Edisi perdana Historia terbit pada bulan April 2012. Mengusung
tagline “Majalah Sejarah Populer
Pertama di Indonesia”, Historia hadir menyapa para pembaca dengan
tulisan-tulisan sejarah yang “tak biasa”. Majalah tersebut menghadirkan
fakta-fakta yang kerap luput dari narasi arus utama. Dalam catatan redaksi di
nomor 13 tahun 2013, Historia menjelaskan hal tersebut, “Sedari mula kami
memang ingin menjadikan Historia sebagai alat penyadaran, versi tandingan dalam
bentuknya yang terbaik dari sejarah versi resmi.” Majalah yang dinakhodai oleh
Bonnie Triyana—seorang sarjana sejarah dari Universitas Diponegoro, dalam kata-kata
David T. Hill, ahli Indonesia dari Murdoch University sebagai “very nice
operation.” Ya, operasi bukan publikasi.
Sejak kelahirannya empat tahun silam, Historia—meski banyak
menuai pujian, namun dari segi penjualan kiranya belum memperlihatkan angka
yang menggembirakan. Hal ini dilihat dari seringnya majalah tersebut memberikan
diskon sebesar 50% untuk nomor-nomor lawasnya, yang artinya stok majalah
tersebut begitu melimpah sebagai efek langsung dari rendahnya penjualan. Di beberapa
toko buku besar pun Historia sering kali sulit dijumpai, hal ini seolah
mengabarkan hal lain tentang lemahnya sistem distribusi. Meski disertai juga
dengan historia.id (lini daring) sebagai bentuk memperluas jangkauan, namun
Historia belum sepenuhnya dikenal oleh masyarakat.
Komunitas Aleut sebagai kelompok belajar yang salah satu
minat terbesarnya yaitu sejarah, sejak awal telah membaca dan beririsan dengan
Historia. Indra Pratama, salah seorang pegiat Aleut sempat menjadi kontributor majalah
tersebut untuk wilayah Bandung. Selain itu, seorang pegiat lain atas pemintaan
Historia pernah meliput acara Monolog Tan Malaka yang digelar di IFI Bandung. Meski
pada akhirnya—dengan pertimbangan teknis, tulisan liputan tersebut tidak jadi
tayang, namun setidaknya komunikasi tetap terjaga. Dan baru-baru, kegiatan #NgoJak
atau Ngopi (di) Jakarta sebagai sayap Komunitas Aleut di Jakarta, diliput juga
oleh Historia dan tayang di lini daring.
Beberapa hal tersebut di atas kemudian menjadi pertimbangan
kami untuk mengusung Historia sebagai tema Kelas Literasi sabtu ini (3 September
2016). Beberapa majalah berbeda edisi telah dan tengah dibaca oleh para pegiat
Aleut untuk diresensi dan didiskusikan pada Sabtu mendatang. Aleut yang selama
ini berikhtiar mengenalkan sejarah popoler—meski secara konten berbeda, kiranya
seturut dengan Historia untuk bersama-sama menghadirkan sejarah dengan wajah
yang berbeda kepada masyarakat. Selain itu, mengingat kondisi Historia yang
belum sepopuler majalah lain, anggap saja apa yang kami lakukan di Kelas
Literasi ini sebagai bentuk apresiasi dan dukungan kami terhadap Historia yang
tak surut mengabarkan masa lalu sebagai pelajaran untuk masa kini.
“Jangan pernah sekali-kali melupakan sejarah,” begitu kata
Sukarno. Di titik ini, Historia menurut hemat kami telah dan tengah merawat
amanat itu dengan sebaik-baiknya. [irf]
No comments:
Post a Comment