12 September 2021

Interpreter of Maladies: Kisah Penuh "Luka" yang Dituturkan Secara Hangat dan Menggugah

Perjumpaan saya dengan karya-karya Jhumpa Lahiri adalah perjumpaan yang memutar. Mula-mula saya menyukai film. Dan salah satu sutradara favorit saya adalah Mira Nair. Film karya Mira Nair yang pertama kali saya tonton adalah sebuah omnibus berjudul New York, I love You (2009) saat diputar di Jakarta International Film Festival (JIFFes). Selanjutnya adalah film Amelia (2009), biopik penerbang Amelia Earhart yang hilang di perairan Pasifik.

Setelah itu saya mulai mencari film-film Mira Nair yang lain, dan ketemulah The Namesake (2006), film tentang pergulatan identitas yang diangkat dari novel Jhumpa Lahiri dengan judul sama. Seperti dua film sebelumnya, The Namesake juga begitu memukau hingga akhirnya saya mencari novelnya hingga dapat. Nah, mulai saat itulah saya berkenalan dengan karya Jhumpa Lahiri.

Setelah menamatkan novel The Namesake (2003), saya langsung menjadi penggemar baru Lahiri. Pengarang perempuan keturunan India ini benar-benar piawai dalam bertutur. Rangkaian kalimatnya begitu jernih, jauh dari rumit. Dia tak bergenit-genit dengan metafora dan majas lainnya. Ketekunan dan kesabarannya dalam menggambarkan latar cerita dan detail-detail lainnya begitu mengagumkan.

Sayang sekali, setelah novel The Namesake, saya kesulitan menemukan buku-buku Lahiri yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sempat suatu kali ada bukunya yang berjudul The Lowland (2015) atau Tanah Cekung beredar di toko besar, namun karena penerbit kurang terkenal maka saya menunda untuk membelinya (sekarang akhirnya dibeli juga buku itu).

Ada pula informasi yang menyebutkan bahwa Interpreter of Maladies telah diterjemahkan, tapi ketika saya cek, ternyata terbitnya sudah lama. Setelah sekian lama tertunda, akhirnya saya bisa mendapatkan buku tersebut.

Interpreter of Maladies telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh tiga penerbit. Pertama, Akubaca dengan judul Penafsir Kepedihan. Kedua oleh Jalasutra dengan judul Benua Ketiga dan Terakhir. Dan ketiga oleh Gramedia Pustaka Utama berjudul Penerjemah Luka. Saya membaca yang terakhir.

Buku ini merupakan kumpulan cerpen, total berjumlah sembilan. Dan sebagaimana The Namesake, dalam buku ini juga Lahiri bertutur dengan sangat baik.

Kisah pertama dibuka oleh “Masalah Sementara”, tentang bagaimana pasangan muda keturunan India yang hidup di AS saling menutup diri, tak acuh, dan dingin, padahal mereka belum lama menikah. Situasi ini bermula setelah sang istri melahirkan dan anaknya meninggal sesaat setelah persalinan. Setelah itu komunikasi beku, keduanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, sampai akhirnya tibalah pemadaman listrik karena gangguan. Kegelapan rumah membuat mereka menyalakan lilin, makan bersama, dan mulai bicara lagi, lalu situasi pun mulai mencair kembali.

Cerpen favorit saya yang kedua adalah “Seksi”. Berkisah tentang Laksmi dan Miranda. Mereka rekan kerja. Sekali waktu Lakmi bercerita bahwa sepupunya yang telah punya anak dikhianati suaminya yang memilih pacaran dengan seorang pramugari. Sementara setiap hari Laksmi bercerita hal tersebut, Miranda sebetulnya tengah menjalin hubungan dengan seorang pria beristri.

“Seksi,” ucap kekasih Miranda suatu hari. Hati Miranda melambung.

Suatu hari, Laksmi hendak mengantar sepupunya untuk beberapa urusan. Nah, anak sepupunya itu dititipkan ke Miranda. Si bocah dan Miranda lumayan akrab. Saat si bocah melihat gaun yang dipegang Miranda, ia meminta Miranda untuk memakai. Meski awalnya menolak, tapi akhirnya Miranda mengenakannya juga.

Melihat Miranda dengan gaun tersebut, si bocah berkata, “Seksi.”

Miranda kaget, sebab ia teringat dengan ucapan kekasihnya, pria beristri yang kerap bercinta dengannya. Ia pun bertanya kepada si bocah, apa maksud ucapan tersebut.    

“Mencintai seseorang yang tidak kau kenal,” jawab anak itu.

Si bocah sebetulnya tengah membicarakan bapaknya yang berselingkuh dengan pramugari. Namun bagi Miranda, jawaban tersebut begitu menohok dirinya.

Cerpen favorit selanjutnya adalah “Benua Ketiga dan Terakhir”. Ini merupakan cerpen pengujung di buku Penerjemah Luka. Menceritakan persahabatan pria imigran India dengan perempuan AS yang telah berusia lebih dari 100 tahun. Selain itu, juga hubungan kaku antara si imigran istrinya yang masih berada di India. Maklum, pasangan yang menikah karena dijodohkan.

Saat istrinya akhirnya menyusul dan tiba di AS, si pria tak menyambutnya dengan antusias, biasa saja. Namun seiring waktu, keduanya kemudian saling mengerti, saling memahami, hingga hubungan lebih hangat dan hidup. Dan sebagai perantau, si pria imigran merasa bersyukur atas pencapaian yang biasa-biasa saja.

“Aku sekarang tahu pencapaianku biasa saja. Aku bukan satu-satunya orang yang mencari keberuntungan jauh dari kampung halamannya, dan yang pasti aku bukan yang pertama. Namun tetap saja ada saat-saat ketika aku terheran-heran mengenang setiap kilometer yang kutempuh, setiap hidangan yang kusantap, setiap orang yang kukenal, setiap kamar tempat aku pernah tidur. Meski semuanya tampak biasa, ada saat-saat ketika itu semua melampaui bayanganku,” ucapnya.

Ya, cerpen ini begitu hangat. Tak heran jika Jalasutra menjadikannya sebagai judul buku, alih-alih menerjemahkan dari kalimat “Interpreter of Maladies”.

Sekarang saya tengah mulai membaca The Lowland, awalnya saja sudah menarik. Lain kali, mudah-mudahan sempat, akan saya tuangkan juga di sini. (irf)

2 comments:

budak kang entang said...

hoor pih, ari anu 5 judul deui pan acan,.. among rek secara beruntun cenah,


4. Tanjeur na Juritan Jaya di Buana

5. Pamanah Rasa

6. Putri Subang Larang

7. Prabo Anom Jayadewata

8. Tri Tangtu di Bumi

9. Ajar Kutamangu

Irfan Teguh said...

Kalem, eta bukuna geus dibaca kabeh, ngan keur hoream nulisna hahah... jadi diseling heula ku buku nu lain.