01 August 2021

Perang Bubat: Sikap Lancung Gajah Mada dan Tewasnya Citraresmi


Yoseph Iskandar menulis roman sejarah tentang Kerajaan Sunda dalam sembilan jilid buku, yaitu:

1. Perang Bubat

2. Wastu Kancana

3. Prabu Wangisutah

4. Tanjeur na Juritan Jaya di Buana

5. Pamanah Rasa

6. Putri Subang Larang

7. Prabo Anom Jayadewata

8. Tri Tangtu di Bumi

9. Ajar Kutamangu

Semuanya insyaAllah akan saya resensi satu persatu secara berurutan. Dan mari kita mulai dari buku yang pertama: Perang Bubat.

Kenapa kisah ini dibuka dengan pertumpahan darah? Saya kira, karena tragedi ini menjadi batu tapal untuk siapa saja yang tertarik dengan cerita tentang Kerajaan Sunda. Peristiwa ini hingga kiwari menjadi akar dari pelbagai pamali dalam hubungan Sunda-Jawa.

Warsa 1356 Masehi, Sunda dipimpin oleh Prabu Maharaja Linggabuana. Dia punya dua anak, yaitu Citraresmi dan Wastu Kancana. Adik Linggabuana bernama Mangkubumi Bunisora Suradipati. Sekali waktu, datang utusan dari Kerajaan Majapahit. Tujuannya untuk melukis Citraresmi sebagai salah satu calon istri yang kelak akan dipilih oleh Prabu Hayam Wuruk.

Singkat cerita, Citraresmi terpilih dan dilamar. Karena saat itu Majapahit adalah kerajaan besar yang banyak negeri bawahannya, maka calon mempelai wanita yang mendatangi calon mempelai laki-laki untuk melaksanakan perkawinan. Hal ini sebetulnya sempat ditolak oleh Mangkubumi Bunisora Suradipati yang menjunjung tinggi harga diri Sunda, namun kakaknya menyetujui permintaan Majapahit.  

Karena punya firasat buruk, maka dengan beberapa alasan akhirnya Mangkubumi Bunisora Suradipati dan Wastu Kancana tidak ikut ke Trowulan, ibu kota Majapahit.

Rombongan dari Sunda berlayar melalui Cirebon. Sesampainya di Trowulan—karena ambisi Sumpah Palapa Gajah Mada—mereka tak langsung disambut ke keraton, melainkan ditempatkan dulu di Lapangan Bubat. Gajah Mada bertekad menaklukkan rombongan Sunda karena hanya kerajaan inilah yang belum sempat ia taklukkan untuk menggenapi Sumpah Palapa.

Prabu Hayam Wuruk tidak setuju dengan rencana mahapatihnya. Namun, tekad Gajah Mada telah bulat, dia hendak menjadikan Citraresmi sebagai upeti sebagai tanda bahwa Kerajaan Sunda mengaku takluk.

Lalu apa yang selanjutnya terjadi? Alih-alih menuruti ambisi Gajah Mada, rombongan Sunda mengobarkan perlawanan. Tentu saja kecamuk saling bunuh yang sangat tidak seimbang, sebab mereka jauh-jauh datang ke Majapahit bukan untuk berperang, melainkan pernikahan. Maka demikianlah, firasat buruk Mangkubumi Bunisora Suradipati menjadi kenyataan.   

Seluruh rombongan Sunda tumpas, termasuk Citraresmi yang menghunjamkan patrem pemberian pamannya ke dadanya sendiri. Pesta perkawinan itu berubah menjadi ladang pembantaian.

Sikap lancung Gajah Mada dalam kisah klasik ini kemudian menjadi semacam api abadi dalam pamali-pamali kultural hubungan Sunda-Jawa.

Karena tidak ikut ke Majapahit, maka Mangkubumi Bunisora Suradipati dan Wastu Kancana selamat dan menjadi penerus Kerajaan Sunda, juga kisah-kisah selanjutnya.

Dalam cerita ini Yoseph Iskandar sempat melontarkan kritik terhadap Mohammad Yamin yang “menemukan” sosok Gajah Mada lewat pecahan celengan yang kemudian menjadi narasi seragam dalam buku-buku sejarah di sekolah. Menurut Yoseph, Yamin jelas salah besar, sebab Gajah Mada tidak mungkin seperti yang Yamin imajinasikan:    

“Béda jeung arca nu dipaké nyampaykeun leungeun kéncana dina sajeroning dirina ngajentul di lawang pendopo. Eta arca nu purah ngajaga panto téh, pangawakanana lintuh bayuhyuh. Pipi karebi, panon sipit. Biwir kandel kedeplik. Sarérétan mah bakal pahili jeung Semar. Teuing arca naon, nu pasti sakur tukang nyieunan karajinan keramik di dayeuh Trowulan, éta arca téh dijieun conto pikeun céngcéléngan.”

Ibarat pertandingan tinju, Perang Bubat adalah pukulan pertama yang telak menghunjam dalam kisah panjang perjalanan Kerajaan Sunda. (irf)

No comments: