Ketika Perang Bubat meletus yang menewaskan kedua orang tua dan kakak perempuannya, Wastu Kancana masih bocah. Berita duka itu disampaikan kepada Mangkubumi Bunisora Suradipati oleh para darmajaksa utusan Prabu Hayam Wuruk. Para tetua Sunda yang telah lanjut usia marah besar. Mereka menghendaki perang, menyerbu Majapahit.
“Mahapatih jejerih! Gajah atah warah!
Gusti Mangkubumi! Najan kami geus cetuk-dawuk! Goréng-goréng gé kami téh kungsi
ngalaman jadi Senapatiyuda! Kami sanggup kénéh ngeprik wadyabalad Nagri Sunda
pikeun males pulih ngagempur urang Majapait!” ucap Ki Olot, tetua yang paling
dituakan, emosinya meluap-luap.
Namun Mangkubumi Bunisora Suradipati
dapat meredam emosi para tetua tersebut. Dia berpikir jika Sunda membalas
dendam dengan menggempur Majapahit, maka kehancuran akan menimpa seluruh Jawa. Dengan
kesedihan yang mendalam, Mangkubumi Bunisora Suradipati kemudian pamit kepada
para tetua hendak menenangkan pikiran sejenak dengan pergi ke Jampang, tempat
tinggalnya yang juga terdapat padepokan untuk menggembleng para balamati
(pengawal kerajaan) Negeri Sunda.
Namun sehari sebelum dia berangkat, Wastu Kancana yang tinggal di keraton bersama sejumlah pengasuhnya diculik seseorang pada malam hari. Setelah dikejar oleh Mangkubumi Bunisora Suradipati, ternyata yang menculiknya adalah salah seorang pemimpin di padepokan Mandala Binayapanti Jampang. Akhirnya Wastu Kancana justru dititipkan di padepokan tersebut.
Pertualangan di Pakuan Pajajaran dan Lampung
Setelah belajar di padepokan
Binayapanti Jampang selama lima tahun, akhirnya Wastu Kancana harus kembali ke
Kawali, ibu kota Sunda. Namun, sehari sebelum dia pergi, Mangkubumi Bunisora
Suradipati datang ke padepokan itu untuk menyampaikan tragedi yang menimpa
orang tua, saudara, dan orang-orang Sunda lainnya yang gugur di palagan Bubat.
Ya, selama lima tahun mendalami ilmu,
tragedi itu dirasiakan kepada Wastu Kancana. Setelah mendengarkan semua yang
dikisahan pamannya, Wastu Kancana pingsan. Lalu siuman dan muntab.
“Paman! Naha Paman teu males pulih ka
si Gajah Mada? Paman leutik burih!” bentak Wastu Kancana.
Namun setelah ditenangkan dan diberi
pengertian, Wastu Kancana akhirnya mereda. Dia sebetulnya diminta untuk kembali
ke Kawali karena hendak dijadikan raja, penerus ayahnya. Namun Wastu Kancana
menolak, dia merasa belum pantas dan masih ingin menambah ilmu di tempat lain.
Ditemani Rakean Hujung, kawannya di
padepokan, Wastu kancana akhirnya pergi. Rakean Hujung membawanya ke Pakuan,
negeri bawahan Sunda yang dulu terpisah. Mereka menyemar sebagai rakyat biasa,
bukan sebagai lulusan Binayapanti Jampang apalagi calon raja.
Di Pakuan ternyata hendak terjadi
pemberontakan yang akan menggulingkan raja yang sah. Pelakunya adalah Rakean
Mantri Kaladarma beserta gerombolannya. Namun, berkat strategi Rakean Hujung
dan Wastu Kancana, pemberontakan itu berhasil digagalkan. Setelah itu, keduanya
segera meninggalkan Pakuan.
Mereka kemudian menuju pesisir utara
Jawa bagian Barat, hendak mencari pengalaman dengan berlayar. Karena perahu
yang ada hanya akan berlayar ke Lampung, maka keduanya terpaksa ikut. Di
Lampung, mereka berguru kepada Resi Susuk Lampung.
Di padepokan ini, Rakean Hujung dan Wastu
Kancana lagi-lagi menolong tuan rumah dari serangan berdarah yang dipimpin Arai
Mongga. Setelah peristiwa itu, keduanya pamitan kembali ke Negeri Sunda.
Bagi Wastu Kancana, selain menambah
ilmu, di padepokan Lampung juga dia mulai merasakan jatuh cinta kepada seorang
gadis bernama Dewi Sarkati, putri Resi Susuk Lampung. Sayang, keduanya harus
berpisah. Namun sebelum berpisah, mereka bertukar cendera mata sebagai
kenangan-kenangan akan cinta yang hendak dipisahkan raga.
“Geter rasa geter sukma, sambung sinambungan, tepung dina pasisi jangji nu teu kungsi kalisankeun. Antara Lampung jeung Sunda, jauh pilampaheunana, tapi deukeut geugeut na angenna,” tulis Yoseph Iskandar. (irf)
No comments:
Post a Comment