Yoseph Iskandar menulis roman sejarah tentang Kerajaan Sunda dalam sembilan jilid buku, yaitu:
1. Perang Bubat
2. Wastu Kancana
3. Prabu Wangisutah
4. Tanjeur na Juritan Jaya di Buana
5. Pamanah Rasa
6. Putri Subang Larang
7. Prabo Anom Jayadewata
8. Tri Tangtu di Bumi
9. Ajar Kutamangu
Semuanya insyaAllah akan saya
resensi satu persatu secara berurutan. Dan mari kita mulai dari buku yang pertama: Perang Bubat.
Kenapa kisah ini dibuka dengan
pertumpahan darah? Saya kira, karena tragedi ini menjadi batu tapal untuk siapa
saja yang tertarik dengan cerita tentang Kerajaan Sunda. Peristiwa ini hingga
kiwari menjadi akar dari pelbagai pamali dalam hubungan Sunda-Jawa.
Warsa 1356 Masehi, Sunda dipimpin
oleh Prabu Maharaja Linggabuana. Dia punya dua anak, yaitu Citraresmi dan Wastu
Kancana. Adik Linggabuana bernama Mangkubumi Bunisora Suradipati. Sekali waktu,
datang utusan dari Kerajaan Majapahit. Tujuannya untuk melukis Citraresmi
sebagai salah satu calon istri yang kelak akan dipilih oleh Prabu Hayam Wuruk.
Singkat cerita, Citraresmi terpilih
dan dilamar. Karena saat itu Majapahit adalah kerajaan besar yang banyak negeri
bawahannya, maka calon mempelai wanita yang mendatangi calon mempelai laki-laki
untuk melaksanakan perkawinan. Hal ini sebetulnya sempat ditolak oleh Mangkubumi
Bunisora Suradipati yang menjunjung tinggi harga diri Sunda, namun kakaknya
menyetujui permintaan Majapahit.
Karena punya firasat buruk, maka
dengan beberapa alasan akhirnya Mangkubumi Bunisora Suradipati dan Wastu
Kancana tidak ikut ke Trowulan, ibu kota Majapahit.
Rombongan dari Sunda berlayar melalui
Cirebon. Sesampainya di Trowulan—karena ambisi Sumpah Palapa Gajah Mada—mereka tak
langsung disambut ke keraton, melainkan ditempatkan dulu di Lapangan Bubat. Gajah
Mada bertekad menaklukkan rombongan Sunda karena hanya kerajaan inilah yang
belum sempat ia taklukkan untuk menggenapi Sumpah Palapa.
Prabu Hayam Wuruk tidak setuju dengan
rencana mahapatihnya. Namun, tekad Gajah Mada telah bulat, dia hendak menjadikan
Citraresmi sebagai upeti sebagai tanda bahwa Kerajaan Sunda mengaku takluk.
Lalu apa yang selanjutnya terjadi? Alih-alih
menuruti ambisi Gajah Mada, rombongan Sunda mengobarkan perlawanan. Tentu saja
kecamuk saling bunuh yang sangat tidak seimbang, sebab mereka jauh-jauh datang ke
Majapahit bukan untuk berperang, melainkan pernikahan. Maka demikianlah, firasat
buruk Mangkubumi Bunisora Suradipati menjadi kenyataan.
Seluruh rombongan Sunda tumpas,
termasuk Citraresmi yang menghunjamkan patrem pemberian pamannya ke dadanya
sendiri. Pesta perkawinan itu berubah menjadi ladang pembantaian.
Sikap lancung Gajah Mada dalam kisah
klasik ini kemudian menjadi semacam api abadi dalam pamali-pamali kultural hubungan
Sunda-Jawa.
Karena tidak ikut ke Majapahit, maka Mangkubumi
Bunisora Suradipati dan Wastu Kancana selamat dan menjadi penerus Kerajaan
Sunda, juga kisah-kisah selanjutnya.
Dalam cerita ini Yoseph Iskandar
sempat melontarkan kritik terhadap Mohammad Yamin yang “menemukan” sosok Gajah
Mada lewat pecahan celengan yang kemudian menjadi narasi seragam dalam buku-buku
sejarah di sekolah. Menurut Yoseph, Yamin jelas salah besar, sebab Gajah Mada
tidak mungkin seperti yang Yamin imajinasikan:
“Béda jeung arca nu dipaké nyampaykeun
leungeun kéncana dina sajeroning dirina ngajentul di lawang pendopo. Eta arca
nu purah ngajaga panto téh, pangawakanana lintuh bayuhyuh. Pipi karebi, panon
sipit. Biwir kandel kedeplik. Sarérétan mah bakal pahili jeung Semar. Teuing
arca naon, nu pasti sakur tukang nyieunan karajinan keramik di dayeuh Trowulan,
éta arca téh dijieun conto pikeun céngcéléngan.”
Ibarat pertandingan tinju, Perang
Bubat adalah pukulan pertama yang telak menghunjam dalam kisah panjang
perjalanan Kerajaan Sunda. (irf)
No comments:
Post a Comment