Dalam ikhtiar membangun tradisi literasi atau keberaksaraan,
yang salah satu muaranya adalah mampu membaca, mengurai, dan menyampaikan
gagasan (terutama secara tertulis) dengan baik, laku membaca dan menulis adalah
sebuah keniscayaan. Dan seperti yang sudah sering disampaikan banyak orang,
menulis tanpa membaca adalah jalan majal, untuk tidak menyebutnya sia-sia. Jika
bersandar pada mantra Roland Barthes, menurutnya “teks atau tulisan adalah
suatu tenunan dari kutipan, berasal dari seribu sumber budaya.” Pada kata “kutipan”—meski
bisa juga lahir dari lisan, namun ia juga seringkali terpahat dalam catatan,
tulisan, dan untuk mengambilnya mesti melewati jalan membaca. Tak mengherankan
kemudian jika Asma Nadia—penulis yang juga salah satu penggagas Forum Lingkar
Pena, sempat berkata, “kalau tak ada yang kau baca, lalu apa yang mau kau
tulis?”
Membaca dengan mata pisau yang tajam, artinya menyelami teks
demi teks dengan kesadaran yang penuh-seluruh, kiranya adalah sebuah proses yang
harus dilalui terus-menerus, sebab ini bukanlah pekerjaan mudah. Kelas Literasi
yang telah diadakan sebanyak 54 kali—meski telah mencoba untuk tampil optimal,
namun belum beranjak dari sebatas mendadarkan ulang cerita yang ada dalam buku.
Setiap peserta belum mampu untuk menguliti teks secara lebih mendalam. Tanpa melupakan
kemajuan yang telah didapat: minat membaca dan menulis yng mulai tumbuh,
kiranya Kelas Literasi ke depan sudah harus beranjak ke tahap berikutnya, yaitu
menyelami teks secara lebih “berani”. Selain cerita yang dikisahkan ulang, opini
yang dihamparkan juga mesti dibekali dengan pengetahuan lebih, atau
setidak-tidaknya dilatari oleh semangat kritis dalam mengapresiasi.
Persoalan kemudian terbit, sebab mayoritas kawan-kawan yang
ikut Kelas Literasi tidak mempunyai latar minat yang kuat terhadap literasi itu
sendiri. Kebanyakan justru di Komunitas Aleut-lah minat itu mulai tumbuh,
artinya terbentuk secara perlahan. Namun demikian, tahapan ini tetap harus
dilalui, sebab belajar adalah tentang jalan kemajuan. Menimbang hal tersebut,
maka kami kemudian mencoba memulainya dari teks-teks yang dekat dan sederhana,
yaitu blog kawan sendiri. Pilihan ini dimaksudkan agar para peserta Kelas
Literasi merasa akrab dengan apa yang hendak diselaminya. Dan blog kiranya punya
watak yang pas buat pilihan ini.
Blog sebagai media yang tidak terbatasi oleh persoalan
karakter huruf, dan cenderung lebih “tersembunyi” jika dibandingkan jejaring sosial
yang lain, adalah tempat yang ideal untuk mendedahkan pikiran, pengalaman, kekecewaan,
melontarkan kode-kode, mem-bribik
gebetan, curhat banal, dll. Para pemiliknya cenderung lebih terbuka dan leluasa
dalam menyampaikan hal-hal tersebut. Dalam blog, ada sisi “introvert” yang
tersirat—yang meskipun leluasa menulis, namun semacam ada ketenangan karena
tidak banyak orang yang akan menyinggahinya. Hal ini tentu saja menarik untuk
menjadikannya sebagai bahan menyelami teks dan juga manusia.
Para pemilik blog tersebut, orang-orang yang berani dan sukarela
anak rohaninya (tulisan) dilempar ke jalanan, adalah mereka yang dengan itu
harus siap berhadapan dengan watak jalanan: dikritik, dicibir, diserang,
dihina-dinakan, atau kalau beruntung diapresiasi dengan tempik-sorak dan hujan
pujian. Ya, setiap tulisan yang diunggah adalah sikap terbuka dari si
penulisnya sendiri, sebab jika tak mau dibaca orang lain, bukahkah lebih baik
mendekapnya dalam sangkar kode bilangan biner alias mengendap di komputernya
masing-masing? Mengunggah tulisan ke blog---sepersonal apapun kisahnya, adalah
sikap dan pilihan terbuka yang lahir dari kurasi masing-masing pribadi.
Di titik ini, menggeledah blog bukan hanya menyelami
teksnya, namun juga manusianya. Sesamar apapun, kecenderungan tulisan akan
memunculkan gambaran dari si penulisnya. Kode-kode percintaan yang tanpa
disertai nama tokoh barangkali mencerminkan penulisnya yang tengah dimabuk amor
namun masih malu-malu, misalnya. Atau parade tulisan resensi buku menggambarkan
penulisnya yang tengah gandrung bacaan. Atau bisa juga catatan-catatan
nostalgia diartikan sebagai laku si penulis yang tak mudah melupakan masalalu. Ya,
semuanya akan memberikan—sekali lagi meskipun samar, gambaran ihwal kondisi
langit jiwa si penulis.
Dimulai dari blog kawan sendiri, dari teks yang
dekat dengan keseharian, diharapkan apreasiasinya relatif lebih mudah dan karib,
lebih bisa langsung menghujam ke orangnya. Berpijak dari sinilah kemudian tema Kelas
Literasi pekan ke-55 kami usung: muaranya lagi-lagi adalah tumbuh-kembang
bersama. [irf]
No comments:
Post a Comment