12 July 2016

Famili Tanus yang Buta

Terlepas dari perhitungan politik atau apapun juga, sistem pendidikan di negeri Belanda jauh lebih baik daripada di Indonesia. Bahkan orang-orang cacat, yang kini di Indonesia boleh dikatakan hanya mungkin hidup dari kasihan orang belaka, atau setidak-tidaknya mempergunakan kekurangannya sebagai alat untuk mencari penghasilan, di negeri kecil ini pun mempunyai hak untuk mendapat didikan yang selayaknya, sehingga dengan demikian dalam kehidupan mereka tidak merasa rendah daripada anggota-anggota masyarakat yang lain.

Berpunggung-punggungan dengan rumah kami, antara Oranje Nassaulaan dan Prins Hendriklaan, menggarang dengan megahnya rumah pendidikan anak cacat. Di sebuah jendela belakang gedung mereka ini kadang nampak orang yang telah lanjut usia dan mengalami kerusakan tulang punggung hingga menjadi bongkok, duduk menulis. Besar kemungkinan ia telah berpuluh tahun mengajar di rumah pendidikan ini. Di bawah, di pelataran belakang, anak-anak yang juga cacat bermain-main tidak bedanya dengan anak-anak lain yang sehat tubuhnya. Pemandangan yang dekat ini mengingatkan kami pada para bekas pejuang yang kini cacat dan tidak jarang harus menjual kasihan pada khalayak ramai di sepanjang jalan atau menghampiri pintu-pintu rumah.

Di Amsterdam ini tidak banyak terdapat pengemis. Orang bilang, bahkan untuk boleh menjadi pengemis, orang harus mendapat pengesahan dahulu dari pemerintah setempat. Dengan kaki bunting atau penglihatan yang hilang mereka berdiri di pojok-pojok jalan memutar orgel atau satu rombongan bermain musik. Tempat-tempat operasi mereka juga telah ditentukan oleh pemerintah setempat, demikian menurut pendengaran kami, sehingga tidak semua daerah kotor oleh kaum peminta-minta ini. Orang-orang yang lewat menyedekahkan senan atau lima sen, dan mereka ini dengan hormatnya membungkuk mengucapkan terimakasih. Biasanya mereka ini adalah kurban peperangan yang baru lalu.

Tetapi di rumah-rumah yang biasa, tinggal orang-orang cacat yang tidak perlu hidup demikian. Mereka hidup biasa sebagai orang yang tidak invalide. Dan di waktu pulang atau masuk kantor, jalan-jalan sangat sering terisi sepeda roda tiga dengan bermotor atau tidak.

Mereka ini adalah orang-orang invalide yang berangkat ke tempat pekerjaannya. Di sore hari di atas sepeda roda tiga orang-orang yang bunting kakinya juga berjalan-jalan di park.

Tiap orang yang lewat sudi menolongnya turun untuk mempergunakan tongkat ketiaknya.

Kecucukan (nieuwsgierigheid) kami untuk mengetahui cara hidup mereka menyebabkan pada suatu sore kami pergi mengunjungi keluarga Tanus yang tinggal di daerah timur kota. Rumah-rumah di sini tidak mentereng, paling sedikit bertingkat tiga dan kamarnya sempit-sempit, demikian pula tangganya dan tidak dialasi oleh apa pun juga sehingga tiap saat berderak-derak bila orang lewat. Kami melalui jalan-jalan yang kelabu dan banyak kertas terserak di pinggir jalan, namun tidak lebih kotor daripada jalanan di Jakarta.

Sampai di suatu pintu kami baca nama-nama yang tersusun di tiangnya. Ada sebuah knop di samping nama Tanus, kami tekankan telunjuk. Pintu segera terbuka dan dari lantai tingkat pertama terdengar suara yang ramah. “O, tuan-tuan ini rupanya.” Tangga untuk naik ke tingkat pertama adalah gelap dan sempit. Kami dipersilakan duduk dan diantarkan ke beranda depan. Sikap dan gerak Tanus dan nyonyanya adalah demikian bebas dan tidak ada nampak keraguan sedikit pun. Sampai waktu itu aku belum percaya, bahwa di balik kacamata hitam Tanus tua terpasang mata yang buta sama sekali. Ia menyuguhkan tengteng dengan relanya dan isterinya merenda di dekat pediangan yang tidak dinyalakan. Nyonya buta sejak umurnya yang ketiga belas dan masih dapat mengingat warna-warna dan berbagai macam bentuk benda. Tanus sendiri buta sejak umurnya yang kedua dan tidak bisa mengingat apa pun.

Di belakang kursi bertumpuk buku-buku pengetahuan serta majalah tentang keagamaan, sosial dan ilmu pengetahuan. Ini dapat kuketahui dari nama-nama serta alamat-alamat bukunya yang tercetak dalam huruf-huruf besar. Tetapi serenta kubuka sebuah di antaranya, ternyata tak sebuah huruf pun dapat aku baca, karena tertulis dalam braille.

Tanus bicara banyak tentang budi, tentang pergaulan manusia, tentang kesenian, dan tentang musik ia bilang: “Tidaklah benar bahwa orang-orang buta selamanya musikal sebagaimana banyak orang menyangka. Golongan kami sangat mengutamakan pendengaran, dan karenanya dapat lebih banyak menikmatinya daripada golongan tuan.” Ia juga dapat bercerita tentang peperangan yang baru lalu. Dengan rabaan tangan dan pendengarannya ia memperlajari bahasa Jerman, dan sekalipun belum dapat mempergunakan untuk bicara, tetapi telah dapat mengerti dan mempergunakan untuk membaca.

“Ah, tuan,” katanya pada suatu kali, “dalam hidupnya tiap orang ini mesti pernah atau akan mengalami kehilangan. Dalam hal ini aku dan isteriku kehilangan penglihatanku. Juga dalam hidupnya tiap orang mesti pernah atau akan menemukan sesuatu. Dan dalam hal ini aku menemukan kebahagiaan rumahtangga.”

“Dan bagaimana bisa tuan bicara dengan tiada melihat benda-benda, warna, dan bentuk.”

“Buat kami, orang buta, kami hanya dapat menangkap pengetian-pengetian belaka. Dunia kami adalah dunia pengertian. Tetapi semua itu tidak membuat kami merasa hina atau sengsara.”

Pada jam sepuluh di tengah senja, waktu ini adalah musim panas dan matahari tenggelam pada jam setengah sepuluh malam. Ruangan depan mulai gelap. Seorang gadis masuk ke dalam dan bicara dengan Tanus. Dengan tiada bimbangnya orang buta ini masuk ke dalam kamarnya dan mengambil sebungkus rokok yang kemudian diserahkan kepada gadis itu. Dan Tanus menerima uang serupiah pengganti sebungkus Van Nelle—tak lebih dan tidak kurang daripada harga yang tercantum pada banderol. Di saat itu mengertilah aku bahwa penghasilan Tanus ialah menjual rokok. Waktu kopi kami habis ia menjerang air kembali di atas tungku listriknya, dan kemudian mengisi cangkir kami dan memberinya gula dan susu sekali. Semua dikerjakannya dengan cekatan, tidak lebih lambat daripada pekerjaan pemalas.

Listrik bagi orang buta ini lebih menjamin keselamatannya daripada gas. Bicara tentang listrik dan gas, Tanus bilang: “Tuan, sepanjang pengetahuanku, semua kebakaran yang pernah terjadi tidak sekalipun disebabkan oleh orang buta, tetapi oleh orang yang punya penglihatan. Cobalah pikir betapa ajaibnya. Kami tidak bisa berbuat sembarangan dengan api sebagaimana tuan. Itulah sebabnya.”

Pertanyaan berjalan terus sehingga kami tak melihat apa-apa di sekeliling kami selain lampu-lampu motorboot yang mondar-mandir di kanal di depan beranda di seberang jalan raya. Rupa-rupanya teringatlah tuan rumah, bahwa bagi kami kegelapan mengganggu keseluruhan kami. Waktu jam di sampingnya berbunyi sebelas kali ia terbangkit dari duduknya sedang isterinya terus merenda. “Maaf, tuan, lupa aku menyalakan lampu.” Perabot penerangan yang terdapat di dalam rumah keluarga ini rupa-rupanya hanya untuk orang lain. Dan untuk itu ia harus membayar rekening listrik.

“Berabenya jadi oprang buta ini, tuan, kalau terjadi marabahaya maka kami dululah menjadi kurban.” Kemudian ia bercerita tentang masa pendudukan Jerman, yang mana orang-orang dapat pergi ke lain daerah untuk mencari kentang atau melarikan diri, sedang ia dan isterinya tinggal di rumah, karena air yang menerobosi tanggul-tanggul akan meminta jiwa mereka lebih cepat daripada kelaparan atau serdadu Jerman itu sendiri. Tetapi kami percaya pada kemurahan Tuhan. Orang Jerman tidak selamanya kasar dan ganas. Banyak juga di antaranya yang berbudi. Barangkali tuan-tuan tidak percaya, tetapi ada berbagai orang Jerman yang selalu mengantarkan roti dan makanan lain ke rumah kami.”

Setelah berkata itu ia menundukkan kepalanya dan berdiam diri. Barangkali ia mengucapkan syukur pada Tuhannya yang pemurah itu. “Kami adalah orang-orang Katholik. Orang Katholik tidak menyetujui Nazi, karena mereka membuat perbedaan antara bangsa-bangsa di dunia. Tidak semua serdadu Jerman rela melaksanakan cita-cita Nazi. Dan dari merekalah aku menerima makan.”

Jam duabelas malam kami pulang dan diantarkan hingga ke tangga. Dalam hati kami terbit pertanyaan apakah benar orang ini bisa memperoleh kekayaan budi dari pengajaran dan pendidikan yang pernah diterimanya. Dan dalam perjalanan pulang di atas trem itu terjawab juga, bahwa pengajaran dan pendidikan memang memungkinkan juga. Dan bagaimanakah keadaan lahir dan batin orang-orang yang semacam itu juga dan yang juga kehilangan haknya (karena tiada kesempatan dan penerangan) untuk memperoleh pengajaran dan pendidikan seperti banyak terdapat di Indonesia?

Ah, jawaban itu tidak kuperoleh. Aku gelengkan kepalaku dan mencepatkan langkah setelah trem berhenti. [ ]

--Pramoedya Ananta Toer
Copyright 1953,

Mimbar Penyiaran DUTA

No comments: