“Buku
ini saya persembahkan kepada istri saya Nani Widjaja yang berkorban
habis-habisan menunjang kegila-gilaan saya,” tulis Misbach Yusa Biran di lembar
persembahan buku Teknik Menulis Skenario
Film Cerita.
Salah satu “kegilaan” Misbach adalah menolak menerima pekerjaan menulis skenario dan menyutradarai film demi membangun Sinematek Indonesia (lembaga arsip film pertama di Asia Timur).
“Akibatnya untuk kehidupan rumah tangganya, Misbach mempercayakan seluruhnya kepada istrinya, Nani Wijaya yang pemain film. Misbach sendiri mengatakan bahwa dia hidup menumpang (in de kost) kepada istrinya yang ketika tidak bisa main film, terpaksa berjualan sirop,” ujar Ajip Rosidi dalam Misbach dan Sinematek.
Misbach lahir di Rangkasbitung, Banten, Pada 11 September 1933. Ayahnya bernama Ayun Sabiran, orang Minangkabau yang aktif dalam pergerakan kemerdekaan sehingga ditangkap pemerintah Hindia Belanda dan dibuang ke Digul Hulu. Di pembuangan, ayahnya bertemu Yumenah (ibu Misbach) yang ikut dengan Salihun, ayah Yumenah—orang pergerakan dari Banten.
Salihun membawa istri dan enam orang anaknya ke Digul Hulu. Ayun Sabiran dan anak-anak Salihun menyukai kesenian, salah satunya main biola. Yumenah dan beberapa saudaranya sering meminjam biola Ayun Sabiran. Selain kedekatan karena punya hobi yang sama, juga karena paham keagamaan Ayun Sabiran yang dekat dengan Muhammadiyah dianggap cocok oleh Salihun, maka Yumenah dinikahkan dengan orang buangan dari Minangkabau tersebut.
“Mereka dibebaskan dan kembali ke Rangkasbitung ketika Misbach baru tiga bulan dalam kandungannya. Maka sebenarnya meskipun Misbach dilahirkan di Rangkasbitung, ia sebenarnya ‘made in’ Digul Hulu,” tulis Ajip Rosidi dalam H. Misbach Yusa Biran (1933-2012).
Ajip menambahkan, konon waktu kecil ia dipanggil Yusuf oleh kawan-kawannya di Rangkasbitung. Maka ‘Yusa Biran’ itu adalah gabungan dari ‘Yusuf Sabiran’. Sabiran tentu saja nama ayahnya. Ketika beranjak dewasa dan mulai mengumumkan tulisan-tulisannya dalam majalah, Misbach menggunakan nama M. Bach.—yang dalam perkiraan Ajip supaya dekat dengan nama komponis terkenal Sebastian Bach.
Misbach sekolah di Taman Madya pimpinan Said Reksohadiprodjo. Alumni sekolah ini banyak yang menjadi pengarang, pelukis, dan seniman lainnya. Ia sendiri memilih film sebagai bidang yang digelutinya dengan penuh cinta. Misbach menulis skenario, menjadi sutradara, dan bertungkus lumus mengarsipkan jejak serak film Indonesia.
Sinematek Indonesia berdiri pada 1975. Lembaga pengarsipan film itu digagas oleh Misbach dan dilaksanakan ketika Asrul Sani menjadi Rektor LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta)—sekarang IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Karena tidak ada anggaran, Misbach menyatakan bersedia memimpin lembaga tersebut untuk sementara, tanpa gaji ataupun honorarium.
Misbach sadar ia hanya pengarang cerita, drama, penulis skenario, sutradara film dan lain-lain, bukan seorang ahli di bidang dokumentasi. Jika suatu saat ada orang yang ahli di bidang ini, ia akan menyerahkan kedudukannya kepada orang tersebut. Karena keterbatasan ini pula, bidang pengarsipan yang digarapnya pun dibatasi hanya pada film (Sinematek). Pengarsipan seni pertunjukan yang lain ditangguhkan.
Sebagai salah satu kawan dekatnya, Ajip menyebut Misbach orang yang keras kepala. Karena menganggap Sinematek penting, Misbach dengan sungguh-sungguh menanggung segala risikonya bekerja dan membangun Sinematek Indonesia.
“Untuk itu (Sinematek) dia terpaksa menolak pesanan pembuatan skenario, bahkan menolak tawaran untuk menjadi sutradara. Padahal dari menulis skenario dan menyutradarai filmlah Misbach selama itu hidup,” sambung Ajip.
Misbach dan koleganya di Sinematek bukannya tanpa harap dan ikhtiar. Mereka sadar lembaga tersebut kekurangan dana dan nyaris hanya dikerjakan dengan con amore. Ketika Harmoko—sahabat karibnya sesama “seniman Senen”—memimpin Departemen Penerangan, ia sempat berharap bahwa Sinematek akan mendapat status yang jelas di lingkungan departemen tersebut dan mendapat anggaran tetap. Namun, nyatanya, tidak.
Di Sinematek, Misbach menyusun dokumentasi film Indonesia sejak awal, termasuk menemukan dan menyimpan film-film lama sejak awal sejarah perfilman Indonesia tahun 1920-an. Kerja ini, di tengah kesadaran masyarakat yang umumnya tidak menganggap penting dokumentasi, tentu saja menempuh jalan terjal. Bahkan Tio Tek Djien—salah seorang tokoh perfilman sebelum perang, menasihati Misbach agar tidak meneruskan kerja dokumentasi tersebut yang menurut pendapatnya tidak akan dihargai orang.
Meski mengakui kebenaran nasihat Tio Tek Djien, Misbach terus bekerja untuk membangun Sinematek sehingga lembaga tersebut dikenal dan diakui keberadaannya oleh kalangan sinematek internasional.
Selama hayat dikandung badan, Misbach melahirkan beberapa karya dan berhasil meraih penghargaan. Naskah dramanya yang terkenal berjudul Bung Besar (1957). Sementara kumpulan cerpennya mengenai dunia film dibukukan dengan judul …Oh, Film. Buku ini mengalami cetak ulang yang tak sedikit.
Pada 1967, ia terpilih sebagai sutradara terbaik untuk filmnya Di Balik Tjahaja Gemerlapan dan penulis terbaik untuk Menyusuri DJedjak Berdarah. Warsa 1973-1995, ia mengajar di LPKJ/IKJ untuk mata kuliah penulisan skenario. Sejak 1974, ia mengajar Sejarah Film dan Penulisan Skenario Film di berbagai kursus dan lokakarya.
Salah satu “kegilaan” Misbach adalah menolak menerima pekerjaan menulis skenario dan menyutradarai film demi membangun Sinematek Indonesia (lembaga arsip film pertama di Asia Timur).
“Akibatnya untuk kehidupan rumah tangganya, Misbach mempercayakan seluruhnya kepada istrinya, Nani Wijaya yang pemain film. Misbach sendiri mengatakan bahwa dia hidup menumpang (in de kost) kepada istrinya yang ketika tidak bisa main film, terpaksa berjualan sirop,” ujar Ajip Rosidi dalam Misbach dan Sinematek.
Misbach lahir di Rangkasbitung, Banten, Pada 11 September 1933. Ayahnya bernama Ayun Sabiran, orang Minangkabau yang aktif dalam pergerakan kemerdekaan sehingga ditangkap pemerintah Hindia Belanda dan dibuang ke Digul Hulu. Di pembuangan, ayahnya bertemu Yumenah (ibu Misbach) yang ikut dengan Salihun, ayah Yumenah—orang pergerakan dari Banten.
Salihun membawa istri dan enam orang anaknya ke Digul Hulu. Ayun Sabiran dan anak-anak Salihun menyukai kesenian, salah satunya main biola. Yumenah dan beberapa saudaranya sering meminjam biola Ayun Sabiran. Selain kedekatan karena punya hobi yang sama, juga karena paham keagamaan Ayun Sabiran yang dekat dengan Muhammadiyah dianggap cocok oleh Salihun, maka Yumenah dinikahkan dengan orang buangan dari Minangkabau tersebut.
“Mereka dibebaskan dan kembali ke Rangkasbitung ketika Misbach baru tiga bulan dalam kandungannya. Maka sebenarnya meskipun Misbach dilahirkan di Rangkasbitung, ia sebenarnya ‘made in’ Digul Hulu,” tulis Ajip Rosidi dalam H. Misbach Yusa Biran (1933-2012).
Ajip menambahkan, konon waktu kecil ia dipanggil Yusuf oleh kawan-kawannya di Rangkasbitung. Maka ‘Yusa Biran’ itu adalah gabungan dari ‘Yusuf Sabiran’. Sabiran tentu saja nama ayahnya. Ketika beranjak dewasa dan mulai mengumumkan tulisan-tulisannya dalam majalah, Misbach menggunakan nama M. Bach.—yang dalam perkiraan Ajip supaya dekat dengan nama komponis terkenal Sebastian Bach.
Misbach sekolah di Taman Madya pimpinan Said Reksohadiprodjo. Alumni sekolah ini banyak yang menjadi pengarang, pelukis, dan seniman lainnya. Ia sendiri memilih film sebagai bidang yang digelutinya dengan penuh cinta. Misbach menulis skenario, menjadi sutradara, dan bertungkus lumus mengarsipkan jejak serak film Indonesia.
Sinematek Indonesia berdiri pada 1975. Lembaga pengarsipan film itu digagas oleh Misbach dan dilaksanakan ketika Asrul Sani menjadi Rektor LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta)—sekarang IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Karena tidak ada anggaran, Misbach menyatakan bersedia memimpin lembaga tersebut untuk sementara, tanpa gaji ataupun honorarium.
Misbach sadar ia hanya pengarang cerita, drama, penulis skenario, sutradara film dan lain-lain, bukan seorang ahli di bidang dokumentasi. Jika suatu saat ada orang yang ahli di bidang ini, ia akan menyerahkan kedudukannya kepada orang tersebut. Karena keterbatasan ini pula, bidang pengarsipan yang digarapnya pun dibatasi hanya pada film (Sinematek). Pengarsipan seni pertunjukan yang lain ditangguhkan.
Sebagai salah satu kawan dekatnya, Ajip menyebut Misbach orang yang keras kepala. Karena menganggap Sinematek penting, Misbach dengan sungguh-sungguh menanggung segala risikonya bekerja dan membangun Sinematek Indonesia.
“Untuk itu (Sinematek) dia terpaksa menolak pesanan pembuatan skenario, bahkan menolak tawaran untuk menjadi sutradara. Padahal dari menulis skenario dan menyutradarai filmlah Misbach selama itu hidup,” sambung Ajip.
Misbach dan koleganya di Sinematek bukannya tanpa harap dan ikhtiar. Mereka sadar lembaga tersebut kekurangan dana dan nyaris hanya dikerjakan dengan con amore. Ketika Harmoko—sahabat karibnya sesama “seniman Senen”—memimpin Departemen Penerangan, ia sempat berharap bahwa Sinematek akan mendapat status yang jelas di lingkungan departemen tersebut dan mendapat anggaran tetap. Namun, nyatanya, tidak.
Di Sinematek, Misbach menyusun dokumentasi film Indonesia sejak awal, termasuk menemukan dan menyimpan film-film lama sejak awal sejarah perfilman Indonesia tahun 1920-an. Kerja ini, di tengah kesadaran masyarakat yang umumnya tidak menganggap penting dokumentasi, tentu saja menempuh jalan terjal. Bahkan Tio Tek Djien—salah seorang tokoh perfilman sebelum perang, menasihati Misbach agar tidak meneruskan kerja dokumentasi tersebut yang menurut pendapatnya tidak akan dihargai orang.
Meski mengakui kebenaran nasihat Tio Tek Djien, Misbach terus bekerja untuk membangun Sinematek sehingga lembaga tersebut dikenal dan diakui keberadaannya oleh kalangan sinematek internasional.
Selama hayat dikandung badan, Misbach melahirkan beberapa karya dan berhasil meraih penghargaan. Naskah dramanya yang terkenal berjudul Bung Besar (1957). Sementara kumpulan cerpennya mengenai dunia film dibukukan dengan judul …Oh, Film. Buku ini mengalami cetak ulang yang tak sedikit.
Pada 1967, ia terpilih sebagai sutradara terbaik untuk filmnya Di Balik Tjahaja Gemerlapan dan penulis terbaik untuk Menyusuri DJedjak Berdarah. Warsa 1973-1995, ia mengajar di LPKJ/IKJ untuk mata kuliah penulisan skenario. Sejak 1974, ia mengajar Sejarah Film dan Penulisan Skenario Film di berbagai kursus dan lokakarya.
Mendokumentasikan Seniman Senen
Selain mendokumentasikan tetek bengek tentang film Indonesia
di Sinematek, Misbach juga pernah mencoba merekam kehidupan sehari-hari para
seniman yang dalam beberapa periode kesohor dengan sebutan seniman Senen. Dalam
catatan Misbach yang bertajuk Keajaiban di Pasar Senen, kelompok seniman yang
dikenal kere ini ternyata dipenuhi oleh para pengangguran yang pura-pura
menjadi seniman.
“Mereka adalah orang yang mengaku diri seniman untuk menutupi ke-gelandangan-nya, penganggur-penganggur malas yang di atas kedekilannya memasang etiket mentereng: seniman,” tulis S.M. Ardan dalam pengantar di buku tersebut.
Namun, justru dari para seniman sejenis itulah kemudian lahir keajaiban dalam arti keanehan, menakjubkan, dan sekaligus menggelikan yang diangkat oleh Misbach.
“Mereka adalah orang yang mengaku diri seniman untuk menutupi ke-gelandangan-nya, penganggur-penganggur malas yang di atas kedekilannya memasang etiket mentereng: seniman,” tulis S.M. Ardan dalam pengantar di buku tersebut.
Namun, justru dari para seniman sejenis itulah kemudian lahir keajaiban dalam arti keanehan, menakjubkan, dan sekaligus menggelikan yang diangkat oleh Misbach.
Sekali waktu
Misbach mendapati Asmar—seniman entah, sebab belum menghasilkan karya seni
apa-apa. Namun, Misbach menyebutnya sebagai “satu-satunya seniman di
wilayah Pasar Senen yang paling seniman tulen: 100%, 24 karat”, tengah
termenung sambil memerhatikan lalu lalang orang.
Asmar hidup melarat, tak peduli baju dan kebersihan. Ia juga tak mau bekerja apa-apa, kecuali berpikir untuk seni. Tidak mau cari uang, karena katanya ia benci uang. Sekali waktu, bung melarat ini rupanya tengah berpikir tentang firasat dan keajaiban.
“Firasat…?” Tanya Misbach
“Ya, firasat yang ajaib! Firasat begini sudah seringkali datang padaku, dan selalu hasilnya cocok,” jawab Asmar.
Asmar hidup melarat, tak peduli baju dan kebersihan. Ia juga tak mau bekerja apa-apa, kecuali berpikir untuk seni. Tidak mau cari uang, karena katanya ia benci uang. Sekali waktu, bung melarat ini rupanya tengah berpikir tentang firasat dan keajaiban.
“Firasat…?” Tanya Misbach
“Ya, firasat yang ajaib! Firasat begini sudah seringkali datang padaku, dan selalu hasilnya cocok,” jawab Asmar.
“Firasat yang ajaib itu menunjukkan bahwa aku akan dapat uang lebih dari seratus perak malam ini. Entah dari siapa…” sambungnya.
Mereka kemudian terlibat pembicaraan terkait apa yang Asmar sebut sebagai keajaiban dan firasat. Penjelasan Asmar berputar-putar, sementara tangannya gemetar waktu memasukkan rokok ke mulutnya. Sebuah kondisi yang amat jelas bahwa dia mulai kelaparan. Kebetulan waktu itu ada uang lima rupiah di kantong Misbach yang segera ia berikan kepadanya.
Sambil mengembangkan senyum, senyum yang penuh kegaiban tulis Misbach, Asmar menerima uang itu dan berkata, “Nah, kau percaya tidak? keajaiban toh datang, meskipun baru sebagian. Percaya tidak?”
Selain kisah di atas, masih ada beberapa fragmen lain yang merangkum keanehan para seniman Senen dan menggambarkan situasi kehidupan seniman dan kesenian di Jakarta pada era 50-an, seperti misalnya kehidupan sandiwara yang kembang-kempis.
Apalagi situasi susah itu ditambah ruwet dengan kehadiran para petualang yang mencari untung dari kesenian dengan dalih untuk bantuan bencana alam atau usaha-usaha sosial lainnya. Meski demikian, dari sekian banyak seniman gadungan dan kehidupannya yang jungkir balik, Senen tetap bisa melahirkan beberapa seniman betulan.
“Di balik kekacaubalauan itu lahirlah seniman-seniman (tulen) yang kemudian ‘jadi orang’: Sukarno M. Noor, Wahyu Sihombing, Drs. Sumandjaja, Menzano, Sukanto S.A, dan lain-lain. Ya—di Senen itulah seniman-seniman (yang tulen dan yang pura-pura) mengadakan rendesvouz setiap waktu. Di samping omongan acak-acakan, tidak jarang terjadi pembicaraan berarti, yaitu bila sehabis menonton pertunjukan sandiwara atau film,” tulis S.M. Ardan.
Dalam memoarnya yang berjudul Kenang-kenangan Orang Bandel, Misbach Yusa Biran menyebut dirinya sebagai orang idealis yang ngotot bekerja untuk mewujudkan suatu ide, meski hal tersebut tidak mendapat perhatian dari masyarakat sehingga hidupnya sendiri kapiran.
Pada 11 April 2012, “orang bandel” yang telah mengurus Sinematek lebih dari 30 tahun itu tutup usia di Tangerang, Banten. Usianya pungkas, namun kerja-kerja dokumentasinya masih belum selesai: menagih para penerusnya untuk melanjutkan amal panjang itu. (tirto.id - irf/msh)
No comments:
Post a Comment