Perjumpaan saya dengan karya-karya Jhumpa Lahiri adalah perjumpaan yang memutar. Mula-mula saya menyukai film. Dan salah satu sutradara favorit saya adalah Mira Nair. Film karya Mira Nair yang pertama kali saya tonton adalah sebuah omnibus berjudul New York, I love You (2009) saat diputar di Jakarta International Film Festival (JIFFes). Selanjutnya adalah film Amelia (2009), biopik penerbang Amelia Earhart yang hilang di perairan Pasifik.
Setelah itu saya mulai mencari
film-film Mira Nair yang lain, dan ketemulah The Namesake (2006), film tentang pergulatan identitas yang
diangkat dari novel Jhumpa Lahiri dengan judul sama. Seperti dua film
sebelumnya, The Namesake juga begitu
memukau hingga akhirnya saya mencari novelnya hingga dapat. Nah, mulai saat
itulah saya berkenalan dengan karya Jhumpa Lahiri.
Setelah menamatkan novel The Namesake (2003), saya langsung menjadi penggemar baru Lahiri. Pengarang perempuan
keturunan India ini benar-benar piawai dalam bertutur. Rangkaian kalimatnya
begitu jernih, jauh dari rumit. Dia tak bergenit-genit dengan metafora dan
majas lainnya. Ketekunan dan kesabarannya dalam menggambarkan latar cerita dan
detail-detail lainnya begitu mengagumkan.
Sayang sekali, setelah novel The Namesake, saya kesulitan menemukan
buku-buku Lahiri yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sempat
suatu kali ada bukunya yang berjudul The
Lowland (2015) atau Tanah Cekung beredar
di toko besar, namun karena penerbit
kurang terkenal maka saya menunda untuk membelinya (sekarang akhirnya dibeli
juga buku itu).
Ada pula informasi yang menyebutkan bahwa
Interpreter of Maladies telah
diterjemahkan, tapi ketika saya cek, ternyata terbitnya sudah lama. Setelah sekian
lama tertunda, akhirnya saya bisa mendapatkan buku tersebut.
Interpreter of Maladies telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh tiga penerbit. Pertama, Akubaca dengan
judul Penafsir Kepedihan. Kedua oleh
Jalasutra dengan judul Benua Ketiga dan
Terakhir. Dan ketiga oleh Gramedia Pustaka Utama berjudul Penerjemah Luka. Saya membaca yang terakhir.
Buku ini merupakan kumpulan cerpen,
total berjumlah sembilan. Dan sebagaimana The
Namesake, dalam buku ini juga Lahiri bertutur dengan sangat baik.
Kisah pertama dibuka oleh “Masalah
Sementara”, tentang bagaimana pasangan muda keturunan India yang hidup di AS
saling menutup diri, tak acuh, dan dingin, padahal mereka belum lama menikah. Situasi
ini bermula setelah sang istri melahirkan dan anaknya meninggal sesaat setelah
persalinan. Setelah itu komunikasi beku, keduanya sibuk dengan pekerjaannya
masing-masing, sampai akhirnya tibalah pemadaman listrik karena gangguan. Kegelapan
rumah membuat mereka menyalakan lilin, makan bersama, dan mulai bicara lagi,
lalu situasi pun mulai mencair kembali.
Cerpen favorit saya yang kedua adalah
“Seksi”. Berkisah tentang Laksmi dan Miranda. Mereka rekan kerja. Sekali waktu
Lakmi bercerita bahwa sepupunya yang telah punya anak dikhianati suaminya yang
memilih pacaran dengan seorang pramugari. Sementara setiap hari Laksmi
bercerita hal tersebut, Miranda sebetulnya tengah menjalin hubungan dengan
seorang pria beristri.
“Seksi,” ucap kekasih Miranda suatu
hari. Hati Miranda melambung.
Suatu hari, Laksmi hendak mengantar
sepupunya untuk beberapa urusan. Nah, anak sepupunya itu dititipkan ke Miranda.
Si bocah dan Miranda lumayan akrab. Saat si bocah melihat gaun yang dipegang
Miranda, ia meminta Miranda untuk memakai. Meski awalnya menolak, tapi akhirnya
Miranda mengenakannya juga.
Melihat Miranda dengan gaun tersebut,
si bocah berkata, “Seksi.”
Miranda kaget, sebab ia teringat
dengan ucapan kekasihnya, pria beristri yang kerap bercinta dengannya. Ia pun
bertanya kepada si bocah, apa maksud ucapan tersebut.
“Mencintai seseorang yang tidak kau
kenal,” jawab anak itu.
Si bocah sebetulnya tengah
membicarakan bapaknya yang berselingkuh dengan pramugari. Namun bagi Miranda,
jawaban tersebut begitu menohok dirinya.
Cerpen favorit selanjutnya adalah “Benua
Ketiga dan Terakhir”. Ini merupakan cerpen pengujung di buku Penerjemah Luka. Menceritakan
persahabatan pria imigran India dengan perempuan AS yang telah berusia lebih
dari 100 tahun. Selain itu, juga hubungan kaku antara si imigran istrinya yang
masih berada di India. Maklum, pasangan yang menikah karena dijodohkan.
Saat istrinya akhirnya menyusul dan
tiba di AS, si pria tak menyambutnya dengan antusias, biasa saja. Namun seiring
waktu, keduanya kemudian saling mengerti, saling memahami, hingga hubungan
lebih hangat dan hidup. Dan sebagai perantau, si pria imigran merasa bersyukur
atas pencapaian yang biasa-biasa saja.
“Aku sekarang tahu pencapaianku biasa saja. Aku bukan satu-satunya orang yang mencari keberuntungan jauh dari kampung halamannya, dan yang pasti aku bukan yang pertama. Namun tetap saja ada saat-saat ketika aku terheran-heran mengenang setiap kilometer yang kutempuh, setiap hidangan yang kusantap, setiap orang yang kukenal, setiap kamar tempat aku pernah tidur. Meski semuanya tampak biasa, ada saat-saat ketika itu semua melampaui bayanganku,” ucapnya.
Ya, cerpen ini begitu hangat. Tak
heran jika Jalasutra menjadikannya sebagai judul buku, alih-alih menerjemahkan
dari kalimat “Interpreter of Maladies”.
2 comments:
hoor pih, ari anu 5 judul deui pan acan,.. among rek secara beruntun cenah,
4. Tanjeur na Juritan Jaya di Buana
5. Pamanah Rasa
6. Putri Subang Larang
7. Prabo Anom Jayadewata
8. Tri Tangtu di Bumi
9. Ajar Kutamangu
Kalem, eta bukuna geus dibaca kabeh, ngan keur hoream nulisna hahah... jadi diseling heula ku buku nu lain.
Post a Comment