Terlepas dari perhitungan politik atau apapun juga, sistem
pendidikan di negeri Belanda jauh lebih baik daripada di Indonesia. Bahkan orang-orang
cacat, yang kini di Indonesia boleh dikatakan hanya mungkin hidup dari kasihan
orang belaka, atau setidak-tidaknya mempergunakan kekurangannya sebagai alat
untuk mencari penghasilan, di negeri kecil ini pun mempunyai hak untuk mendapat
didikan yang selayaknya, sehingga dengan demikian dalam kehidupan mereka tidak
merasa rendah daripada anggota-anggota masyarakat yang lain.
Berpunggung-punggungan dengan rumah kami, antara Oranje
Nassaulaan dan Prins Hendriklaan, menggarang dengan megahnya rumah pendidikan
anak cacat. Di sebuah jendela belakang gedung mereka ini kadang nampak orang
yang telah lanjut usia dan mengalami kerusakan tulang punggung hingga menjadi
bongkok, duduk menulis. Besar kemungkinan ia telah berpuluh tahun mengajar di
rumah pendidikan ini. Di bawah, di pelataran belakang, anak-anak yang juga
cacat bermain-main tidak bedanya dengan anak-anak lain yang sehat tubuhnya. Pemandangan
yang dekat ini mengingatkan kami pada para bekas pejuang yang kini cacat dan
tidak jarang harus menjual kasihan pada khalayak ramai di sepanjang jalan atau
menghampiri pintu-pintu rumah.
Di Amsterdam ini tidak banyak terdapat pengemis. Orang bilang,
bahkan untuk boleh menjadi pengemis, orang harus mendapat pengesahan dahulu
dari pemerintah setempat. Dengan kaki bunting atau penglihatan yang hilang
mereka berdiri di pojok-pojok jalan memutar orgel atau satu rombongan bermain
musik. Tempat-tempat operasi mereka juga telah ditentukan oleh pemerintah
setempat, demikian menurut pendengaran kami, sehingga tidak semua daerah kotor
oleh kaum peminta-minta ini. Orang-orang yang lewat menyedekahkan senan atau
lima sen, dan mereka ini dengan hormatnya membungkuk mengucapkan terimakasih. Biasanya
mereka ini adalah kurban peperangan yang baru lalu.
Tetapi di rumah-rumah yang biasa, tinggal orang-orang cacat
yang tidak perlu hidup demikian. Mereka hidup biasa sebagai orang yang tidak
invalide. Dan di waktu pulang atau masuk kantor, jalan-jalan sangat sering
terisi sepeda roda tiga dengan bermotor atau tidak.
Mereka ini adalah orang-orang invalide yang berangkat ke
tempat pekerjaannya. Di sore hari di atas sepeda roda tiga orang-orang yang bunting
kakinya juga berjalan-jalan di park.
Tiap orang yang lewat sudi menolongnya turun untuk
mempergunakan tongkat ketiaknya.
Kecucukan (nieuwsgierigheid) kami untuk mengetahui cara
hidup mereka menyebabkan pada suatu sore kami pergi mengunjungi keluarga Tanus
yang tinggal di daerah timur kota. Rumah-rumah di sini tidak mentereng, paling
sedikit bertingkat tiga dan kamarnya sempit-sempit, demikian pula tangganya dan
tidak dialasi oleh apa pun juga sehingga tiap saat berderak-derak bila orang
lewat. Kami melalui jalan-jalan yang kelabu dan banyak kertas terserak di
pinggir jalan, namun tidak lebih kotor daripada jalanan di Jakarta.
Sampai di suatu pintu kami baca nama-nama yang tersusun di
tiangnya. Ada sebuah knop di samping nama Tanus, kami tekankan telunjuk. Pintu segera
terbuka dan dari lantai tingkat pertama terdengar suara yang ramah. “O,
tuan-tuan ini rupanya.” Tangga untuk naik ke tingkat pertama adalah gelap dan
sempit. Kami dipersilakan duduk dan diantarkan ke beranda depan. Sikap dan
gerak Tanus dan nyonyanya adalah demikian bebas dan tidak ada nampak keraguan
sedikit pun. Sampai waktu itu aku belum percaya, bahwa di balik kacamata hitam
Tanus tua terpasang mata yang buta sama sekali. Ia menyuguhkan tengteng dengan
relanya dan isterinya merenda di dekat pediangan yang tidak dinyalakan. Nyonya buta
sejak umurnya yang ketiga belas dan masih dapat mengingat warna-warna dan
berbagai macam bentuk benda. Tanus sendiri buta sejak umurnya yang kedua dan
tidak bisa mengingat apa pun.
Di belakang kursi bertumpuk buku-buku pengetahuan serta
majalah tentang keagamaan, sosial dan ilmu pengetahuan. Ini dapat kuketahui
dari nama-nama serta alamat-alamat bukunya yang tercetak dalam huruf-huruf
besar. Tetapi serenta kubuka sebuah di antaranya, ternyata tak sebuah huruf pun
dapat aku baca, karena tertulis dalam braille.
Tanus bicara banyak tentang budi, tentang pergaulan manusia,
tentang kesenian, dan tentang musik ia bilang: “Tidaklah benar bahwa
orang-orang buta selamanya musikal sebagaimana banyak orang menyangka. Golongan
kami sangat mengutamakan pendengaran, dan karenanya dapat lebih banyak
menikmatinya daripada golongan tuan.” Ia juga dapat bercerita tentang
peperangan yang baru lalu. Dengan rabaan tangan dan pendengarannya ia memperlajari
bahasa Jerman, dan sekalipun belum dapat mempergunakan untuk bicara, tetapi
telah dapat mengerti dan mempergunakan untuk membaca.
“Ah, tuan,” katanya pada suatu kali, “dalam hidupnya tiap
orang ini mesti pernah atau akan mengalami kehilangan. Dalam hal ini aku dan
isteriku kehilangan penglihatanku. Juga dalam hidupnya tiap orang mesti pernah
atau akan menemukan sesuatu. Dan dalam hal ini aku menemukan kebahagiaan
rumahtangga.”
“Dan bagaimana bisa tuan bicara dengan tiada melihat
benda-benda, warna, dan bentuk.”
“Buat kami, orang buta, kami hanya dapat menangkap
pengetian-pengetian belaka. Dunia kami adalah dunia pengertian. Tetapi semua
itu tidak membuat kami merasa hina atau sengsara.”
Pada jam sepuluh di tengah senja, waktu ini adalah musim
panas dan matahari tenggelam pada jam setengah sepuluh malam. Ruangan depan
mulai gelap. Seorang gadis masuk ke dalam dan bicara dengan Tanus. Dengan tiada
bimbangnya orang buta ini masuk ke dalam kamarnya dan mengambil sebungkus rokok
yang kemudian diserahkan kepada gadis itu. Dan Tanus menerima uang serupiah
pengganti sebungkus Van Nelle—tak lebih dan tidak kurang daripada harga yang
tercantum pada banderol. Di saat itu mengertilah aku bahwa penghasilan Tanus
ialah menjual rokok. Waktu kopi kami habis ia menjerang air kembali di atas
tungku listriknya, dan kemudian mengisi cangkir kami dan memberinya gula dan
susu sekali. Semua dikerjakannya dengan cekatan, tidak lebih lambat daripada
pekerjaan pemalas.
Listrik bagi orang buta ini lebih menjamin keselamatannya
daripada gas. Bicara tentang listrik dan gas, Tanus bilang: “Tuan, sepanjang
pengetahuanku, semua kebakaran yang pernah terjadi tidak sekalipun disebabkan oleh
orang buta, tetapi oleh orang yang punya penglihatan. Cobalah pikir betapa
ajaibnya. Kami tidak bisa berbuat sembarangan dengan api sebagaimana tuan. Itulah
sebabnya.”
Pertanyaan berjalan terus sehingga kami tak melihat apa-apa
di sekeliling kami selain lampu-lampu motorboot yang mondar-mandir di kanal di
depan beranda di seberang jalan raya. Rupa-rupanya teringatlah tuan rumah,
bahwa bagi kami kegelapan mengganggu keseluruhan kami. Waktu jam di sampingnya
berbunyi sebelas kali ia terbangkit dari duduknya sedang isterinya terus
merenda. “Maaf, tuan, lupa aku menyalakan lampu.” Perabot penerangan yang
terdapat di dalam rumah keluarga ini rupa-rupanya hanya untuk orang lain. Dan untuk
itu ia harus membayar rekening listrik.
“Berabenya jadi oprang buta ini, tuan, kalau terjadi
marabahaya maka kami dululah menjadi kurban.” Kemudian ia bercerita tentang
masa pendudukan Jerman, yang mana orang-orang dapat pergi ke lain daerah untuk
mencari kentang atau melarikan diri, sedang ia dan isterinya tinggal di rumah,
karena air yang menerobosi tanggul-tanggul akan meminta jiwa mereka lebih cepat
daripada kelaparan atau serdadu Jerman itu sendiri. Tetapi kami percaya pada
kemurahan Tuhan. Orang Jerman tidak selamanya kasar dan ganas. Banyak juga di
antaranya yang berbudi. Barangkali tuan-tuan tidak percaya, tetapi ada berbagai
orang Jerman yang selalu mengantarkan roti dan makanan lain ke rumah kami.”
Setelah berkata itu ia menundukkan kepalanya dan berdiam
diri. Barangkali ia mengucapkan syukur pada Tuhannya yang pemurah itu. “Kami
adalah orang-orang Katholik. Orang Katholik tidak menyetujui Nazi, karena
mereka membuat perbedaan antara bangsa-bangsa di dunia. Tidak semua serdadu
Jerman rela melaksanakan cita-cita Nazi. Dan dari merekalah aku menerima makan.”
Jam duabelas malam kami pulang dan diantarkan hingga ke
tangga. Dalam hati kami terbit pertanyaan apakah benar orang ini bisa
memperoleh kekayaan budi dari pengajaran dan pendidikan yang pernah
diterimanya. Dan dalam perjalanan pulang di atas trem itu terjawab juga, bahwa
pengajaran dan pendidikan memang memungkinkan juga. Dan bagaimanakah keadaan
lahir dan batin orang-orang yang semacam itu juga dan yang juga kehilangan
haknya (karena tiada kesempatan dan penerangan) untuk memperoleh pengajaran dan
pendidikan seperti banyak terdapat di Indonesia?
Ah, jawaban itu tidak kuperoleh. Aku gelengkan kepalaku dan
mencepatkan langkah setelah trem berhenti. [ ]
--Pramoedya Ananta Toer
Copyright 1953,
Mimbar Penyiaran DUTA
No comments:
Post a Comment