“Goblog anjing!”
Kalau ada yang berminat mengumpulkan dan menghitungnya, saya
kira dua kata di atas akan keluar sebagai modus atau frekuensi terbanyak dalam
kumpulan data makian, malam itu, di Solontongan yang penuh dengan serapah saat
Persib bertanding melawan PSM dalam lanjutan Piala Presiden 2018. Perlengkapan sudah
oke. Sambil menunggu kawan yang motornya dihunjam entah di daerah Cicaheum,
kami menyaksikan permainan Persib yang semenjana, seperti biasa.
Malam bergerak menuju dingin. Kira-kira pukul sembilan,
rombongan mulai berjalan menuju Jalan Cijagra, seorang kawan tak punya bensin.
Beberapa motor punya beberapa kemungkinan: tak hafal jalan, melamun, atau
remnya kurang baik, sehingga mereka terus melaju menuju komplek Batununggal,
padahal seharusnya putar balik di Jalan Waas. Sepanjang Jalan Sukarno-Hatta begitu saja, tak ada yang
istimewa. Di Cimahi seorang kawan sudah menunggu, menunggangi motor kuning,
beliau dokter. Dan perjalanan dilanjutkan.
Padalarang, Rajamandala, lancar saja. Citatah diteror
mobil-mobil raksasa. Motor bergerak di seselanya, menyelinap di tengah horor
jalanan. Memasuki Cipatat kecepatan mulai meninggi. Tiba di Ciranjang saya
teringat bubur ayam “geksor”, alias begitu gek
duduk langsung ngagolosor semangkuk
bubur. Ya, itu betul-betul ada di Ciranjang. Nikmat betul kiranya kalau
menyantap semangkuk bubur ayam di tengah dingin hembusan angin yang menghajar
sepanjang perjalanan. Namun keinginan itu segera lupa, karena lihatlah kami
terus melaju ke arah Cianjur kota.
Dekat monumen kitri, ada persimpangan jalan baru, itulah dia
lingkar luar Cianjur yang kalau siang berfungsi untuk menghindari kemacetan
kota. Kami menempuh jalan itu. Tak ada penerangan jalan selain lampu kendaraan
dan beberapa kerlip lampu rumah yang masih jarang. Hamparan sawah berkuasa,
padahal sedang gelap. Saya tahu karena pernah melintas jalan itu ketika siang.
Di ujung jalan kami berbelok ke kiri, menuju persimpangan Pasir
Hayam. Dekat sentiong ada jalur kereta api yang kami potong dengan santai
karena ular besi tak sedang melintas. Warungkondang dihajar kecepatan tinggi.
Beberapa saat sebelum keluar Cianjur ada persimpangan menuju Gunung Padang,
kami hanya menunjuknya. Setelah tikungan Gekbrong yang dihiasi batu baterai
raksasa nan legendaris, persis sebelum Sukaraja, kami berhenti di sebuah warung
berjaringan gurita: numpang pipis dan hal-hal lain yang ada dalam sebuah
istirahat.
“Di Sukaraja kita mulai cari penginapan.” Oke. Sampai mulut
Jalan Ahmad Yani di pusat Kota Sukabumi, penginapan belum dapat. Lanjut mencari
ke Degung, Cipelang, Bhayangkara, dan Otista, tapi penginapan belum ada yang
cocok untuk menampung belasan orang kecapean dan kedinginan. Hujan turun
mengundang gigil. Menjelang pukul tiga pagi kami memutuskan untuk bermalam di
musala sebuah SPBU di Jalan R.H. Didi Sukardi, tak jauh dari SMAN 1 Sukabumi,
sekolah aduhai tiada banding.
Kadang-kadang azan adalah alarm terbaik. Dan begitulah, kami
terbangun karena beberapa orang harus salat Subuh. Ngantuk masih berkuasa, tapi
apa boleh bikin, perjalanan masih panjang. Hujan kembali membasuh bumi. Sebelum
meninggalkan Kota Sukabumi, rehat dulu di warung gorengan untuk sekadar
sarapan. Langit gelap, di kejauhan kabut menyelimuti perbukitan entah. Saya
menghabiskan satu mie rebus, lima gorengan, segelas kopi jagung, dan
berbatang-batang rokok.
