Minggu (6/11/2016), saya bersama Komunitas Aleut
berkesempatan untuk mengunjungi Blok Tempe. Komunitas Aleut adalah sekelompok
anak muda yang punya minat terhadap sejarah dan pariwisata, khususnya di Kota
Bandung. Komunitas ini berdiri tahun 2006, dan sampai sekarang masih konsisten
berkegiatan. Tiap pekannya, minimal mereka punya empat kegitaan rutin, yaitu:
nonton film bareng (Selasa), Kamisan yang isinya konsolidasi internal (Kamis),
Kelas Literasi (Sabtu), dan Ngaleut (Minggu).
Ngaleut diambil dari kata “aleut”, yaitu sebuah kata dalam
bahasa Sunda yang artinya berjalan beriringan, persis seperti kalau kita
berjalan di pematang sawah. Mengapa dinamakan demikian? Hal ini karena kegiatannya
adalah mengunjungi setiap pojok Kota Bandung dengan cara berjalan kaki. “Karena
dengan berjalan kaki, kita bisa melihat lebih banyak tempat yang sering
terlewatkan kalau kita memakai kendaraan,” terang Arya Vidya Utama, salah
seorang koordinator komunitas tersebut. Maka dengan berjalan kaki pulalah,
Minggu itu, kami berkunjung ke Blok Tempe.
Blok Tempe adalah sebuah kampung kota yang sudah cukup lama
menjadi populer setelah Ridwan Kamil (Walikota Bandung sekarang), bersama
pemuda setempat melakukan banyak kegiatan posistif yang bersifat sosial. Secara
administratif, Blok Tempe berada di Kelurahan Babakan Asih, Kecamatan Bojongloa
Kaler. Kampung kota ini mulanya dikenal sebagai daerah tempat tinggal para
mantan narapidana yang dipandang sinis oleh warga sekitar. Sampai sekarang,
banyak pemudanya yang bertato: sebuah simbol yang kerap diidentikkan dengan
premanisme.
Setelah menyusuri banyak sekali gang, akhirnya kami (saya
dan Komunitas Aleut) tiba di sebuah bale di Blok Tempe. Kami diterima oleh kang
Miki (ketua pemuda), dan rekan-rekannya. Sambutan mereka begitu ramah dan penuh
canda. Kami lalu berkumpul, duduk melingkar di bale tersebut. setelah saling
berkenalan, obrolan pun mengalir dengan santai. “Kami mah dulu memang dipandang
sebelah mata oleh warga. Karena terus
terang saja, dulu kami ini sekumpulan tukang mabuk, dan kerap tawuran dengan
kampung sebelah,” ujar Kang Iwan, salah seorang pemuda setempat.
Ia kemudian melanjutkan, “Masih ingat kasus pembunuhan sopir
angkot? Itu pelakunya ya anak sini, sampai sekarang dia masih di LP (Lembaga
Pemasyarakatan) Bojongwaru.”
Blok Tempe berangsur menjadi kampung yang “normal” setelah
salah satu tokoh pemuda setempat, Regi Munggaran, melakukan pendekatan kepada
para pemuda tersebut. “Kang Regi itu, dulu, kalau ngobrol sama kita, ya ikut
lebur, ikut minum juga,” kata Kang Miki menjelaskan. Proses pendekatan tersebut
pelan-pelan membuat para pemuda yang rata-rata mantan narapidana, mulai
mengubah sikapnya ke arah yang lebih baik.
Seperti juga yang dituturkan oleh pemuda yang lainnya, Ketua
RT pun kemudian melakukan pendekatan dengan cara yang kesannya tidak menggurui
dan menasihati. “Pak RT juga dulu mah malah suka sengaja beli minuman kalau mau
ngobrol sama kita,” ujar Kang Iwan. Hal ini dilakukan karena para pemuda tidak
suka dengan obrolan-obrolan yang bersifat ceramah. Beberapakali ada tokoh
masyarakat yang malah diusir karena cenderung menggurui. Hal inilah yang
kemudian menjadi inspirasi Ridwan Kamil untuk ikut terlibat dalam pembenahan
Blok Tempe, baik secara mental maupun fisik.
Hari semakin siang ketika kami akhirnya harus berpamitan. “Jangan
kapok ya, lain waktu main-main lagi ke sini,” ujar Kang Miki. Kami pun lalu
menuju ke rumah salah seorang penggiat Komunitas Aleut yang berada di daerah
Pagarsih. Setiap selesai ngaleut, rekan-rekan Komunitas Aleut mengadakan sharing, yang isinya berbagi pengalaman
sepanjang mekalukan kegiatan ngaleut.
“Kita sering mendengar idiom ‘mental tempe’ yang artinya
lembek. Tapi justru di Blok Tempe, saya menemui hal sebaliknya,” ujar Alex,
salah seorang penggiat Komunitas Aleut. [irf]
No comments:
Post a Comment