16 December 2017

Deklarasi Djuanda dan Ikhtiar Menyatukan Laut Indonesia


Di atas jalan beraspal, di rimbun hutan kota, di bendungan, di udara, nama Djuanda Kartawidjaja melekat. Ya, tokoh nasional kelahiran Tasikmalaya, 14 Januari 1911, ini menghiasi nama ruas jalan, taman hutan, waduk, hingga bandara. Seperti dalam sepenggal perjalanan hidupnya yang terus-menerus mengisi ruang di lingkaran para pengambil kebijakan (sempat menjadi Menteri Perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Pertahanan, Perdana Menteri).

Namun di atas semuanya, resonansi nama Djuanda yang paling menggetarkan adalah terkait dengan politik kewilayahan yang membuat posisi Indonesia sebagai negara kepulauan semakin kuat, yaitu Deklarasi Djuanda.

Jika diurutkan berdasarkan linikala, Deklarasi Djuanda yang berisi tentang satu kesatuan wilayah melengkapi kepingan ke-Indonesia-an yang sebelumnya didahului Sumpah Pemuda 1928 sebagai perlambang kesatuan bangsa, dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai wujud kesatuan negara. 

Deklarasi ini dicetuskan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda Kartawidjaja pada 13 Desember 1957. Deklarasi Djuanda merupakan pernyataan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia, menyatu menjadi satu kesatuan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perjalanan Panjang menuju Kedaulatan Laut
Pada mulanya, Deklarasi Djuanda mendapat tantangan keras dari hampir seluruh dunia karena dianggap bertentangan dengan Hukum Internasional. Saat itu, kekuasaan laut suatu wilayah hanya diakui selebar tiga mil yang diukur dari masing-masing pulau. Hukum Laut Internasional belum secara jelas mengakui laut dalam dan gugus kepulauan yang ribuan jumlahnya sebagai kesatuan wilayah.

Sebelum Deklarasi Djuanda, wilayah Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnatie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan warisan kolonial ini, pulau-pulau di Indonesia dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Hal ini berarti kapal asing bebas berlayar di atas perairan laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Dengan kata lain, kedaulatan setiap pulau di Indonesia dalam kondisi rentan. 

Prof. DR. Awaloedin Djamin, MPA, penyunting dan salah satu penulis buku Ir. H. Djuanda: Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama (2001), menjelaskan bahwa dengan adanya undang-undang kolonial tersebut, Indonesia secara politik dan ekonomi sangat dirugikan. Tanah dan air Republik Indonesia belum terwujud dalam satu kesatuan yang utuh.

Langkah pertama memperjuangkan cita-cita kesatuan wilayah adalah dengan membawanya ke Konvensi PBB ke-1 tentang Hukum Laut di Jenewa pada Februari 1958. Dan seperti sudah diduga sebelumnya, karena oposisi yang terlalu keras, akhirnya Indonesia menarik kembali usulnya sebelum ditolak secara resmi oleh dunia internasional.

“Memang lebih bijaksana untuk mematangkannya terlebih dulu sebelum mengajukannya dalam suasana konferensi internasional, yang bila suasananya belum matang malahan dapat menolaknya, yang berarti dapat mematikan konsep itu sendiri,” tambah Awaloedin.

Menjelang Konvensi PBB ke-2 tentang Hukum Laut di Jenewa pada April 1960, pemerintah Indonesia kemudian meresmikan isi Deklarasi Djuanda melalui Undang-Undang/Prp No. 4/1960 pada Februari. Kenyataannya, konferensi tersebut tidak lagi membicarakan masalah negara kepulauan, namun memusatkan perhatian kepada batas terluar dari laut wilayah (3 mil, 12 mil, atau 6 mil laut wilayah ditambah 6 mil zona perikanan), yang ternyata kemudian juga gagal mencapai kesepakatan.

Sementara di dalam negeri, pemerintah Indonesia tetap menjalankan Undang-Undang/Prp No. 4/1960, meski mendapat banyak protes dan kecaman dari dunia maritim internasional. Implementasi undang-undang tersebut adalah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 8/1962 tanggal 25 Juli 1982 untuk mengatur lalu lintas laut damai bagi kendaraan air asing yang melalui perairan Nusantara Indonesia, dan Keppres No. 103/1963 yang menetapkan seluruh perairan Nusantara Indonesia sebagai satu lingkungan laut yang berada di bawah pengamanan Angkatan Laut Republik Indonesia.

Sepuluh tahun setelah Deklarasi Djuanda diumumkan, timbul berbagai pemikiran di dunia internasional untuk membahas kembali masalah kelautan. Hal ini, menurut Awaloedin Djamin, dilandasi beberapa hal: 

(1) Makin banyaknya negara-negara di Asia dan Afrika yang baru merdeka, yang merasa tidak pernah ikut membuat Hukum Laut Internasional pada masa lalu, dan karena itu ingin lebih berperan dalam menentukan dan membela kepentingannya.

(2) Terjadinya kecelakaan kapal tangki Torrey Canyon pada 1967 di Selat Dover yang menimbulkan polusi laut di pantai Inggris dan Prancis, yang kemudian menimbulkan permasalahan hukum perlindungan lingkungan laut.

(3) Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan yang memungkinkan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di dasar laut dalam, yang terletak jauh dari wilayah nasional, sehingga menimbulkan masalah kepemilikan atas kekayaan alam tersebut. 

(4) Makin maraknya eksploitasi perikanan di laut oleh negara-negara penangkap ikan jarak jauh yang tidak membawa keuntungan apa pun bagi negara-negara pantai yang lebih dekat dengan sumber perikanan tersebut.

(5) Semakin menghebatnya Perang Dingin yang memerlukan mobilisasi angkatan laut masing-masing melalui selat-selat dan laut-laut yang sangat strategis, terutama di Asia Tenggara.

Poin-poin itulah yang mendorong dunia internasional untuk mengadakan Konvensi Hukum Laut Internasional PBB ke-3 yang berlangsung dari 1973 sampai 1982. Hal ini tentu saja menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk kembali memperjuangkan isi Deklarasi Djuanda agar diakui dunia. 

Kali ini langkah Indonesia semakin kuat dengan didahului serangkaian upaya penggalangan dukungan. Forum-forum resmi yang bersifat akademis digelar di tingkat internasional, terutama dukungan dari sesama negara kepulauan seperti Filipina, Fiji, dan Mauritius, negara-negara Asia-Afrika (khususnya yang tergabung dalam Asian African Legal Consultative Committee).

Selain itu, Indonesia juga mengembangkan kerja sama dengan beberapa negara pantai di Asia-Afrika dan Amerika Latin. Negara-negara maju yang memiliki garis pantai panjang seperti Kanada, Australia, Selandia baru, Norwegia, dan Eslandia, juga dijajaki.

Pada kesempatan ketiga inilah Indonesia tidak hanya memperjuangkan konsep kesatuan wilayah darat dan laut, tapi juga udara. Ini berarti seluruh kekayaan alam yang terkandung dalam bumi Indonesia. 

Unsur-unsur kesatuan kewilayahan ini yang kemudian diakui dalam Konvensi Hukum Laut PBB di Montego Bay, Jamaika, pada 10 Desember 1982. Tiga tahun kemudian, 31 Desember 1985, Indonesia meratifikasi Konvensi melalui Undang-Undang No. 17/1985, yang berlaku secara internasional sejak 16 November 1994.

Dalam Hukum Perikanan Nasional dan Internasional (2010), Marhaeni Ria Siombo menjelaskan, negara kepulauan yang dimaksud dalam Konvensi Hukum Laut tersebut adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.

“Berdasarkan Konvensi Hukum Laut tersebut Indonesia diakui sebagai Negara Kepulauan (Archipelago State). Untuk itu pengembangan potensi budaya, sosial, politik, dan hukum ke-Indonesia-an dapat membangun ciri khas kelautan sebagai identitas bangsa Indonesia,” tulis Mhd Halkis dalam Konstelasi Politik Indonesia: Pancasila dan Analisis Fenomenologi Hermeneutika (2017) terkait keberhasilan Indonesia di Montego Bay. 

Dengan diakuinya Indonesia sebagai negara kepulauan, maka apa yang dicita-citakan puluhan tahun sebelumnya dalam Deklarasi Djuanda, boleh dibilang telah tunai. Hari ini, cita-cita tersebut dipertaruhkan lewat visi "Indonesia sebagai poros maritim dunia" besutan Presiden Joko Widodo. (tirto.id - irf/ivn)

Tayang pertamakali di tirto.id
tanggal 13 Desember 2017

No comments: