11 July 2016

Jalan yang Amat Panjang

Anaknya yang selama itu sehat montok dan menghamburkan tawa dan senyum setiap hari, tiba-tiba jatuh sakit. Tangis bersambung rintih, rintih bersambung keluh dan pekik kesal. Si anak jatuh sakit.

Dengan lesunya si ayah pergi ke mejatulisnya. Dihadapinya mesintulis. Ia mau mengarang hari ini. Tetapi kepalanya kosong. Ia tak punya pokok karangan. Ia kumpulkan niat beberapa saat lamanya. Kemudian menulis terburu-buru.

Waktu ia benar-benar merasa telah lelah menjalani hidupnya yang baru tigapuluh tahun itu, ia pun mendoa diam-diam: berilah aku yang selama ini kucari.

Ia mendoa dengan setulus hatinya. Baginya doa adalah ucapan penyerahan yang mutlak. Ia selalu berusaha untuk tak pernah menyerah. Justru karena itulah, pada waktu hidup dan dunianya yang tanpa penyerahan itu sampai pada suatu titik di mana tak ada terdapat kemungkinan lain, ia insyafi betapa indahnya dan betapa ia kaya dan mampunya memberinya kekuatan baru—penyerahan itu. ia mendoa dengan setulus hatinya!

“Berilah aku yang selama ini kucari,” doanya untuk kesekian kali.
Ia sendiri tak tahu apa yang dicarinya.

Pengarang itu berhenti mengetik. Ia tersenyum. Ia merasa permulaan karangan itu sufah cukup baik—pasti ia dapat honorarium baik untuk itu, setidak-tidaknya voorschot honorarium. Dan anaknya dapatlah dibawanya ke dokter.

Dan ia teruskan tulisannya. Dengan kepala yang kosong daripada pokok karangan itu! Ternyata karangan yang dimulainya menjadi macet. Benar-benar macet. Ia peras otaknya. Ia haus akan kata-kata yang dapat menterjemahkan keadaan pikiran dan perasaannya waktu itu. Tetapi pikirannya dan perasaannya kosong, kata-kata tak keluar dari gudang perbendaharaan.

“Bisa nanti sore pergi ke dokter?”

Ia toleh istrinya.

“Tentu saja,” jawabnya. “Jangan ganggu aku.”

Isterinya pergi, dan ia meneruskan usahanya. Macet juga. Kalau karangan itu macet, si anak tak mungkin pergi ke dokter. Tak mungkin! Ia coba lagi. Macet juga. Ia pukulkan punggung tangan pada landasan meja. Ia tak bersenang hati. Selama itu pukulan semacam itu diartikan oleh isterinya sebagai: pekerjaan terlampau sulit. Memang sulit! Tapi yang lebih benar adalah: ia tak mampu merumuskan pergolakan yang mengamuk dalam jiwanya. Sedang bila ia mau agak jujur, kesulitan yang dihadapinya tidaklah akan begitu hebat. Ia sendiri tahu, bahwa kejujuran hanya membantu meringankan kesulitan dalam banyak hal. 

Tapi di lapangan pekerjaan ini idealisme lebih berkuasa. Ya, idealisme yang sering membesar-besarkan kehendak manusia yang paling sederhana itu! bila masalahnya axioma kepengarangan khusus: tiada karangan, tiada uang! Ada karangan pun belum tentu ada uang. Tiada uang: pangkal bahaya segala macam dari segala penjuru dalam berbagai segi. Si anak mungkin mampus.

Tambah lama ia sebenarnya tambah sadar juga akan kehidupan yang dimestikan mempunyai uang. Di dalam masyarakat dewasa ini. Tetapi ia tetap bercita-cita juga hendak memberikan segala yang paling baik yang dimilikinya pada sidang pembacanya. Dan kini ia merasa tak punyai apa-apa lagi untuk diberikan: kosong, bolong, melompong. Ia miskin cita. Ia miskin dayacipta. Dengan tiada pencadangan lagi, segala-galanya yang mulia dan indah dan berguna, yang ia miliki, telah ia berikan pada masyarakat pembacanya. Dan dalam keadaan jiwa semiskin sekarang ini kebutuhannya yang paling primer terus menuntut: Uang! Uang! Belanja! Ongkos dokter! Makan!

Untuk kedua kalinya ia pukulkan punggung tangan pada dataran meja, waktu disadarinya bahwa kreteknya yang terakhir telah musnah pula menjadi asap. Dan ini tegas-tegas berarti: ia tak dapat bekerja sama sekali.

Hari ini buku hariannya tambah dengan hanya beberapa baris: barangkali lebih baik orang ini memiliki kerja routine yang tiap hari diulang-ulanginya daripada menjadi pengarang yang mana tiap suap nasi yang dimakannya adalah keterangan daripada keutuhan jiwanya sendiri.

