Waktu itu orang sudah pada pulang sembahyang Magrib. Dan datanglah
ia ke rumah dengan girangnya. Tentu bukan karena dapat mbolos sembahyang Magrib
ia girang. Tapi itu—habis kerja demikian, dapatlah ia berdiskusi. Dia: Paman
Martil.
Dia senang dipanggil Paman Martil. Entah berapa puluh kali
saja orang menanyakan padanya: “Mengapa sih dipanggil Paman Martil?”
Dan ia suka menceritakan kisahnya.
Pernah sekelompok pemuda, yang menunggu dibetulkan sepatunya
di bawah pohon asam, bertanya curiga, “Kan kepalanya tak ada memper-mempernya
dengan martil?”
Dan berceritalah dia dengan relanya.
“Begitulah. Memang orangtuaku almarhum besar cita-citanya,
dididiknya aku buat jadi ulama besar. Milikilah kunci sorga, kata beliau
almarhum, biar kau bisa buka-tutup pintunya, tapi lebih penting lagi, biar
semua yang kau cintai dapat kau masukkan ke sana. Begitulah ceritanya.”
Tentu saja orang semakin curiga. Aaah!
“Ya, betul. Tetanggaku begitu juga. Dia juga bercita-cita
anaknya jadi kiai besar. Anak itu jadi bandit besar. Mati di pegantungan, di
depan gedung-bicara. Tetanggaku yang lain begitu juga. Anak itu kemudian jadi
sipir penjara. Kabarnya sehari-harinya kerjanya cuma menggebuki orang hukuman. Huh,
belum mati sudah jadi raja neraka!”
“Dan kau sendiri. Paman Martil?”
“Aku sendiri? Aku sendiri, ha-ha, aku sendiri sih punya
cita-cita sendiri.”
“Cita-citanya tentu punya pabrik martil, barangkali.”
“Begitulah kira-kira. Pendeknya… cita-citaku kepingin jadi
tukang sepatu.”
“Hubungannya dengan martil itu? Kan Paman memang jadi tukang
sepatu?”
“Iya, ceritanya sekarang aku ini tukang sepatu, tukang
betulkan sepatu, ha, itu lebih tepat. Sepatu, huh! Waktu aku kecil… siapa pula
pakai sepatu?! Wedana pun cuma pakai sandal—uh, selop, maksudku. Sepatu waktu
itu kira-kira samalah dengan payung mas bupati. Payung di atas, sepatu di
bawah. Kalau di atas ada payung mas, ha, di bawahnya tentu ada sepatu. Kalau di
bawah, ha, di atasnya belum tentu ada payung mas. Itu sudah masuk ilmu hitung
yang pelik waktu itu.”
“Apa pula hubungannya dengan ilmu hitung, Paman Martil?”
“Masa tidak dapat menebak? Itulah yang dinamai ilmu-hitung
zaman. Ada payung mas, ada kekuasaan. Ada sepatu, ada uang. Aku tidak butuh
kekuasaan, aku butuh uang buat makan. Jadi kupilih sepatu sajalah. Jadi aku
belajar bikin sepatu. Bercita-cita jadi tukang sepatu. Nyatanya 20 tahun jadi
tukang sepatu, cuma martil saja yang aku punya. Barangkali dengan martil itu
juga aku mati.”
Cerita itu begitu terkenal. Orang tidak bosan-bosan mendengarnya.
Setiap diceritakan kembali ada saja tambahannya yang baru. Penutupnya selalu
gelak-tawa.
Dan memang Paman Martil hanya punya martil itu saja. Bengkel kelilingnya
ia sewa dari seorang janda. Janda itu menerimanya sebagai warisan orang yang 40
tahun lamanya memiaranya, dan memberinya 3 orang anak—seorang singkeh dari
Honan.
Begitulah sore itu ia pulang dengan gembiranya. Begitu ia
masuk ke dalam rumahnya, begitulah janda itu masuk pula meminta sewa bengkel
keliling itu—dua picis! Kalau si janda sudah pergi, menyusul masuk dua orang
sahabatnya—dua anak lelaki kecil, entah dari mana datangnya, entah rahim siapa
yang melahirkannya, dan itu berarti waktu itu untuk makan malam telah tiba.
Paman Martil sudah tak ingat lagi bagaimana mulanya anak-anak
itu hidup dengannya. Rasanya sudah lama sekali mereka telah menjadi bagian dari
hidupnya. Mereka makan sambil mengabarkan pengalaman masing-masing sehari itu.
Tapi malam itu Paman Martil tak begitu ramah.
Jam setengah sembilan ia menyuruh anak-anak kecil itu tidur. Dan
ini berarti Paman Martil akan pergi.
Mereka tinggal di sebuah petak bambu. Di ujung sebelah sana
tinggal seorang dengan bininya. Tak ada yang tahu apa kerjanya. Paman Martil
tinggal di bagian tengah. Janda pemilik bengkel keliling tinggal di ujung sana
lagi. Di sebelah kirinya tinggal Mang Tomang, tukang soto yang selalu membuang
dahak. Bertambah tidak laku sotonya, bertambah banyak dahak keluar dari
kerongkongannya. Atau mungkin juga sebaliknya. Di sebelah kanannya tinggal
Mirjan dengan keluarganya, seorang setengah baya yang lebih suka menamai
dirinya “Mariana Proletar”. Sepanjang hari nyanyian itu saja yang keluar dari
kerongkongannya.
Dan ke rumah “Mariana Proletar”lah malam ini Paman Martil
pergi, seperti banyak malam pada minggu-minggu terakhir ini. Hafallah sudah
para tetangga, bila ayam jantan mulai berkeruyuk, dan terdengar deham, kemudian
disusul dengan seruan pelan “hidup!” dan jawaban “roda bagian atas akan segera
ke bawah, Paman!” itu Paman Martil pulang ke petaknya dan mulai mendengkur
dengan puasnya.
Tapi Subuh ini Paman Martil tak sempat mendengkur. Baru saja
ia merebahkan badan di samping anak-anak, yang tidak ketahuan rahim siapa yang
melahirkannya itu, pintu petaknya telah ditendang orang dari luar.
Dalam muraman pelita minyak ia lihat sebuah sepatu serdadu
toblos menjebol pintu kajangnya.
Tentu bukan begitu cara langganan minta dibetulkan sepatunya.
Jelas itu bukan sepatu langganan. Secepat kilat tangannya meraba satu-satunya
harta bendanya yang tersimpan selalu di balik kemejanya: martil. Ia melompat
menghampiri pintu yang menderak menggeletar di bagian atasnya. Dan sebelum
sepatu serdadu itu ditarik dari jebolan pintu, martil itu telah melayang
memukulnya dengan sekeras-kerasnya.
Ia dengar lengkingan tinggi menggeletarkan udara subuh hari. Lengkingan
tinggi itu meraung lari. Tapi jebolan pintu itu tetap menganga hitam di
depannya. Dengan diam-diam ia dengarkan lengkingan itu. Ia dengar bunyi sosok
tubuh menubruk pintu di ujung petak yang sana. Kemudian sunyi senyap. Tapi tidak
lama. Sebentar kemudian terdengar pintu petak-petak lain terbuka. Dan waktu ia
menengok ke belakang, dilihatnya kedua orang bocah itu berdiri ketakutan,
berpegangan tangan memandanginya.
Paman Martil tiba-tiba menyadari keadaannya. Martil segera
disembunyikannya di balik kemejanya.
“Tidur lagi. Tidak ada apa-apa,” katanya setengah memerintah.
Anak-anak itu naik kembali ke atas ambin.
Ia dengar orang-orang samping-menyamping bercakap-cakap. Ia mendengarkan
sebentar, ia pun keluar mendapatkan “Mariana Proletar”. Tapi belum sampai ia
masuk ke petak tetangganya, “Mariana Proletar” telah menarik tangannya dan
berbisik:
“Nampaknya tetangga sana itu begundal Sarekat Hijau. Hati-hati.”
Ia didorong keluar, dan dengan sempoyongan sebentar ia menuju
ke petaknya kembali.
Waktu matahari telah mengganggang bumi, baru ia
menggapai-gapai bangun. Segera ia mengenang-ngenang siapa nian yang mempunyai
sepatu serdadu hitam bergigi paku itu. ia tak berhasil. Hanya serdadu punya
sepatu semacam itu. Tukang sepatu seperti dia tidak pernah membetulkannya. Di tangsi
ada tukang sepatu khusus.
Siang itu “Mariana Proletar” mengirimkan istrinya,
membisikkan supaya ia pindah ke tempat lain saja, sesegera mungkin.
Seperti singa betina terluka ia meraung kesakitan:
“Pindah? Seluruh Sarekat Hijau boleh dituang kemari.
Paling-paling aku mampus!”
Istri “Mariana Proletar” buru-buru berusaha menyumbat
mulutnya. Tapi secepat itu Paman Martil mengelakkan diri dan menambahi
raungannya:
“Pemimpin kita sudah ajarkan: kita harus berjuang. Kita harus
binasakan kapitalisme-imprealisme dan anjing-anjingnya. Kalau kita kalah…”
Kembali nyonya “Mariana Proletar” mencoba mendiamkannya. Kembali
ia tak berhasil. Dua orang bocah itu merangkuli kedua belah kakinya. Tapi Paman
Martil menjadi semakin kesakitan dan meneruskan raungannya:
“…kalau kita kalah, kita cuma kehilangan belenggu kita. Tak bakal
rugi apa-apa! Lihat bocah-bocah ini, ibunya sendiri, mereka pun tak tahu! Keparat!
Keparat kapitalisme yang bikin dunia begini rupa. Ayoh, maju semua anjing-anjing
Sarekat Hijau!”
Tak ada yang lebih tepat bagi nyonya “Mariana Proletar”
daripada segera lari dari rumah itu. Dan jam itu para tetangga melihat
suami-istri “Mariana Proletar” pergi meninggalkan petaknya. Tak ada yang tahu
ke mana.
“Aku tunggu mereka di sini. Di sini!” dengus Paman Martil. Pada
kedua bocah itu ia memberi uang dan menjatuhkan perintah, “Belikan aku koran! Seperti
biasa.”
Hari itu ia tidak memikul bengkel kelilingnya. Martil sepatu
itu terasa memukuli hatinya.
Memang beberapa hari ini ia gelisah saja. Separoh dari
penghasilannya dalam sehari selalu buat pembeli koran. Dan apa kata koran itu:
salah seorang pemimpinnya yang baru pulang dari Singapura dan menginjakkan kaki
di Meester Cornelis telah ditangkap Belanda, diseret ke penjara Pekalongan. Kemarin
dulu ia dengar dari “Mariana Proletar” pemimpin itu telah dibunuh wedana PID
Semarang. Sukirman, mati dengan kemaluan hancur habis dimartili.
Ia menitikkan air mata mendengar berita itu.
“Satu lagi pemimpin kita tewas. Tapi mengapa kau menangis?”
Paman Martil meraba martil pribadinya di balik kemeja.
“Kau pernah mengenal dia?”
Paman Martil Menggeleng.
“Kau sangat mencintai dia.”
Paman Martil tidak menjawab. Dia hanya bangkit berdiri dan
pulang ke petaknya, menimang-nimang martilnya, dan berkomat-kamit seperti
santri mendoa:
“Biar aku punya martil saja, dengan dia aku harus bisa
binasakan mereka!”
Sekarang ini ia ingin belajar apa kata koran tentang salah
seorang pemimpinnya itu. Tetapi anak-anak itu pulang tanpa membawa koran. Uangnya
hilang di jalanan.
“Goblok!” dengusnya. “Ayo sini, belajar baca-tulis!” ia
memerintah dengan kasarnya.
Kedua anak itu menjadi ketakutan.
“Mengapa takut? Kau harus cintai orang seperti aku, semua
sahabatku. Kau harus benci pada kontra-revolusi musuh-musuh kita. Apa yang
mesti ditakuti? Ayo belajar.”
Tetapi Paman Martil tidak mengajar mereka, hanya
tercenung-cenung seperti kehilangan sesuatu yang tak dapat diingatnya kembali.
“Satu demi satu pimpinan kita ditangkap, dibunuh. Di desa-desa
kawan-kawan kita disiksa, dianiaya, dirampok, digantung, ditembak…” waktu
dilihatnya kedua orang bocah itu mengawasinya dan sama sekali tidak melihat
pada pelajarannya, ia seka mukanya, kemudian menunduk dan berbisik:
“Jangan bodoh! Belajar baik-baik, ya. Kalau Paman Martil
tidak ada lagi, paling sedikit kalian sudah bisa baca-tulis dengan baik. Bacalah.”
“Mengapa Paman Martil akan tidak ada lagi?” seorang bertanya.
“Ssst. Nanti, kalau sudah pandai baca tulis, kalian akan
tahu. Karena itu kalian mesti pintar beli koran. Simpan koran itu baik-baik,
bacai nanti kalau kalian sudah besar, nanti kalian tahu.”
Paman Martil membuang mukanya, berdiri, berjalan ke belakang,
ke arah kamar mandi kolektif. Sekiblatan ia melihat tetangga tanpa kerja di
sana itu, cepat masuk ke dalam rumah terpincang-pincang.
“Sudah aku sangka,” pikirnya, “memang dia orang dari Sarekat
Hijau: dia pikir, kalau badannya gede mesti menang, segera, cepat, menurut
rencana. Hii, tunggu dulu, mas.”
Waktu ia sudah selesai di kamar mandi dan masuk ke dalam
petaknya kembali, ia lihat tiga orang sudah berada di ruang kerjanya. Seorang yang
bertubuh tinggi dengan kedua belah tangannya sedang mencekal leher kedua bocah
itu dan siap hendak mengadu kepala mereka. Seorang yang pendek gemuk dengan
kakinya menendang-nendangi semua barang di dalam rumah. Pipa celananya yang
terangkat memamerkan sepatu tinggi bertelapak tebal.
Seorang menghampirinya sambil mengayunkan cambuk karet—cambuk
polisi—menegur:
“Til! Sini, kau komunis keparat!”
(BERSAMBUNG)
(BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment