Pertengahan 2015, bertepatan dengan peringatan Konferensi Asia Afrika yang ke-60, di Babakan Siliwangi-Bandung (tak jauh dari sebuah mata air) diadakan acara mimbar terbuka yang tema utamanya adalah menolak segala bentuk privatisasi air. Hadir dalam acara itu, salah satunya adalah perwakilan dari masyarakat Padarincang-Banten yang daerahnya terancam oleh invasi kapital yang akan memprivatisasi sumber air yang selama ini digunakan oleh warga.
Kota Bandung yang hari ini telah berkembang sedemikian rupa hanya menyisakan sedikit sekali mata air yang benar-benar terjaga. Ci Kapundung sebagai urat nadi yang membelah kota telah renta: alirannya kotor dan susut. Meskipun beberapa titik sumber air di Kota Bandung secara resmi tidak dikuasai oleh privat, namun gerak pembangunan telah mengurangi volume dan kejernihannya. Ada beberapa kasus baru di perkampungan kota yang berkisah tentang konflik air antara pemodal yang membangun hotel, apartemen, dll dengan warga yang sekitar yang tiba-tiba sumber airnya berkurang.
Jauh sebelum itu, ada juga beberapa pembangunan yang perlahan membuat sumber air kota menjadi memprihatinkan, kampung Cikendi di Hegarmanah dan Ciguriang di Kebon Kawung sebagai contohnya. Dulu di Cikendi terdapat “pancuran tujuh”, yaitu mata air yang ditampung ke dalam sebuah kolam dengan tujuh pancuran bambu di tepinya. Kini mata air tersebut susut dan pancurannya tidak deras lagi setelah lahan hijau di daerah Ciumbuleuit digusur dijadikan perumahan. Sedangkan Ciguriang mulai kekurangan air sejak bekas pekuburan Belanda di Kebon Jahe dijadikan gelanggang olahraga Pajajaran.
Ketika sumber-sumber air ini masih terjaga, ada kisah-kisah dari masa lalu yang menarik untuk disimak lagi. Menurut catatan Haryoto Kunto (alm), di awal abad XX ketika air Ci Kapundung masih deras dan bersih, mata air Ciguriang di Kebon Kawung menjadi salah satu tempat mencuci pakaian yang banyak dikunjungi warga dari hampir setiap penjuru Kota Bandung. Mereka yang datang umumnya para binatu yang hendak mencuci baju di Ciguriang dari malam hari sampai pagi. Dengan hanya membayar satu sen, para binatu tersebut bisa menggunakan air sepuasnya.
Malam merayap di Kebon Kawung tempo dulu yang masih sunyi, ditingkahi bunyi bertalu-talu dari bantingan cucian para binatu di atas batu, juga nyanyian berbahasa Sunda yang lamat-lamat. Di bawah nyala obor, mereka bekerja sambil bersenandung sampai tiba waktu subuh. Romantik memang, namun setidaknya kisah ini mengabarkan satu hal bahwa sumber air bersih yang dulu setia memenuhi kebutuhan warga kota, perlahan hilang seiiring kisah-kisah masa lalu yang juga ikut terkubur dari ingatan.
Maka Ngaleut Kampung Dobi selain hendak menelusuri kembali jejak mata air dan aliran Ciguriang serta menggali serpihan kisah yang mungkin masih tersisa, sejatinya adalah mencoba menyuburkan kembali kesadaran tentang air—terutama di kota besar seperti Bandung, yang kondisi dan ketersediaannya semakin memprihatinkan. Dan kami percaya, dalam konteks sosial, kesadaran tentu tidak datang begitu saja dari langit, tapi melalui proses pembacaan literatur dan pengalaman langsung datang ke lapangan: berinteraksi dengan warga, merasakan bau menyengat sungai, menyusuri aliran air, mendokumentasikan sumber air yang compang-camping, dll.
Pembangunan kota dan sumber air terus-menerus “konflik”. Masa lalu terus meyakinkan kondisi ideal, masa kini terus menghamparkan kondisi sebaliknya. Dan di antara keduanya kami mencoba hadir. Romantisme masa lalu kami hayati untuk menggali informasi dan menghangatkan jiwa, sedangkan kondisi hari ini kami akrabi untuk menjaga terus api kesadaran. [irf]
No comments:
Post a Comment