Dari Jalan Pelabuan II sampai Cikembar, kondisi jalan mengecewakan,
bopeng di hampir sekujurnya. Kemacetan memperlambat arus lalu lintas di sebuah
ruas jalan depan pabrik, sebelum simpang Batalton Infanteri 310 Kidang Kancana.
Warungkiara dan setelahnya cukup lancar. Kami lalu berbelok ke kiri, melintas
jembatan Bagbagan dan rehat sebelum Simpenan. Dua orang kawan yang menunggangi
satu motor masih di belakang, mereka berangkat pagi hari dari Bandung.
Sementara dua orang lagi yang salah satunya tuna helm telah bergabung sejak
malam.
Sebelum belok Bagbagan ada yang mencoba membawa kabur mahasiswi
UPI ke arah Cisolok dengan seolah-olah lupa. Untung ada sweeper pilih tanding
yang berhasil mengejar. Percobaan penculikan gagal.
Pantai Loji tak jauh lagi, dan tujuan kami ke situ, tapi
kiranya harus jalan-jalan dulu ke perkebunan teh yang mantap, rupanya kami salah
jalan dan harus putar balik. Tumpahan tanah merah cukup bikin khawatir, sebab
saya pernah terjatuh di ruas jalan Pangalengan bersama vokalis The Clown
akibat tumpahan tanah merah. Akhirnya sampai juga di pantai Loji, kami berhenti
dekat kelenteng yang mempunyai ratusan anak tangga, membayangkannya saja saya
sudah letih. Sebagian kawan menapaki jenjang itu, saya memilih duduk di warung
sambil memandang hamparan air laut yang coklat seperti bajigur.
“Nyasar ka Cikidang.” Begitulah informasi dari seorang kawan
yang berangkat pagi-pagi dari Bandung. Saya tertegun. Membayangkan alangkah
indahnya menyusuri perkebunan kelapa sawit. Berdua saja tak ada yang lain.
Tawar-menawar ikan sebentar, memasaknya lama, sampai kami
tertidur. Terbangun lagi ikan sudah matang. Tanpa cuci muka dan cuci yang
lain-lain saya langsung santap siang. Sambal cobek dan sambal kecap memeriahkan
suhu pantai yang panas. Rasa pedas menempel di bibir, keringat membasahi muka
membuat saya seolah-olah habis wudu tanpa handuk.
“Yuk yuk yuuuk…” adalah bunyi merdu sebagai tanda untuk
segera melanjutkan perjalanan. Jalan baru terhampar di depan, menghubungkan
Loji dengan Ciletuh. Pemandangannya seperti di lukisan-lukisan Jelekong atau
gambar kalender bank swasta. Berkelak-kelok, turun-naik, aduhai sekali, tahu-tahu
bensin habis. Di sebuah tanjakan amat curam, motor seorang kawan mogok naik.
Terpaksa yang diboncengnya pindah motor untuk kemudian pindah lagi ke tempat
semula yang dalam bahasa Sunda bermakna dipulung
deui.
Hujan amat labil, pasang surut seperti laut. Beberapa kawan
mengeluhkan aktivitas buka pasang jas hujan. Setelah tangki bensin kembali
penuh, kami semakin dekat ke Ciletuh. Di Puncak Darma tukang parkir seperti
penjual papan dada di pagi hari UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri—saya
pernah gagal). Ramai belaka, seolah-olah lahan parkir itu milik mereka, dan
pemandangan yang menghampar di bawahnya adalah warisan nenek moyang yang tak
terbantahkan, bikin malas betul.
Lalu turunan curam dan berhenti di sebuah jembatan yang di
bawahnya mengalir deras jutaan kubik Ovaltine, sebagian menganggapnya Milo. Di
kejauhan nampak curug Cimarinjung. Motor-motor besar melintas. Motor-motor
kecil melintas. Manusia berbeda sejak dari motor. Satu dua gambar dijerat,
kemudian menuju Panenjoan yang berangin kencang, bergemuruh, bikin susah
menyulut rokok. Teluk Ciletuh dan perkampungan di sana, jauh di bawah kami yang
memandangnya dari sebidang tanah dekat tukang kopi. Ada penggembala domba,
dombanya masih pakai kalung yang berbunyi “klotok..klotok..”
Hari semakin sore, langit muram seperti wajah karyawan
menunggu gajian. “Kita menuju simpang Waluran.” Itu saya yang ngomong ke
rombongan. Oke. Motor melaju kencang. Pada sebuah pertigaan kami belok ke kanan,
ternyata itu menuju ke Ciracap bukan Waluran. Gehu pedas dan ayam goreng tepung
membantu menambal energi sambil bertanya arah menuju Ujunggenteng. “23 kilo
lagi,” kata penjual gehu. Saya memberi isyarat ke kawan-kawan dengan
mengacungkan dua jari lalu tiga jari. Mereka menyangkanya Ujunggenteng tinggal
2 sampai 3 kilometer lagi. Dan itu salah belaka.
Di pertigaan Garasi rombongan belok kanan, melewati simpang
Minajaya, jembatan Cikarang, simpang Jaringao, perkebunan Asaba Land, dan
markas Satuan Radar 216 TNI AU di Cibalimbing. Aroma gula kelapa menguar di
tengah hujan deras. Petugas berseragam gading menghentikan laju, meminta biaya
masuk pantai Ujunggenteng, 8.000 rupiah per motor. Ketika kami menyiapkan uang,
sebuah mobil berplat B coba dihentikan petugas, namun hanya membunyikan klakson
dan pergi tanpa meninggalkan uang sepeser pun.
Deru ombak mulai terdengar, bersahutan dengan gemuruh angin.
Ujunggenteng mirip kota mati. Jalanan berlubang, berkubang. Seorang lelaki
menawarkan penginapan dari pinggir jalan. Kami terus berjalan ke arah Cibuaya. Sebelum
belokan ke Pangumbahan, sebuah motor mendekat: seorang bapak dan anak.
“Cari penginapan ya?” ujarnya. Informasi Cibuaya menghambur,
tentang maling motor, begal, perkelahian, dan kematian. Sebelumnya seorang
kawan merekomendasikan sebuah penginapan, namun kemudian kami abaikan karena mengantisipasi
kengerian. Setelah tawar-menawar harga, kami dibawa ke sebuah rumah bilik tanpa
penerangan.
“Sebentar ya, saya urus dulu listriknya,” kata lelaki itu. Siang
mulai dijemput malam, hujan turun, angin semakin kencang, listrik mati. Dari teras
bilik saya melihat alam tengah mengamuk.
“Keueung kieu nyak,” ujar seorang kawan. Mukanya gelap
seperti malam. Beberapa orang bergantian mandi, sebagian lagi berkumpul di
teras. Kopi dan gorengan datang, lebur dalam tawa kekuda-kudaan.
Duapuluh satu tahun yang lalu Ujunggenteng tak semenyeramkan
ini. Medio 1997, saya bertiga dengan kawan main ke Ujunggenteng pakai sepeda. Waktu
itu masih sekolah di Madrasah Tsanawiyah. Dari Jampangkulon berangkat sekitar
pukul 05.17 wib. Akbar di depan, saya di tengah, Abu tercecer di belakang:
dalam remang pagi ia seperti siluman trenggiling yang kedinginan.
“Tong gancang teuing euy, tiris,” teriaknya. Tiba di
Ujunggenteng kami sarapan bala-bala di sebuah warung, yang sekarang warungnya
mungkin sudah tidak ada. Pukul 12.17 wib kami kembali ke Jampangkulon, kali ini
giliran saya yang tertinggal. Saya tak kuat mengayuh menaklukkan tanjakan. Tapi
itu dulu, sekarang yang lemah di tanjakan beda lagi, ada dua orang. Tak
perlulah saya sebutkan namanya di sini. Tapi kalau penasaran silakan tanya saja
ke Pak Alexxx dan Gistha.
Lupakan dulu masa lalu, karena lihatlah, sekarang malam sudah
mulai larut, diintai para penjaga motor yang katanya akan membantu keamanan,
atau barangkali sebaliknya. Saya pindah ke dalam, rebahan berbantal tas milik
Kang Novan yang basah. Ya, bagaimana tidak, tas dimasukkan ke dalam kantong
sampah, tapi tidak diikat, jadilah ia semacam penampungan air hujan yang
paripurna.
Tengah malam ada sedikit keributan, listrik korslet,
beberapa charger hp dan kamera lumpuh. Esoknya berebut antrian kamar mandi. Dingin
memang, tapi badan sudah pada bau ajag, jadi apa boleh bikin. Habis mandi saya
pergi ke warung mencari rokok dan bensin. Dapat setengah Garfit yang sudah
lama, batangnya dilumuri noda menguning yang kalau badan tidak sedang dalam
kondisi prima akan menyebabkan batuk kering tak sudah-sudah.
Motor mulai dipanaskan, hujan mulai turun lagi. Terberkatilah
mereka yang punya boncengan. Bagi yang sendirian, nasib adalah kesunyian
masing-masing. Rombongan melaju ke arah Surade, mengisi tangki bensin di
Pasiripis, dan berbelok ke kanan di Cibarehong. Lalu melewati jembatan Cikaso
dan menghajar jalanan Tegalbuleud yang mulus sebelah. Sesekali aroma gula
kelapa datang lagi. Kiri kanan jalan dihiasi kebun karet dan padi huma yang
sudah menguning.
Sebelum masuk Agrabinta terdengar suara radio. Di tengah
hujan, Waas FM mengudara: menerima telpon, membacakan WA, dan memutar lagu. Radionya
di Batununggal, penelponnya di Tegalbuleud dan Jampangkulon, lalu kirim-kirim
untuk alumni SMA 1 Rantauprapat. Bebas. Yang penting tidak mengantuk di jalan.
Agrabinta si jalan tiada ujung. Perkebunan karet dan sengon
berkejaran di sisi jalan. Saya dan beberapa kawan sempat tekor. Jalanan mulus meliuk-liuk.
Ini kali kedua melintasi perkebunan Agrabinta: yang pertama dalam siang terik
menyengat ubun-ubun, kali ini dalam gigil tak berkesudahan. Di warung yang sama
sepeti tahun lalu kami berhenti. Makan siang istimewa dengan rebung dan
jengkol. Aip membayar utang, Akay merindukan pemilik kamera moriless, dan Enji mengingat-ngingat
sebuah nama tempat di grup WA.
Habis Agrabinta masuk Sindangbarang, berbelok ke kiri ke arah
Tanggeung dan Sukanagara. Sesekali melewati tebing yang dirimbuni pepohonan
tua. Bibi Lung sempat berhenti di tenda penjual durian. Saya sudah menaruh harapan,
tapi harus mengemasinya lagi. Rombongan berhenti di jembatan Cisawer yang di
bawahnya terdapat batu-batu bolong bentukan alam.
Memasuki Tanggeung saya teringat Rosidi, anggota SARBUPRI
(Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) tahanan politik Orba yang ikut
mengerjakan pembuatan ruas jalan Tanggeung-Pagelaran. Beliau kini sudah
meninggal, meninggalkan banyak istri, anak, cucu, dan cicit yang akur. Persaudaraan
yang selalu diusahakan oleh Rosidi semasa hidupnya. Membaca kisah Rosidi alias “Arjuna
dari Cikawung” membikin hati rawan sekaligus hangat.
Kemudian masuk Koleberes dan Pasirkuda. Beberapa kawan
kembali membeli bensin. Kabut sudah nampak di kejauhan. Memasuki Pagelaran
dingin semakin menusuk. Saya melihat tiga curug, dua besar dan satu kecil. Curug
Citambur semakin jelas, membelah tebing hijau tua yang terlihat seperti
monster. Rombongan berhenti berjajar di pinggir jalan dekat warung bertuliskan
iklan XL, hendak mengambil gambar. Tiba-tiba tumila bergerak gesit ke depan,
menjerat gambar, dan tak menyadari bahwa posisinya merusak frame kamera rombongan, seolah-olah ia berminat untuk dilempari
botol Kratingdaeng berisi bom Molotov.
Dari Pegelaran bergerak terus ke arah Sinumbra. Di ujung
jalan beton dihadang tanjakan curam berlumpur, beruntung sudah dilumuri sekam. Kami
berhenti sebentar dekat musala untuk sekadar menghabiskan batang terakhir
sebelum dihajar hawa dingin perkebunan teh. Suhu turun. Kabut menebal. Sebenar
tebal. Jarak pandang kurang dari lima meter. Kami mengatur posisi terkait dengan
penerangan jalan. Sorot lampu terlihat jelas menembak kabut yang berkuasa.
Kabut. Angin. Dingin. Gelap. Tangan kebas. Tanpa rokok. Saya
khawatir ada kawan yang tumbang.
Kabut.
Kabut.
Kabut.
Dalam remang bedeng Sinumbra mulai terlihat. Saya merindukan
cuanki, tapi rombongan tidak berhenti. Di simpang Sinumbra-Rancabali rombongan
terbagi dua, saya masuk kelompok pertama di depan. Di dekat pemadian air panas
kelompok pertama berhenti hendak menunggu kelompok kedua. Namun yang ditunggu
tak kunjung datang. Saya beli Super setengah, Rp 12.000. Kalau di Jalan Kliningan
tinggal tambah lagi Rp 2.000 sudah dapat Siganture sebungkus. Tapi biarlah,
demi kehangatan. Tiba-tiba Rizka menerima telpon, ada kabar kalau Agus
kedinginan dan rombongan berhenti di warung.
“Siapa yang nelpon, Riz?”
“Delvi”
Saya tertegun sebentar. Delvi kan di Pontianak. Tapi buru-buru
sadar kalau di grup WA ternyata tersiar kabar cukup genting. Nurul kemudian
menelpon Tegar, dan dinyatakan kondisi aman terkendali. Kami berjalan lagi
menuju Ciwidey. Kabut mulai tak terlihat.
Di pemberhentian terakhir dekat SPBU, Ervan pusing dan tak
bisa ditanya. Roman mukanya seperti tak dikasih uang jajan selama dua minggu. Rambut
acak-acakan. Sampai kelompok kedua datang dan tertawa kekuda-kudaan, Ervan
masih diam membisu.
“Mau langsung diantar pulang ke rumah, Van?” tanya Mang
Hevi.
“Enggak Mang, ke kedai aja,” jawabnya.
Oke. Berangkat lagi.
Soreang menjelang. Ketika melewati Gedung Sabilulungan, Aip menunjuk
gedung tersebut lalu mengangkat jempol. Artinya kira-kira, “Dadang Naser
mantap!”
Di dekat SMAN 1 Margahayu berhenti lagi, menghubungi Upi
untuk memastikan kunci kedai. Upi sedang di Cikutra dan akan segera meluncur ke
kedai. Syuram, Minggu malam di Cikutra. Apakah beliau sedang nongkrong di
permakaman? Entahlah.
Kopo lancar lalu masuk Sukarno-Hatta. Di sini Nurul dan Ana
belok ke kiri, pulang ke Cimahi. Ya, Ana pulang bareng dengan Nurul, bukan
Gistha, bukan Akay, bukan Agus, bukan Tegar, bukan pula Hamdan yang sedang
rajin-rajinnya berburu kucing.
Setiap kali pulang ngaleut alam ke daerah selatan, dan
pulangnya sudah sampai di Sukarno-Hatta, semua yang bawa motor seperti yang
sakit perut hendak lodom. Semuanya tancap gas, tak terkecuali saya. Leuwipanjang,
Moch. Toha, Cijagra, masuklah ke Jalan Buahbatu. Kliningan, Karawitan, dan Solontongan.
Ketika kawan-kawan pulang satu-persatu dan membuat kedai
semakin sepi, saya melihat bayang wajah muram. Ada kesedihan. Ada kesunyian. Seperti
kaum Nuh yang tak diajak naik ke kapal, hanya meninggalkan dia dan sepi.
Siang ini Bibi Lung datang membawa batagor. Chacha turut
serta, berkisah kesan-kesannya selama dibonceng Gistha. Tak usahlah saya
ceritakan ulang di sini, nanti saja di grup WA. Sebelum mandi saya teringat
lagi makian di Jum’at malam yang penuh serapah itu, ketika Persib akhirnya
ditekuk PSM dan tak lolos ke babak berikutnya:
“Goblog anjing!” [irf]
No comments:
Post a Comment