Selepas kuliah saya berkongsi dengan empat orang kawan:
membentuk sebuah negara bernama Republik Bulubabi. Saya diangkat menjadi
presiden seumur hidup, satu orang menjadi ketua dewan syuro, seorang menjadi
menteri penerangan, dan satu lagi menjadi rakyat. Negara kami dibangun atas
dasar kesamaan minat pada membaca dan menulis. Lalu kami membuat grup di
facebook untuk mengunggah tulisan-tulisan kami, saya sang presiden seumur hidup
ini menjadi editornya. Lama-kelamaan kawan-kawan lain mulai ikut bergabung ke
dalam negara kami dan dengan sukarela bersedia menjadi rakyat. Setidaknya
sampai kemudian kami pecah kongsi, saya punya sekira 27 rakyat. Pada satu
kesempatan kami mengadakan sayembara menulis dengan tema “Memiliki Kehilangan”.
Saya masih menyimpan posternya.
Juri untuk perlombaan ini adalah para pejabat negara
Republik Bulubabi. Tapi saya sebagai presiden pun tetap ikut menulis, sebagai
sikap suri tauladan bagi rakyat yang tak banyak itu. Maka saya pun menulis. Saya
menulis tentang bapak dan kebiasaan-kebiasaannya, juga tentang hubungan
kami—saya dan bapak, yang tak hangat-hangat amat, tapi bermusuhan pun tidak. Kawan-kawan
yang lain pun menulis. Total yang masuk sekira delapan naskah, saya arsipkan
semuanya, dan hilang semuanya. Entah kemana. Saya lupa. Maklum presiden, banyak
urusannya.
Maka sekali ini saya menulis kembali. Saya ingin mengenang
kedua orangtua, salah satunya, dengan tulisan. Sikap ini sebagai bentuk “balas
dendam” tentang masa kecil yang miskin dokumentasi. Dalam sekerat hidup yang
telah saya lalui, keluarga tak banyak menyimpan arsip foto apalagi teks. Dulu
bapak punya tustel bermerek Kodak, kalau apdruk banyak sekali foto yang
terbakar. Maka saya kesulitan mencari jejak rupa saya sendiri. Bapak adalah
seorang guru, juru khotbah, dan sering kasih sambutan di acara-acara kemasyarakatan,
namun hampir semuanya ditatah oleh tradisi lisan. Pernah sekali saya menyimpan
naskah khotbah Idul Fitri yang ditulis bapak, tapi itu pun hilang. Maklum presiden,
banyak lupanya.
Sepenuturan mama, saya lahir hari Selasa sebelum subuh, dan
susah keluar. Pasca melahirkan, mama menderita pendarahan hebat dan sempat tak
sadarkan diri. Beberapa sepuh sudah mulai membaca surat Yasin, mereka sangka
mama sudah meninggal. Bapak kemudian memberi nama tengah dan belakang “Teguh
Pribadi”, yang artinya kurang lebih: keukeuh budak téh hayang diborojolkeun. Sementara
nama depan berasal dari bahasa Arab yang artinya bisa dicari di Google.
Bapak berasal dari Cisaat – Sukabumi. Sebuah wilayah yang
kalau pagi sedang cerah, dapat dengan jelas melihat Gunung Gede dan Pangrango. Cisaat
dekat ke pusat Kota Sukabumi. Sekali waktu, pasca menyelesaikan pendidikan di
PGA, bapak diajak koleganya main ke Jampangkulon. “Hayu urang nguseup ka
Jampang,” begitu ajak kawannya. Sesampainya di tempat yang dituju, kawannya
itu menyerahkan SK (Surat Keputusan) pengangkatan bapak sebagai PNS dan
tugaskan untuk mengajar di Jampangkulon. Takdir tak bisa ditolak, nasib tak
bisa dihindari: akhirnya bapak terdampar di sebuah kecamatan di selatan
Sukabumi tersebut.
Mama adalah murid bapak waktu di MTs. Tamat dari sekolah
tersebut kemudian meneruskan ke PGA di Bogor, daerah Batutulis tepatnya. Beliau
pernah menyaksikan pohon-pohon besar dan tua di Kebun Raya Bogor rungkad
dicabut angin dalam sebuah badai hebat. Selesai PGA pulang kampung, lalu
menikah dengan bapak, gurunya itu. 1972 tahun nikahnya, dan baru berhenti
melahirkan di tahun 1993 waktu yang bungsu mula-mula menghirup dunia.
Buat saya, mama bukan tipe ibu-ibu yang bisa diajak curhat. Komunikasi
dengannya minim, tapi saya selalu merindukan masakan dan dapurnya yang
berjelaga. Soal kuliner, mama juara nomor satu. Sejak pertamakali pergi
merantau--setiap akan berangkat, mama selalu membekali saya nasi dan ikan tongkol
balado kesayangan. “Bawa ini, nanti makannya bareng sama kawan-kawanmu,” begitu
ujarnya. Ya, mama memang selalu membuatnya dalam porsi besar yang cukup untuk
lima sampai enam orang.
Mama lahir, tumbuh, dan menghabiskan hampir seumur hidupnya
di kampung. Waktu rumah akan direnovasi, beberapa anaknya menyarankan agar
lebih baik beli rumah baru saja di kota, tapi mama menolaknya. Ia tak mau
tercerabut dari lingkungan yang telah membesarkannya. “Cukup kalian saja yang
merantau dan mungkin tak kembali lagi, biar mama di sini saja, tempat ini sudah
memberikan segalanya buat mama,” terangnya.
Waktu kakek meninggal--sebagai anak paling besar dari
sepuluh bersaudara, beban mama semakin besar, karena ia juga mesti merawat
adik-adiknya yang masih kecil. Namun tak lama berselang, karena konon kakek
seorang kiai, adik-adiknya itu berpencar untuk dirawat oleh saudara dan para tetangga
yang ingin merawat seorang anak yatim keturunan kiai.
Saya tak pernah punya punya konflik dengan mama, kecuali ada
satu penyesalan yang kadang-kadang terbit. Dulu--selepas MTs, saya hendak
dipesantrenkan di Surakarta. Tapi karena saya tidak mau “terpenjara” di balik
tembok kokoh lembaga pendidikan agama, maka semua lembar pertanyaan di tes
masuk saya isi asal-asalan. Begitu pun dengan wawancara. Saya jawab semua
pertanyaan ustadz-ustadz dengan nada yang amat jelas: bahwa saya tak berniat
masuk pesantren. Maka ketika pengumuman kelulusan tiba, terang saja nama saya
tidak ada. Tahu anaknya gagal, mama mencoba menghibur, “Gapapa, belum
rejekinya, masih ada sekolah lain yang tak kalah baik,” katanya. “Iya ma,”
jawab saya dengan nada murung. Padahal dalam hati, saya gembira luar biasa
tidak jadi masuk “penjara”. Saya akhirnya masuk SMA Negeri di Kota Sukabumi.
Alasan saya purba, karena pernah mendengar sebuah lagu Iwan
Fals yang menceritakan kisah percintaan di SMA. Sederhana, namun menancap di
lereng ingatan, lalu berkembang dalam imajinasi yang dirawat setiap hari. SMA
adalah impian masa muda yang tak bisa kembali, begitu pikir saya. Barangkali dosa
ti kolot, di SMA, alih-alih menjadi flamboyan, saya malah terdampar di
organisasi remaja masjid dan membentuk sebuah grup nasyid! Coba ngana
bayangkan. Tapi karena pada dasarnya darah masih panas mendidih, meski rajin
mengikuti pengajian yang diadakan Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin, saya
juga mulai belajar merokok dan kerap nonton BF bersama kawan-kawan beda gank. Benar
kata orang, iman itu terus-menerus naik dan turun. Pasang surut tak
habis-habisnya.
Di luar kasus itu, hubungan saya dengan mama datar-datar
saja, seperti aliran sungai Cikaso yang tenang. Sedari kecil, di rumah tak
pernah ada perayaan ulangtahun, bahkan mengucapkan selamat ulangtahun tak
sekali pun. Maka tak heran jika saya tak tahu tanggal kelahiran mama dan
siapapun di dunia ini, kecuali tanggal lahir saya sendiri dan hari proklamasi
kemerdekaan RI. Kalau kebetulan tengah pulang kampung, mama tak pernah bertanya
ihwal pacar dan prestasi di sekolah. Datar saja. Paling-paling bertanya kabar,
apakah sehat atau sebaliknya. Begitu pula ketika saya telah bekerja, mama tak
sekali pun menanyakan calon istri seperti laku cerewet ibu-ibu masa kini. Pada
satu kesempatan saya sempat tanyakan sikapnya yang tak banyak cingcong itu. “Buat
apa? Toh, kamu sudah dewasa. Punya sikap hidup yang tak pernah mama ragukan. Merantau
juga punya tanggungjawabnya. Kamu hidup jauh dari mama, dididik membuat pilihan
dan mengambil keputusan sendiri,” begitu jawabnya.
Pertengahan 2009 mama meninggal ketika saya kerja di Jakarta.
Adik saya yang paling kecil bercerita: selepas sholat ashar mama tidur, dan
waktu dibangunkan untuk sholat magrib ia sudah tiada. Di ujung telpon saya
menangis.
Bapak lain lagi riwayatnya. Beliau jarang marah, tapi
sekalinya meledak pintu kamar mandi bisa hancur, dan amarah itu reda sepuluh
menit kemudian. Murka yang tak pernah bertahan lama. Kalau hari ini saya
menginventaris minat, lalu menemukan film dan roti, saya yakin itu turun dari
bapak. Ya, bapak adalah seorang yang gandrung nontong film. Di kampung tak ada
bioskop, tapi layar kaca hadir sebagai pengganti. Sering kalau saya terbangun tengah
malam, bapak tengah asyik nonton film perang atau kungfu, sendirian saja.
Ihwal roti sebetulnya sederhana. Karena seorang PNS dan
setiap bulan harus mengambil gaji ke kota, maka bapak kerap membawa oleh-oleh. Dan
roti kopyor adalah makanan yang masuk lewat mulut lalu turun ke perut, rasanya
yang manis naik ke kepala, mengendap jadi ingatan yang tak hendak lindap. Roti murah
meriah itu serupa Pokemon bagi sebagian anak: teman masa kecil yang terlalu
menarik untuk dilupakan.
Horor kadang-kadang datang pasca pembagian rapot. Bapak mengecek
satu-persatu perkembangan prestasi akademik anak-anaknya. Kalau nilai saja
jatuh, ia selalu bertanya dengan nada agak tinggi, “Kenapa nilai ini jelek?” Saya
jelaskan penyebabnya, bahwa saya belakangan memang agak malas belajar dan
terlampau rajin bermain. “Euh, tong ulin wae atuh!” Saya tujuh bersaudara, dan
semuanya pernah mengecap pendidikan di luar kota. Kepercayaan diberikan
sebesar-besarnya. Pada peringatan “tong ulin wae atuh” saya menangkap
kapercayaan bapak yang sedikit turun, tak sepenuhnya lagi. Horor yang mungkin
bagi oranglain tidak menakutkan. Kepercayaan adalah segelas air putih yang kita
teguk ketika bangun tidur, tanpa menduga-duga apakah air tersebut dikencingi
tikus atau ada pelet nyasar dari dukun hitam antah-berantah.
Kalau anak-anaknya mau berumahtangga, mereka tinggal datang
ke bapak beserta calonnya, lalu bilang, “Bapak, saya hendak menikah. Ini pilihan
saya.” Lalu bapak akan berkata, “Baiklah. Bapak restui, tapi kamu sendiri yang
memikul tanggungjawab pilihanmu.” Maka berlangsunglah pernikahan itu. Saya dan
adik yang bungsu tidak akan melalui kebiasaan tersebut: bapak sudah tidak ada.
[irf]
No comments:
Post a Comment