juga punya tempat tersendiri di ruang pembacaan bersama maupun
personal. Dalam kegiatan Kelas Literasi yang telah berjalan lebih dari satu
tahun sejak digagas di titimangsa 13 Juni 2015, buku-buku Pustaka Jaya sudah
sering dibahas dan didiskusikan. Sabtu yang akan datang (6 Agustus 2016) di
Kelas Literasi pekan ke-54, kami hendak mengusung tema “Literasi Pustaka Jaya”.
Hal ini kami usung, selain karena mulai mencoba menghadirkan tema-tema khusus
(kesempatan lain mungkin temanya tentang Pramoedya Ananta Toer, Penerbit Kiblat
Buku Utama, Seno Gumira Ajidarma, Buku Catatan Perjalanan, dll) juga untuk
mengenalkan kembali penerbit ini kepada angkatan terkini, lengkap dengan beberapa
mozaik karya, kisah, dan riwayatnya. [irf]
No comments:
Post a Comment