Selama ini, karya Murakami bagi saya seperti semilir angin di
siang terik, perut kenyang, dan sambil mendengarkan irama semenanjung: ngantuk
berat. Saya pernah membaca “Norwegian Wood”, “1Q84”, “Hear The Wind Song”, dan “Kafka
on The Shore”, semuanya tidak selesai. Saya juga tidak pernah sekalipun mengkhatamkan
buku karya para pengarang Jepang lainnya seperti Yasunari Kawabata dan
Ryunosuke Akutagawa. Entah kenapa saya merasakan bosan yang akut ketika membaca
karya-karya mereka, sampai akhirnya saya membeli “What I Talk About When I Talk
About Running”.
Konon para pembacanya sangat menyukai buku ini. Bahkan The
New York Times sampai menulis testimoni yang hiperbolis: “Buku ini membuat fans
Murakami tergila-gila, bahkan sebelum sampai ke kasir.” Tidak terlampau salah
memang, sebab di pengantar untuk bukunya ini Murakami menulis sesutu yang agak
tengil:
“Ada kalimat bijak yang mengatakan bahwa laki-laki sejati
tidak akan pernah membahas perempuan yang pernah putus dengannya atau jumlah
tagihan pajak yang harus dibayarnya. Sebenarnya kata-kata itu hanya sebuah
kebohongan. Aku cuma mengarangnya. Maaf, ya! Namun, kalau memang ada petuah
yang seperti itu, menurutku ada satu syarat lagi untuk menjadi pria sejati,
yakni tidak membicarakan cara yang dilakukannya untuk menjaga kesehatan.”
Di paragraf berikutnya, Murakami kemudian membatalkan semua “kalimat
bijak” itu dengan caranya sendiri yang cukup segar namun agak terkesan pahit, “Sebagaimana
yang diketahui semua orang, aku bukanlah pria sejati. Jadi, sebetulnya aku
tidak perlu mengkhawatirkan syarat-syarat aneh itu sejak awal.” Boa edan!
Pada mulanya, Murakami—seperti kebanyakan para pengarang
yang lain, kerap menghabiskan berbungkus-bungkus rokok ketika menulis untuk
membantu fokus dan konsentrasi. Dalam sehari ia bisa menghabiskan sekitar 60
batang, artinya setara dengan tiga bungkus rokok Marlboro! Tapi kemudian ia
sadar bahwa duduk berlama-lama di depan komputer dan menghabiskan begitu banyak
rokok tidak baik bagi tubuhnya. “Jika berniat menjalani kehidupan yang panjang sebagai
penulis, aku harus mencari cara untuk mempertahankan kebugaran tubuh dan
menjaga berat badan yang ideal,” begitu tulisnya sekali waktu. Ia pun kemudian
memutuskan untuk berlari dan mulai meninggalkan kebiasaan merokoknya.
Ihwal pilihannya untuk total menjadi seorang penulis pun ia
ceritakan juga. Ia punya minat yang besar terhadap musik jazz. Semasa kuliah ia
membentuk semacam kelab jazz yang kemudian juga membuka kedai kecil yang jika
siang hari menjual kopi, dan malam dijadikan bar: selain menjual makanan juga
setiap akhir pekan kerap diadakan pertunjukkan live music. Semua itu ia lakukan
sebelum usianya menginjak 30 tahun.
Tak pernah sedikit pun ia berpikir untuk menulis novel,
sebelum akhirnya—pada satu kesempatan ketika ia menonton sebuah pertandingan baseball sambil minum bir, tiba-tiba
saja keinginan itu terbit. Entah apa namanya, namun keinginan itu muncul dengan
sebab yang cukup aneh:
“Aku masih ingat bagaimana cerahnya langit, rasanya sentuhan
rumput hijau yang baru diganti, dan suara retakan saat bola beradu dengan
tongkat pemukul waktu itu. Sesaat pada kejadian itu, seperti ada sesuatu yang
turun dari langit, dan apa pun itu, kupikir aku sudah menangkapnya. ‘Ya! Aku harus
coba menulis novel!” begitu terangnya.
Sambil tetap menjalankan bisnisnya, Murakami kemudian mulai
menulis novel tipis yang ia kerjakan di sesela kesibukannya. Ia menulis dalam
kondisi waktu yang serabutan karena terbagi dengan pekerjaannya yang lain. Dua karya
ia hasilkan dengan judul “Pinball, 1973” dan “Hear The Wind Song”. Selain itu,
di tengah pengerjan dua novel tersebut, ia pun menerjemahkan beberapa cerpen
karya F. Scott Fitzgerald.
Karena dirasa karyanya kurang maksimal, Murakami kemudian
memutuskan untuk menghentikan bisnisnya dan total menjadi seorang penulis. Beberapa
kawannya menyayangkan keputusan itu, namun tekadnya sudah bulat. Ia jual
bisnisnya lalu hidup dalam kepompong rumah dan otomatis mengurangi interaksi
sosial. Pada istrinya ia berkata, “Aku ingin bebas selama dua tahun ke depan
untuk menulis. Kalau nanti gagal, kita masih bisa membuka toko kecil di suatu
tempat. Aku masih muda dan kalau gagal, kita selalu dapat berusaha lagi.”
Istrinya hanya menjawab pendek, “baiklah.”
Kembali ke soal berlari. Karena ia ingin lama menjadi penulis,
Murakami pun kemudian berolahraga. Dan olahraga pilihannya—yang ia pikir paling
tepat dengan karakternya, adalah lari. Sebagai seorang introvert yang tidak
terlalu kesulitan jika hidup sendirian—lari sebagai sebuah olahraga yang tidak
membutuhkan oranglain, membuatnya jatuh cinta. Ya, ia memang kerap menghindari
berbagai jenis olahraga yang berkelompok, seperti sepakbola misalnya.
Dalam perjalanannya, ia pernah berlatih lari di Hawaii,
mengikuti ultramaraton sepanjang 100 km di Hokkaido, berlari di siang terik
dari Athena ke Marathon, sampai ikut lomba marathon di New York. Selain itu, ia
pun telah beberapa kali mengikuti maraton di kota-kota negara lainnya. Semua
pengalamannya itu ia catatkan dengan tekun, dan ketika hendak diterbitkan
menjadi buku, ia hanya tinggal menyuntingnya sedikit.
Menulis dan berlari. Keduanya hidup di urat nadi Murakami. Maka
tak heran jika kemudian ia menulis jurnal, atau semacam memoar tentang berlari.
Isinya bukan ajakan untuk menjadi sehat, namun menjelentrehkan minat pribadinya
disertai curhat-curhat yang filosofis. Tapi meskipun demikian, ia menolak jika
buku ini dikatakan demikian:
“Aku tidak menyebut buku ini sebuah filosofi, meskipun di
dalamnya mungkin memang mengandung sejumlah hal yang bisa disebut sebagai
pelajaran hidup. Namun, buku ini adalah tentang diriku apa adanya,” demikian
ujarnya.
Karena bukan kisah fiktif, buku ini lebih bisa mendekatkan
pembaca kepada penulisnya. Dari hamparan memoar berlari, cerita kepenulisan,
dan pernyataan-pernyataannya tentang pilihan dan hidup: pembaca dapat mengenal
proses kreatif di balik karyanya. Murakami menimbang, membuat pilihan dan
menjalankan keputusannya dengan sungguh-sungguh. Hal ini seolah kembali
menabalkan satu hal: bahwa berapa pun banyak kutipan yang dirasa cocok buat
kita, namun hidup berjalan sesuai apa yang kita kerjakan. [irf]
No comments:
Post a Comment