Dengan hati mendongkol ia tinggalkan mesintulisnya. Ia masuk ke dalam kamar. Mencium anaknya yang kini kehilangan kemontokan dan kegembiraannya. Ia pandang-pandangi si anak yang menjadi sengsara itu dengan ingus tanpa hentinya mengalir memerahkan bibir anaknya. Untuk kesekian kalinya anak itu diciuminya, kemudian ia kenakan sepatu dan pergi—ke tempat yang ia sendiri tidak tahu. Dalam kesibukan siang hari itu ia tak menemui sesuatu yang mutlak baru. Semuanya seperti kemarin. Hati-hatinya yang gelisah sebentar mencapai ketinggian sebentar, ke dalamnya—tidak produktif, tanpa arti. Waktu bertemu dengan seorang teman dan mendapat beberapa batang rokok dan beberapa lembar perakan, tiba-tiba terbit suatu kejernihan dalam kepalanya—suatu optimism. Dan juga terumuskan olehnya: kita hidup hanya di antara perbuatan memberi dan menerima. Dan kebenaran semacam ini tak perlu dilebih-lebihkan.

Segera ia buru-buru pulang hendak menyelesaikan karangan yang belum pernah selesai dalam kepalanya. Keringat membasahi seluruhnya tubuhnya yang dipanasi matahari dan optimism. Ia hendak kerja! Ia mau tuliskan sesuatu gairah yang menjompak dengan kuatnya dalam jiwanya. Dan ia hendak rumuskan jompakan itu di rumah, di atas kertas, dalam kata-kata yang menarik.

Tetapi di rumah beberapa kawannya telah menyambut kedatangannya: pinjam buku, pinjam uang—yang kini ia sendiri amat membutuhkan. Terlibat dalam obrolan-obrolan sepekan kejadian, terseret dalam perdebatan tentang haridepan kebudayaan Indonesia. Asap rokok memadati hawa ruang depan. dentang-denting cangkir beradu dengan celepek. Tertawa. Akhirnya mereka pulang—pulang meninggalkan kehampaan dalam hatinya.

Jompakan yang hendak dirumuskan itu telah hilang entah ke mana. Kini ia duduk terkulai di atas mesintulis. Hanya desiran lemah terdengar susul-menyusul melalui bibirnya:

“Jahanam! Jahanam!”

Pikirannya tak juga mau bekerja untuk menyelesaikan karangan yang telah dimulainya, karangan yang tak punya tema, tak punya konsepsi—hanya bertema dan berkonsepsi penghidupan sehari-hari: ongkos bagi dokter anaknya. Beberapa waktu lamanya ia tergolek-golek di ambin untuk mencari-cari sesuatu permulaan yang bisa dikerjakan di antara kekacauan-kekacauan yang bergelut dalam hati dan pikirannya. Tetapi keburu isterinya datang padanya dan mengajaknya makan.

“Kangkung lagi!” pikirnya. “Makanan yang tak pernah memberi daya pada tenaga jiwa. Mengapa tidak kacang tanah? Tidak sate kambing yang panas membakar?”

Sekalipun demikian ia tetap berterimakasih kepada isterinya yang walau bagaimanapun juga selalu dapat menyediakan makan baginya.

“Kau harus punya kesabaran,” tiba-tiba isterinya berkata.

Si pengarang hanya tertawa. Dan berkata dalam hatinya: aku hanya ditentukan oleh ledakan-ledakan sesaat yang terjadi dalam jiwaku. Aku bukan pengarang intelektuil. Aku hidup untuk menghidupi, dan menghidupi untuk hidup—bukan pesolek kecerdasan! Seorang pesolek cukup waktu untuk bersabar. Dan pesolek? Pesolek adalah binatang yang paling buas yang tiada kenyang-kenyangnya akan mangsa. Aku tak membutuhkan mangsa.

Ia tersenyum. Kembali kesenangan dan kedamaian mengimbak-imbak dalam hatinya. Tahu-tahu, tanpa menyadari rasa kangkung, ia telah merasa kenyang. Tenaga kerjanya timbul dengan gesitnya. Ia melompat dari kursi dan menuju ke mejatulisnya. Tetapi yang hendak ditulisnya tiada. Dengan kesalnya ia ketikkan kertas-kertas suara hatinya sendiri di bawah tulisan sebermula yang belum juga sudah:

“Berilah aku yang selama ini kucari.”

Tiba-tiba ia mendapatkan pikiran: ini akibat kurang studi. Ini akibat perbuatan yang hanya mengandalkan kekuatan alamiah yang diberikan pada suatu masa dan batas tertentu. Pikiran itu membuat hatinya mendapat kesabaran sedikit. Dan kesabaran itu membuat ia dapat meneruskan bekerja—sedikit. Dan ditulisnyalah kalimat-kalimat tanpa persambungan ide:

Apalagi yang diperbuatnya kalau tidak mendoa lagi. Sejak itu ia terus-menerus mendoa. Ujung dari tiap doa adalah perasaan berterimakasih karena orang masih juga mempunyai kesempatan untuk menerima. Sekalipun yang diterimanya hanya berdikit-dikit. Besok mungkin lebih baik. Dan tiap besok diulurnya lagi harapannya: besok mungkin lebih baik.

Besok? Mengapa besok? Demikian suara pemberontakan daripada manusia yang masing juga tak mau menyerah. Tidakkah kita bisa memasukkan besok ke dalam hari ini?

Ia terkejut. Tulisan itu mengandung pertanyaan yang sebenarnya menjadi pertanyaan dirinya sendiri. Itu benar-benar bukan khas pertanyaan hati bagi tokohnya, tetapi pertanyaan bagi tiap orang, terutama dirinya sendiri. Dan ia pun berbisik pada tokoh yang mulai hidup dalam jiwanya:

“Bisa, kawan. Bisa. Mula-mula kau harus punya kesabaran. Kemudian kau harus kerja. Celakalah kau bila kaya akan kesabaran dan tak mampu kerja.”

Dan kalau seorang pengarang telah dapat berkenalan dan bercakap-cakap dengan tokohnya sendiri, dia akan mengarang terus tanpa henti-hentinya. Tetapi tiba-tiba datang seorang tamu lagi—kawan baru.

“Saudara, sudikah saudara periksakan karangan saya ini?”

Hubungan si pengarang dengan tokohnya telah putus. Si tokoh telah pergi, takkan kembali, telah menjadi almarhum di dalam keabadian yang baka.

Setelah bertahun-tahun hidup di dalam dunia karang-mengarang ia telah memperoleh ketegasan di dalam selera gaya tertentu, sekalipun dapat juga ia menghargai gaya orang lain. Tetapi banyak kali ia merasa mual terhadap tulisan-tulisan yang merambat dan melata-lata tanpa tujuan, tanpa maksud, dan hanya bergenit dengan kata-kata, dan kemudian terjerumus ke dalam pencarian efek daripada perpaduan kata-kata yang hampa.

“Jadi bagaimana pendapat saudara?” tanya si tamu, meminta perhatian, meminta pujian.

Obrolan baru pun terjadilah. Teori baru pun keluarlah. Pada pokoknya tidak lain daripada selimutan atas pendapat si pengarang: ia tak bersenanghati membaca karangan itu.

“Jadi bagaimana harusnya?”

“Saudara,” si pengarang hampir-hampir berteriak karena kehilangan kesabaran. (Selama itu ia sudah kesal dan bosan pada mereka yang menganggap seorang pengarang adalah badan sosial yang tidak resmi). “Dalam pekerjaan ini pendapat orang lain hampir-hampir tak ada artinya. Pekerjaan ini tidak dimulai dari pendapat orang lain—tapi dari diri sendiri.”

Dan si tamu seperti dengan sendirinya, dan seperti sudah semestinya, meminta penjelasan tentang “dari diri sendiri” itu. Dan si pengarang makin kehilangan kesabarannya. Dengan suara berdembam menahan geram ia menjawab:

“Itulah yang harus dijawab sendiri oleh tiap pengarang. Selama dia belum mampu menjawabnya dia takkan mungkin bisa jadi pengarang yang sadar.”

Sementara itu suara batuk anaknya terdengar beruntun-untun. Ia lihat isterinya masuk ke dalam kamar dan mendamaikan kekesalan hati anaknya. Ia dengar suara manusia yang bersahut-sahutan dalam kamar itu. Kemudian mendengking tangis anak kecilnya, gerak tertahan dahak. Anak sekecil itu telah diwajibkan memasuki dunia penyakit orangtua: pilek, panas dingin, bronchitis. Sejenak ia tak dengar suara tamunya yang meminta perhatiannya dengan nada menghiba-hiba.

Waktu isterinya telah berhasil dapat mendamaikan pemberontakan hati anaknya dan keluar membawakan air teh, kembali perhatiannya terpusatkan pada tamunya.

“Artinya,” kata si tamu, “pertanyaan itu pertanyaan pribadi?”

“Ya, saudara, tiap pengarang punya jawabannya masing-masing. Hanya kadang-kadang saja sama.”

Dengan jawaban itu ia yakin, si tamu segera angkat kaki dan merenung-renungkan masalah itu. Tetapi tidak! Si tamu bahkan mulai mengajaknya mengobrol tentang banyak hal. Ia meminta juga banyak perhatian, yang ia hanya sedikit saja bisa memberikan. Si tamu masih tetap mendesak-desakan ceritanya, bahwa di SMP dulu ia selalu mendapat angka tertinggi untuk buah-buah karangannya. Dan ia bangga pada angka-angka yang diperolehnya. Akhirnya terdengar juga suara yang demikian membosankan hatinya.

“Saya amat mengagumi saudara.”

Si pengarang tersenyum. Di dunia ini kekaguman manusia atas sesuatu memang tanda bahwa ia berpikir dan bisa maju. Memang. Tetapi kadang-kadang kata itu dipergunakan untuk banyak arti. Karena itu ia terdiam saja. Biasanya ia menjawab:

“Terimakasih atas perhatian saudara.”

Kembali si pengarang tersenyum. Sekarang ia tidak mengulangi jawaban itu. Sekarang kepalanya justru diamuk oleh masalah yang paling dekat: uang buat pembayar dokter nanti sore. Dia mau menulis! Menulis! Karena hanya menulis itulah pekerjaan yang diketahuinya dan mampu ia kerjakan. Dan dokter hanya mau uang kontan. Dokter mesti dibayar, biarkan pengarang terlampau sering tak dibayar jasanya.

“Pendeknya,” tiba-tiba ia berkata kepada si tamu. “Dokter adalah pekerjaan yang lebih riil daripada pengarang. Dia juga terima duit yang riil. Mengapa saudara tak ingin jadi dokter saja?”

“Saya kira itu adalah pertanyaan pribadi, saudara,” kata si tamu.

“Setidak-tidaknya pertanyaan yang riil. Lebih langsung. Jalannya amat dekat. Tidak terlampau panjang.”

“Apa maksud saudara?” sekarang si tamu bertanya.

“Ah, tidak, sebenarnya ini hanya percakapan dalam hatiku sendiri. Bagaimanapun, jadi dokter lebih riil. Ia, dengan kecakapannya, menghilangkan dan mengurangi penyakit pasien. Itu riil: ia terima uang yang riil. Lagi pula untuk jadi dokter hanya membutuhkan waktu delapan tahun dan uang secukupnya, kemudian buka praktek. Habis perkara. Kalau diri normal memang dalam delapan tahun sudah jadi dokter. Lain dengan pengarang, saudara. Pada permulaan kali ia menjadi plonco, pengarang, dia sudah mulai dengan kesulitan-kesulitan jiwanya sendiri. Dia harus jadi penemu, dokternya sekaligus! Dan itu pun belum tentu berhasil. Dia bedah jiwanya sendiri. Kadang-kadang tak bisa menaruhkan bedahan-bedahan itu pada tempatnya yang lama. Dan untuk selama-lamanya jiwanya akan tinggal bedah!”

Ia lihat si tamu sudah mulai bosan. Tetapi untuk memperlihatkan kesungguhannya, ia memperdengarkan suaranya:

“Tapi, saudara, saya menulis bukan untuk mencari duit.”

“Nama, barangkali?”

Ia mengharapkan tamu itu segera angkat kaki. dan sekali ini harapannya terkabul. Pergilah ia. Untuk seterusnya kawan baru itu tak pernah datang lagi.

Si pengarang kembali menghadapi mesintulisnya. Lambat-lambat dan dnegan kesabaran yang dipaksa-paksakannya, akhirnya karangan itu jadi juga. Dan setelah mencium anaknya ia pergi lagi. Sekarang untuk menjual karangan itu.

Seorang redaktur menerima karangan itu, dan si pengarang dengan setulus hatinya berkata:

“Karangan ini tidak begitu baik, saudara.”

“Asal saudara tak meninggalkan intelegensi saudara, itu sudah cukup. Akhirnya tiap orang mesti hidup.”

“Artinya, bahwa si pengarang sekali itu menerima uang seratus limapuluh rupiah untuk penjualannya hari itu. Ia pulang dengan berseri-seri. Dan sore itu dokter meminta uang tujuhpuluh lima rupiah buat memeriksa anaknya selama seperempat menit. Waktu resep disodorkan pada apoteker, terdengung suara yang tak kenal tawaran:

“Enampuluh lima, tuan.”

Suami, isteri, dan anak itu pulang ke rumah tanpa uang sisa di dalam kantong masing-masing.

“Bagaimana uang belanja besok?” isterinya berkata.

Pengalaman sehari tadi akan terulang dan terulang lagi untuk seterusnya. Sekalipun ia tahu, jalan ke arah rejeki terlampau jauh, ia senang dengan pekerjaannya. [ ]


--Pramoedya Ananta Toer

Majalah Roman No. 7/8 Th. IV

Juli/Agustus 1956 

No comments: