08 August 2016

Menggeledah Blog: Menyelami Teks dan Manusia

Dalam ikhtiar membangun tradisi literasi atau keberaksaraan, yang salah satu muaranya adalah mampu membaca, mengurai, dan menyampaikan gagasan (terutama secara tertulis) dengan baik, laku membaca dan menulis adalah sebuah keniscayaan. Dan seperti yang sudah sering disampaikan banyak orang, menulis tanpa membaca adalah jalan majal, untuk tidak menyebutnya sia-sia. Jika bersandar pada mantra Roland Barthes, menurutnya “teks atau tulisan adalah suatu tenunan dari kutipan, berasal dari seribu sumber budaya.” Pada kata “kutipan”—meski bisa juga lahir dari lisan, namun ia juga seringkali terpahat dalam catatan, tulisan, dan untuk mengambilnya mesti melewati jalan membaca. Tak mengherankan kemudian jika Asma Nadia—penulis yang juga salah satu penggagas Forum Lingkar Pena, sempat berkata, “kalau tak ada yang kau baca, lalu apa yang mau kau tulis?”

Membaca dengan mata pisau yang tajam, artinya menyelami teks demi teks dengan kesadaran yang penuh-seluruh, kiranya adalah sebuah proses yang harus dilalui terus-menerus, sebab ini bukanlah pekerjaan mudah. Kelas Literasi yang telah diadakan sebanyak 54 kali—meski telah mencoba untuk tampil optimal, namun belum beranjak dari sebatas mendadarkan ulang cerita yang ada dalam buku. Setiap peserta belum mampu untuk menguliti teks secara lebih mendalam. Tanpa melupakan kemajuan yang telah didapat: minat membaca dan menulis yng mulai tumbuh, kiranya Kelas Literasi ke depan sudah harus beranjak ke tahap berikutnya, yaitu menyelami teks secara lebih “berani”. Selain cerita yang dikisahkan ulang, opini yang dihamparkan juga mesti dibekali dengan pengetahuan lebih, atau setidak-tidaknya dilatari oleh semangat kritis dalam mengapresiasi.

Persoalan kemudian terbit, sebab mayoritas kawan-kawan yang ikut Kelas Literasi tidak mempunyai latar minat yang kuat terhadap literasi itu sendiri. Kebanyakan justru di Komunitas Aleut-lah minat itu mulai tumbuh, artinya terbentuk secara perlahan. Namun demikian, tahapan ini tetap harus dilalui, sebab belajar adalah tentang jalan kemajuan. Menimbang hal tersebut, maka kami kemudian mencoba memulainya dari teks-teks yang dekat dan sederhana, yaitu blog kawan sendiri. Pilihan ini dimaksudkan agar para peserta Kelas Literasi merasa akrab dengan apa yang hendak diselaminya. Dan blog kiranya punya watak yang pas buat pilihan ini.

Blog sebagai media yang tidak terbatasi oleh persoalan karakter huruf, dan cenderung lebih “tersembunyi” jika dibandingkan jejaring sosial yang lain, adalah tempat yang ideal untuk mendedahkan pikiran, pengalaman, kekecewaan, melontarkan kode-kode, mem-bribik gebetan, curhat banal, dll. Para pemiliknya cenderung lebih terbuka dan leluasa dalam menyampaikan hal-hal tersebut. Dalam blog, ada sisi “introvert” yang tersirat—yang meskipun leluasa menulis, namun semacam ada ketenangan karena tidak banyak orang yang akan menyinggahinya. Hal ini tentu saja menarik untuk menjadikannya sebagai bahan menyelami teks dan juga manusia.

Para pemilik blog tersebut, orang-orang yang berani dan sukarela anak rohaninya (tulisan) dilempar ke jalanan, adalah mereka yang dengan itu harus siap berhadapan dengan watak jalanan: dikritik, dicibir, diserang, dihina-dinakan, atau kalau beruntung diapresiasi dengan tempik-sorak dan hujan pujian. Ya, setiap tulisan yang diunggah adalah sikap terbuka dari si penulisnya sendiri, sebab jika tak mau dibaca orang lain, bukahkah lebih baik mendekapnya dalam sangkar kode bilangan biner alias mengendap di komputernya masing-masing? Mengunggah tulisan ke blog---sepersonal apapun kisahnya, adalah sikap dan pilihan terbuka yang lahir dari kurasi masing-masing pribadi.

Di titik ini, menggeledah blog bukan hanya menyelami teksnya, namun juga manusianya. Sesamar apapun, kecenderungan tulisan akan memunculkan gambaran dari si penulisnya. Kode-kode percintaan yang tanpa disertai nama tokoh barangkali mencerminkan penulisnya yang tengah dimabuk amor namun masih malu-malu, misalnya. Atau parade tulisan resensi buku menggambarkan penulisnya yang tengah gandrung bacaan. Atau bisa juga catatan-catatan nostalgia diartikan sebagai laku si penulis yang tak mudah melupakan masalalu. Ya, semuanya akan memberikan—sekali lagi meskipun samar, gambaran ihwal kondisi langit jiwa si penulis.

Dimulai dari blog kawan sendiri, dari teks yang dekat dengan keseharian, diharapkan apreasiasinya relatif lebih mudah dan karib, lebih bisa langsung menghujam ke orangnya. Berpijak dari sinilah kemudian tema Kelas Literasi pekan ke-55 kami usung: muaranya lagi-lagi adalah tumbuh-kembang bersama. [irf]

No comments: