Showing posts with label YB Mangunwijaya. Show all posts
Showing posts with label YB Mangunwijaya. Show all posts

11 August 2016

Teror Kampus, Muhidin, dan “Jalan Sesat”

Ruangan student centre penuh dengan asap rokok dan gelas plastik berisi kopi. Saya dan kawan-kawan sedang rapat persiapan menyambut mahasiswa baru angkatan 2003. Siang itu agendanya adalah pemilihan ketua pelaksana OSPEK jurusan. Seperti juga yang lain, saya bolos dari kelas. Mata kuliah Kewirausahaan ditinggalkan. Rapat memutuskan saya sebagai ketua pelaksana. Buat saya, ini adalah keputusan yang kurang nyaman. Selama aktif di organisasi kemahasiswaan saya selalu memosisikan diri di belakang layar: dari Himpunan sampai BEM. Departemen Kajian Strategis selalu menjadi pos pilihan. Sekali ini tantangan hadir di muka, saya mesti menjadi sosok paling depan. Keputusan sudah diambil, dan saya tak boleh mundur.

Selesai rapat, kelas sudah bubar. Seorang kawan datang menghampiri, “Bung, tugas Kewirausahaan sudah bikin?” tanyanya. “Tentu saja,” jawab saya singkat. Dia kemudian melanjutkan bahwa tugas itu sudah dikumpulkan ke dosen yang bersangkutan, dan saya mesti segera menyetorkannya. Saya bergegas menuju ruangan dosen di lantai dua. Di ambang pintu saya berhenti dan mendapati ruangan telah kosong. Dengan tugas di tangan, saya masuki ruangan dosen lalu meletakkannya di di atas tumpukan tugas kawan-kawan yang lain.

Besoknya saya dipanggil dosen Kewirausahaan dan dicecar kemarahan tanpa ampun karena ia mendapati mejanya berantakan. Saya bilang, benar saya kemarin bolos dan terlambat mengumpulkan tugas, tapi saya tak membuat kekacaun. Saya hanya menyimpan beberapa lembar makalah saja. “Kalau kamu yang terakhir masuk ruangan dan tidak mengaku, lalu siapa lagi? Masa sama hantu!” Urusan semakin rumit karena dosen itu kemudian melebar ke sikap saya yang kerap “menyerangnya” selama di kelas.

Satu hal memang benar: selama kuliah saya adalah sosok menyebalkan bagi sebagian orang. Di kelas, jika ada diskusi, saya selalu bertanya dengan maksud menguji sejauh mana pengetahuan kawa-kawan, dan bukan bermaksud ingin tahu jawabannya. Begitu pula ke semua dosen, saya kerap “menyerang” para pengemban risalah pendidikan itu dengan pertanyaan-pertanyaan tajam yang sebetulnya saya sudah tahu jawabannya. Dosen yang satu ini, yang konon mejanya saya acak-acak itu, adalah juga yang kerap saya “serang”.

“Kamu sebenarnya mau apa? Setiap saya di kelas, kamu selalu menyerang saya seperti hendak mempermalukan!” Saya pikir, jawaban apapun tak akan meredakan amarahnya yang tengah muntab. Saya memilih diam. “Kamu mau DO?!” Sambaran yang cukup mengejutkan. Saya pribadi sejujurnya tidak takut DO, tapi apa kabar dengan orangtua di kampung. Tak terbayang reaksi mereka sekiranya tahu anaknya yang ditatah dengan segenap do’a dan biaya malah kalah di gelanggang pendidikan. Saya lemas dan cemas. “Tunggu keputusannya Senin, kamu mesti menghadap Kepala Program Studi dan Kepala Jurusan, sebelum akhinya kamu resmi DO!” Ancaman itu kembali menyambar.

Setelah itu saya menghubungi kawan-kawan dan menyampaikan semuanya. Kepada Ketua Himpunan saya bilang, “Bung, saya teracam DO, sementara saya juga harus memimpin OSPEK jurusan. Saya kira posisi kita tak aman. Segala perizinan yang terkait dengan acara kita pasti akan dipersulit atau bahkan akan digagalkan.” Dia diam sejenak. “Nanti sore kita ketemu di student centre, kita bicarakan dengan kawan-kawan yang lain,” ujarnya. Kemudian saya pergi ke kantin, memesan kopi dan menghabiskan setengah bungkus rokok. Kelas saya lupakan. Sehari itu saya tak berminat kuliah.

Sore harinya keputusan diambil: saya meletakkan jabatan yang baru sehari diemban. Ketua pengganti diputuskan setelah melalui perdebatan yang panjang dan panas. Menjelang pulang, seorang kawan mencoba membesarkan hati saya, “Bung, kalau kasusnya seperti itu, saya kira bung akan selamat, paling-paling hanya pending,” ujarnya.

Saya kuliah di sebuah politeknik negeri. Lembaga pendidikan yang tugasnya mempersiapkan buruh-buruh pabrik nomor wahid. Setiap hari kelas dimulai dari jam tujuh pagi dan selesai jam tiga sore. Dosen memegang absen, setiap hari mereka teriak di kelas menyebut mahasiswanya satu persatu. SKS dipaket, dan tiap semester mahasiswa menyerahkan lehernya di ambang pisau pancung. Jika dalam satu semester terdapat satu nilai E atau tujuh nilai D, maka ia otomatis DO. Tak ada semester pendek, tak ada kesempatan memperbaki bopeng di transkrip nilai. Lama kuliah dibatasi hanya tiga tahun, dan toleransi setahun bagi mereka yang malas dan lemah iman. “Pending” adalah kosakata politeknik untuk toleransi itu.       

Asal tahu saja, baik pending maupun DO, keduanya adalah aib tak terampuni. Tak terhitung banyaknya anak politeknik yang menangis ketika vonis pending dijatuhkan. Alasannya jelas: malu dan biaya yang menggantang sebab mesti memperpanjang kuliah selama setahun ke depan. Maka dengan tak mengurangi rasa hormat kepada kawan yang berusaha membesarkan hati itu, sejatinya saya tetap cemas. Waktu pulang ke kosan, saya berjalan dengan kecemasan yang menggores.

Tiba di kosan, seorang kawan tengah uring-uringan dengan muka pahit, entah apa penyebabnya: yang terbit hanya satu, saya ingin melemparnya dengan sepatu. Sebuah pesan masuk di layar hp, bapak tanya kabar dan prestasi akademik. Deg! Inilah situasi yang saya takutkan itu.

Di kosan kecemasan semakin berparade. Saya tak tahu cara meredakannya. Lalu akhirnya teringat satu hobi yang sudah jarang dirawat: membaca buku. Karena di rak tidak ada stok baru, saya memutuskan pergi ke Gramedia di Jl. Merdeka. Angkot dari Ciwaruga berjalan serupa siput: terseok-seok kepayahan. Uang di kantong tak banyak, tapi saya harus membeli satu buku, ingin mencoba meredakan kondisi yang tengah berada di tubir kekalahan.

Di sudut sebuah rak, saya mendapati satu buku bersampul coklat muda, lusuh, sampul plastiknya sudah terlepas, berjudul “Aku, Buku, dan Sebuah Sajak Cinta” karangan Muhidin M. Dahlan. Sepenggal narasi di sampul belakangnya berbunyi: “Derita menjadi tertanggungkan ketika ia menjelma cerita”, sebuah kutipan dari Hannah Arendt. “Derita” dan “cerita”, bukahkan dua hal ini yang tengah saya hadapi? “Derita” berwujud kecemasan karena teror kampus yang mengancam, dan “cerita” adalah kondisi ketika saya ingin menuliskan semuanya. Di kasir yang lumayan antri, saya tak sabar, seperti salat isya baru rakaat pertama sementara perut mulas tak tertahankan.

Sesampainya di kosan, saya langsung menyuntuki buku tersebut. Memoar Muhidin ini menggiring saya ke apotek, maksudnya seperti menelan obat penangkal sakit: terlalu banyak kesamaan, sehingga saya merasa ada kawan senasib-sepenanggungan. “Bangke Muhidin ini!” gumam saya dalam hati. Catatannya seperti mengejek sekaligus menyembuhkan: anak rantau, bermasalah dengan kampus, mencintai literasi, dan kisah cinta yang morat-marit. Semuanya ditatah dalam semesta memoar yang menggigilkan.      

Perhatikan kalimatnya ketika ia harus pergi ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah: “Aku meninggalkan kotaku, kampung kelahiranku. Hari itu adalah hari yang begitu mengharukan sekaligus mendebarkan. Mengharukan karena ia adalah perpisahan yang panjang dengan semua sanak, semua keluarga, semua kawan, semua kenangan. Mendebarkan karena aku tengah menuju ke suatu titik yang jauh dari bayanganku.”

Bukan soal meninggalkan kampung, tapi saya membacanya ketika kondisi hampir ditendang kembali ke kampung karena ancaman DO. Perpisahan dengan kampung ternyata ga panjang-panjang amat. Belum lagi perkataan bapaknya ketika ia hendak benar-benar berangkat, “Jangan pulang sebelum kau berhasil.” Asu tenan!

Muhidin kuliah di dua kampus: IKIP dan IAIN, keduanya di Yogyakarta, dan keduanya tidak ia selesaikan. Tapi berbeda dengan saya, ia mengambil keputusan itu karena sadar akan pilihan, hendak lebur dengan dunia literasi yang ia yakini. Berbeda dengan saya yang meskipun secara pribadi tidak takut DO, namun lingkungan sosial masih menjadi ketakutan yang menggenggam. Muhidin seperti menggedor-gedor nurani, bahwa keputusan adalah keputusan, tak peduli respon orangtua sekalipun! Ia menegaskannya dengan mengutip sesobek petuah Romo Mangun:  

“Anggaplah ini pilihan. Dan aku memilih jalan itu walau tergolong pahit—bergelut tanpa kepastian akan nasib hendak diempaskan ke mana. Bersyukur-syukurlah aku masih sanggup memilih. Kesanggupan memilih, sebagaimana petuah novel ‘Burung-burung Manyar’ yang kubaca sejak aku menginjak semester tiga di Kampus IKIP, mengandaikan suatu kemampuan untuk menimbang, untuk memegang kendali nasib, untuk berkreasi. Sebab siapa berkemampuan untuk memilih, dia mengatasi nasib.”

Di titik ini saya tercerahkan. Tantangan Muhidin saya terima. Saya tak hendak mengemis ke kampus agar lolos dari ancaman, juga bersiap menghadapi orangtua dengan segala kekecewaannya. Anggaplah saya tidak lagi kuliah, dan kiriman bulanan dari kampung dihentikan, paling-paling saya menggelandang di Bandung. Kalau sedang mujur, sekali-dua mungkin hidup ditambali oleh honor tulisan yang dimuat di surat kabar. Setidaknya dengan begitu saya telah mengatasi nasib.

Besoknya saya datangi kampus dengan kepala tegak. Saya sampaikan apa adanya kepada para pengampu kebijakan dengan kalimat-kalimat terukur. Dan keputusannya saya hanya dijatuhi SP II dengan menandatangai surat pernyataan di atas materai enam ribu rupiah. Tak jadi DO. Tak jadi dihantam palu godam kekecewaan orangtua. Di akhir semester saya malah dapat nilai A untuk mata kuliah yang diampu oleh dosen yang mengancam itu. Ajaib!

Pasca kuliah saya menjalani hidup seperti orang kebanyakan, bekerja di firma-firma kaum kapital. Hidup dari gaji yang mengalir sebulan sekali. Di permukaan seperti tak ada gejolak, hidup hampir mirip ternak, dan saya bosan. Bosan menekan-mendesak. Lalu saya teringat lagi petuah Romo Mangun yang dikutip Muhidin, saya hendak memilih dan berkreasi. Pertengahan 2014 saya tinggalkan pekerjaan. Inilah saatnya tantangan Muhidin itu benar-benar bisa saya terapkan. Saya hampir menggelandang, kemudian berkomunitas, dan hidup dari menulis.

Keberanian memilih yang didadarkan Muhidin berkelindan dengan dua hal lain, yaitu gandrung literasi dan kisah percintaan yang cukup menyedihkan. Keduanya berjejalin membentuk diri saya yang lain. Sedari kecil saya telah terbiasa membaca koran dan buku cerita, namun hal itu tak pernah dijadikan nafas hidup. Saya tak pernah mencurahkan waktu, dana, dan tenaga kepada teks dan bahan bacaan. Sampai akhirnya Muhidin—di tengah kecemasan yang menggores, datang dan menawarkan “jalan sesat”. Ia menggilai buku. Menguruskan badannya demi buku. Begini siasatnya:         

“Karena kekurangan droping pesangon dari orangtua, maka aku pun bersiasat. Uang makanku kupangkas sekecil-kecilnya. Aku memutuskan untuk jalan kaki dan tidak naik bus yang sewanya waktu itu hanya 300 rupiah untuk mahasiswa/pelajar. Dan aku coba menyisir uang makanku hanya 500-1000 rupiah perhari (makan normalnya 3000). Dan waktu makanku tidak pagi tidak malam, tapi sore. Waktu sore adalah waktu tengah dalam perputaran aktivitas manusia dan waktu tengah ketika energi dikeluarkan dan diistirahatkan. Dari cara yang menguruskan badan ini sedikit demi sedikit aku mendapatkan buku dengan cara membeli. Kalau ada uang mengapa harus meminjam. Aku tidak suka meminjam.”

Untuk menguatkan sikapnya, ia mengutip Desiderius Eramus (1465-1536) yang mengatakan, “Kalau aku punya sedikit uang, aku beli buku. Kalau masih ada lebihnya, barulah aku belanja makanan dan pakaian.”

Dan saya terpengaruhi. Dulu setiap kali gajian, saya pergi ke Bandung dan mendatangi Palasari: menukar ratusan ribu rupiah dengan buku. Pameran buku di Braga, Istora Senayan, dll, pasti menguras kantong karena saya kalap. Niat membeli dua selalu berakhir dengan sepuluh eksemplar. kantong-kantong buku loak, komunitas, dan toko buku besar saya datangi dengan semangat meluap hendak membeli. Duapuluh buku pertama saya hafal di luar kepala, dan akhirnya terpaksa harus dituliskan karena jumlahnya semakin membengkak menjadi ratusan.

Saya membeli karena hendak membaca. Tapi seperti kata orang-orang, “terlalu banyak buku, terlampau sedikit waktu.” Demikianlah pada akhirnya, meski setiap pulang kerja saya sempatkan untuk membaca, namun mata selalu kalah dihajar lelah setelah berjam-jam menyuntuki angka-angka di layar komputer. Tapi di luar hal itu, Muhidin telah membuka kembali setapak jalan bagi minat yang sempat tak terawat. Kegandrungan saya pada literasi, khususnya pada buku—setidaknya sampai hari ini, ibarat kumbang yang terperangkap ke dalam toples dan tak hendak keluar lagi.

Dalam hal menulis pun tak jauh beda. Muhidin menyodorkan satu kasus yang bakal mendorong siapapun meraba ulang ketakutannya untuk menulis. Menurutnya, plagiasi—bagi para pemula, bukanlah jalan asing, ditempuh banyak orang malah. Ia mengambil contoh Sartre:       

“Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialisme sayap Kiri Prancis pernah melakukan plagiasi ketika pertama kali menulis novel. Seturut pengakuannya, novel pertamanya yang berjudul ‘Pour un Papillon’ (Demi Kupu-kupu) merupakan salinan plek dari buku cerita bergambar yang ia punyai yang terbit tiga bulan sebelum novelnya diterbitkan. Semua-muanya sama: tema, tokoh-tokoh, detail petualangannya, dan bahkan judul pun ia pinjam.”

Bukan laku plagiatnya yang hendak Muhidin tekankan, tapi keberanian yang tak boleh tertukar dengan ketakutan yang tak berdasar. Ya, ia mengobarkan pembacanya untuk membaca, membaca, dan menulis. Dua mantra itulah yang akhirnya menyeret saya ke “jalan sesat”.

Hari ini setiap kali saya bertemu beberapa kawan, mereka selalu bertanya tentang kawin. “Beli buku terus, kapan kawinnya?!” Seolah urusan yang satu itu adalah mantra sakti penangkal guna-guna istri muda. Di antara mereka ada juga yang agak bijak-bestari, ceramah dulu tentang sirah nabawiyah, lalu menjejalkan Ar Ruum ayat 21 agar saya membayangkan surat undangan pernikahan, lalu diakhiri dengan ucapan, “kurangi dulu beli bukunya, mending uangnya ditabung buat bikin buku nikah.” Baru-baru seorang saudara juga bilang, “coba cari kerja lagi, menulis doang ga bakal cukup, kan kamu juga suatu saat harus menikah.”

Ya, jalan ini memang “jalan sesat”. Tak banyak orang yang percaya. Dan sejujurnya saya juga tak butuh kepercayaan mereka. Saya yang paling berhak menentukan eksistensi dan makna hidup saya sendiri. Yang ingin saya sampaikan hanya satu: terimakasih banyak-banyak buat Muhidin. Jika suatu hari nanti hidup saya akhirnya berbelok karena harus berkompromi dengan banyak hal, setidaknya saya telah melalui perjalanan ini dengan senang dan pengalaman aduhai yang tak-tepermanai. [irf]           

30 September 2015

Kelas Resensi Pekan ke-3

  1. Burung-burung Manyar (YB Mangunwijaya)
Ini adalah kisah tentang sejarah yang tidak tampil dengan narasi hitam putih. Sejarah orang-orang kecil, yang kerap hadir hanya “di pinggiran” catatan resmi, justru membuat sudut pandang kita semakin kaya. Manusia yang hadir di tengah pusaran sejarah, ternyata tak sesederhana tampaknya. Mereka terlibat dalam kegagapan keberpihakan yang kompleks. Dengan demikian, kisah ini memerikan satu hal, bahwa dalam lingkup yang lebih luas, sejarah tak lagi relevan untuk dikutubkan menjadi dua bagian; antara lawan dan kawan, namun lebih layak untuk dihamparkan sebagai riwayat manusia yang bergelut di pusarannya, lengkap dengan keyakinan dan pilihan-pilihan hidup.
  1. Animal Farm (George Orwell)
Sebuah olok-olok terhadap pemerintahan Komunis Uni Soviet. Novel alegori ini—lengkap dengan penokohan para binatang, menghujam tepat di jantung. Sistem pemerintahan yang dianut selama lebih dari 70 tahun, akhirnya runtuh. Komunisme yang didadarkan Orwell di buku ini, tak lebih dari sebuah sistem yang hanya berhasil melahirkan para pemimpin yang diktator. Revolusi kaum Bolshevik yang mulanya menjanjikan perbaikan hidup, pada akhirnya hanya melahirkan kesengsaraan baru bagi rakyat. Novel ini berhasil melambungkan nama Orwell di kancah sastra dunia.
  1. Titik Nol (Agustinus Wibowo)
Setelah berkelana di buku “Selimut Debu” dan “Garis Batas”, di buku ini pun Agustinus Wibowo masih mengarungi kerasnya kehidupan di berbagai belahan dunia. Ia menembus kerasnya Kashmir, Himalaya yang anggun dan misterius, serta gejolak sosial yang mengerikan. Namun buku ini juga menjadi semacam titik balik dari petualangannya yang telah ditempuh selama bertahun-tahun. Ia yang sudah menghabiskan waktunya dalam perjalanan sejauh ribuan kilometer, ternyata justru menemukan makna perjalanan dari seseorang yang tak pernah ke mana-mana sepanjang hayatnya. Si musafir bersujud di samping ibunya yang tengah terbaring sakit.
  1. Siau Ling (Yapi Tambayong)
Yapi Tambayong alias Dova Zila alias Alif Dahya Munsyi alias Juliana C. Panda alias Jubal Anak Perang Imanuel alias Remy Sylado, di buku ini seperti hendak memotret akulturasi antar bangsa, terutama antara Jawa dengan Tionghoa. Lewat kisah yang mengangkat tema cinta, Yapi juga menjelentrehkan bagaimana kekuasaan yang disalahgunakan kerap semena-mena menggasak kehidupan rakyat, termasuk kehidupan cinta. Sesuai sub-judulnya yang berbunyi “Drama Musik Kemempelaian Budaya”, buku ini pun bercerita bagaimana alat musik bisa lahir dari akulturasi budaya.
  1. Oeroeg (Hella S. Hasse)
Ditulis oleh sastrawan Belanda, buku ini berkisah tentang persahabatan dua anak manusia beda ras dan beda bangsa, yang kemudian terpisahkan oleh gejolak politik. Oeroeg, anak pribumi, bersahabat dengan tokoh “aku” yang keturunan Belanda. Mereka—di masa kolonial, sejak kecil sampai remaja bersahabat dengan baik. Sampai kemudian arah politik mulai berubah, dan hubungan keduanya perlahan merenggang. Ditulis oleh seorang yang lahir dan tumbuh di Indonesia, kisah ini begitu hidup menggambarkan lanskap alam dan kehidupan sehari-hari. Karya Hella ini pada akhirnya mencuatkan beberapa pertanyaan, tentang apa sesungguhnya sahabat sejati? Apakah ia layak untuk diceraikan oleh perbedaan-perbedaan yang telah melekat dalam diri manusia?
  1. Jurnalisme Sastrawi (Linda Chrystanty dkk)
Buku ini oleh beberapa pembaca diberi bintang lima dari skala lima, sebagai nilai tertinggi dari kepuasan pembaca. Isinya menuliskan hal yang—di Indonesia relatif baru, yaitu jurnalisme sastrawi. Perpaduan antara jurnalisme yang ketat dan sastra yang melambungkan keindahan, berhasil membuat tulisan-tulisan di buku ini begitu memikat. Dengan mewawancarai puluhan bahkan bisa sampai ratusan narasumber–yang mayoritas adalah rakyat kecil, laporan-laporan yang dihasilkannya sangat kaya dan menarik. Linda Chrystanty, Andreas Harsono, dan yang lainnya, berhasil menghadirkan satu gaya penulisan berita tanpa dihantui oleh resiko yang cepat basi, malah sebaliknya—gaya ini, karena memakai pendekatan sastra, selalu menarik untuk dibaca ulang.
  1. Guerrilla Warfare (Che Guevara)
Pria kelahiran Argentina yang meninggal di Bolivia ini menghabiskan sebagian hidupnya di ladang-ladang pertempuran Amerika Latin. Bersama Fidel Castro ia berhasil menggulingkan pemerintahan diktator Batista. Buku ini disebut-sebut sebagai rujukan perang gerilya di seluruh dunia dengan berbagai macam penerapannya. Perjalanan hidup Che Guevara berpindah-pindah dari satu negara ke negara berikutnya. Ia membantu mereka yang ditindas oleh para pemimpin yang diktator. Prinsip gerilya yang ia terapkan, oleh beberapa kalangan diprediksi karena ia banyak membaca buku Mao, meskipun ia sendiri membantahnya. Inilah salah satu warisan berharga tentang prinsip perang gerilya, dari seorang pejuang yang sosoknya sangat ikonik. [ ]

23 September 2015

Telegram dari Keremangan yang Khayal dan yang Nyata

Seorang lelaki tengah duduk di rumah kontrakannya. Tiba-tiba pintu rumahnya diketuk. Di muka sudah berdiri seseorang, lalu memberinya sepucuk telegram; ibu si lelaki tadi meninggal dunia! Itulah kenyataan sesungguhnya yang harus ia hadapi, dan cerita-cerita sebelumnya hanyalah khayalannya belaka.
Itu adalah adegan di penghujung novel “Telegram” karya Putu Wijaya yang diterbitkan mula-mula di tahun 1973 oleh Pustaka Jaya. Novel itu bercerita tentang seorang lelaki yang selalu bersangka buruk terhadap telegram. Dalam benaknya, telegram hanyalah berisi warta-warta tentang kecelakaan, sakit keras, dan kematian.
Dengan kelihaian bercerita, Putu Wijaya membangun khayalan si tokoh dalam fiksi yang ia tulis. Beberapa pembaca menyebutnya sebagai kisah yang penuh dengan disorientasi, sebagian malah tak berhasil memahami alur kisahnya. Khayalan si lelaki terhadap isi telegram dikembangkan Putu Wijaya menjadi sulur-sulur cerita yang kompleks.
Putu seperti hendak menabrak “kejenuhan” karya realisme dengan cara membongkar alur cerita dan penokohan. Dalam “Telegram” tidak mudah untuk membedakan antara khayalan si lelaki dan kenyataan sebenarnya yang ia alami.
Kenyataan bahwa telegram datang ke si lelaki, dan mengabarkan bahwa ibunya meninggal. Tapi sebelum ia membuka dan membaca isinya, pikirannya kadung dikuasai rangkaian kekhawatiran dan ketakutan, yang menyebabkan ia melamunkan dan berbuat banyak hal yang rumit.
Novel setebal 143 halaman ini, selain alurnya yang menarik—juga pilihan kalimatnya, seperti yang pernah ditulis oleh Goenawan Mohamad, “Kita seperti digerakkan magnet kalimat-kalimatnya, bukan dengan deskripsi yang merayu perhatian, tapi dengan kiasan yang berenergi, bahkan ganas dan kadang-kadang menyentak mengerikan.”
“Telegram” memenangi Sayembara Mengarang Roman DKJ tahun 1972. Ihwal ini, Y. B. Mangunwijaya sempat menulis esai yang isinya mengatakan bahwa “Telegram” adalah karya yang matang dan dewasa, dan bentuk bertuturnya dinilai berhasil.
Selain itu, “Telegram” juga pernah diangkat ke layar lebar oleh sutradara Slamet Rahardjo, dalam proyek kerjasama antara Indonesia dan Prancis. Pasca dirilis di tahun 2002, film ini kemudian berhasil menyabet penghargaan di Festival Film Asia pasifik ke-46, sekaligus kategori aktris terbaik pun diraih oleh Ayu Azhari yang tampil di film itu.
Novel ini termasuk salah satu karya sastra yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan oleh Yayasan Lontar. Sementara jelang gelaran Frankfurt Book Fair 2015, novel ini pun diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh penerbit Angkor Verlag dengan judul “Telegramm”.
Penerjemahan novel ini ke dalam beberapa bahasa asing, tentu akan menjadi kesempatan baik untuk memperkenalkan salah satu karya penulis Indonesia, yang bentuk dan gaya bertuturnya dianggap berhasil oleh beberapa kalangan.

Di Frankfurt, “Telegram” akan hadir membawa tokoh-tokohnya yang hidup dalam remang antara khayal dan nyata, untuk dibaca oleh khalayak sastra dunia. [irf]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.

Penerbit Horlemann dan Kesusastraan Indonesia

Jauh sebelum program penerjemahan buku terkait gelaran Frankfurt Book Fair 2015, juga sebelum 18 buku karya pengarang Indonesia diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit Jerman, Belanda, serta Italia, buku-buku karya sastrawan Indonesia sebetulnya sudah banyak diterbitkan beberapa penerbit luar. Salah satu penerbit yang sudah cukup lama menerbitkan karya sastrawan Indonesia adalah Horlemann Verlag.
Penerbit ini dikenal sebagai salah satu penerbit di Jerman yang sangat konsisten memperkenalkan kesusastraan non-Eropa, terutama dari Asia dan Afrika, kepada publik pembaca Jerman. Kecenderungan tersebut merupakan pengejawantahan salah satu misi utama mereka yaitu meningkatkan perhatian masyarakat Jerman terhadap kebudayaan non-Eropa.
Pendiri penerbit ini adalah Jürgen Horlemann (1941-1995). Sejak semula, Horlemann dan koleganya telah menjadikan Asia sebagai prioritas penerbitannya. Beberapa pengarang Indonesia pernah mencicipi keterlibatan Horlemann dalam memperkenalkan khasanah kesusastraan Asia di Jerman.
Riwayat pergumulan Horlemann dengan buku Indoensia dimulai pada 1992.”Harimau! Harimau!” (Tiger! Tiger!) karya Moctar Loebis diterbitkan. Lalu pada 1993, kumpulan cerita pendek Leila S. Chudori yang berjudul “Malam Terakhir” diterbitkan dengan judul “Die Letzte Nacht”. Pada tahun yang sama, “Belenggu” (In Fasseln), karya Armijn Pane dan “Burung-burung Manyar” (Die Webervoegel) karangan Y.B. Mangunwijaya juga diterbitkan.
Tiga tahun kemudian, Horlemann kembali menerbitkan buku sastra Indonesia. “Ronggeng Dukuh Paruk” terbit dalam bahasa Jerman pada 1996 dengan judul Die Tanzerin von Dukuh Paruk. Lalu pada 1997, “Tarian Bumi” karya Oka Rusmini terbit pula dengan judul Erdetanz. Dan pada 2007 “Saman” karya Ayu Utami juga diterbitkan.
Yang paling banyak diterbitkan adalah karya satrawan Indonesia yang namanya bolak-balik menjadi nominasi peraih Nobel Sastra: Pramoedya Ananta Toer. Tak kurang dari lima karya pengarang tersebut pernah diterbitkan Horlemann: “Bukan Pasar Malam” (Mensch fur Mensch, 1993), “Keluarga Gerilya” (Die Familie der Partisanen,1997), “Jejak Langkah” (Spur der Schritte, 1999), “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” (Stilles Lied eines Stummen, Aufzeichnungen aus Buru,2000), dan “Gadis Pantai” (Die Braut des Bendoro, 2001).
Khusus untuk karya Pramoedya, selain Horlemann, ada dua penerbit besar Jerman yang juga menerbitkan karangannnya. Rowohlt Taschenbuch Verlag menerbitkan “Bumi Manusia” (Garten der Menschheit) pada 1988. Sedangkan pada 1994, Unions Verlag menerbitkanAnak “Semua Bangsa” (Kind aller Volker).
Menjelang gelaran Frankfurt Book Fair 2015, dengan Indonesia sebagai tamu kehormatan, Horlemann lagi-lagi ikut menerbitkan karya dari Indonesia. Kali ini, buku non-fiksi karya Linda Christanty, “Jangan Tulis Kami Teroris”, akan mereka terbitkan dengan judul: “Schreib ja nicht, das wir Terroristen Sind!”
Penerbit ini kadang dikritik “mengekploitasi” eksotisme negeri-negeri pasca-kolonial, termasuk Indonesia. Pilihan gambar sampulnya, seperti yang tercermin dalam perdebatan mengenai novel “Saman” karya Ayu Utami beberapa tahun silam, pernah dianggap membangkitkan kembali citraan eksotis negeri-negeri timur.

Kendati demikian, sejak kelahirannya, Horlemann Verlag punya jasa yang tidak patut untuk dilupakan dalam memperkenalkan teks-teks sastra Indonesia ke publik yang lebih luas, khususnya Jerman. Ia punya andil yang, kendati mungkin tak banyak dibicarakan, membangun perjumpaan budaya antara Jerman dan Indonesia, atau Eropa dan Asia (juga Afrika). [ ]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.

Iksaka Banu dan Hitam Putih Abu-abu Cerita Kolonialisme

Penulis cerita fiksi, di Indonesia, baik dalam bentuk novel atau pun cerita pendek, relatif masih sedikit yang menggarap tentang masa yang jauh ke belakang, masa ketika negara ini masih bernama Hindia Belanda. Yang paling fenomenal dari yang sedikit itu tentu adalah Tetralogi Buku. Sebuah magnum opus dari Pramoedya Ananta Toer itu dengan gemilang mendokumentasikan masa persalinan bangsa di titik yang paling menentukan.
Tahun 2014 terbit kumpulan cerita pendek dengan judul “Semua untuk Hindia” karya Iksana Banu, yang tema dan ide ceritanya mayoritas digali dari masa kolonialisme. Yang menarik dari kumpulan cerita ini adalah mata kisah ditulis dari pandangan orang-orang yang “bukan pribumi”. Jika selama ini narasi sejarah, baik yang berupa teks resmi maupun dalam bentuk fiksi, kerap ditulis dari sudut pandang pribumi dengan pengkutuban antara “kita” dengan gelagak nasionalisme dengan “mereka” sebagai si penjajah, maka Iksana Banu betutur dari sudut sebaliknya.
Cerita seperti ini memang bukan yang pertama kali, sebab—sekadar menyebut contoh, Y. B. Mangunwijaya pun pernah melakukannya dalam novel “Burung-burung Manyar”. Yang paling masyhur, tentu saja, seri terakhir katrologi Pulau Buru karya Pramoedya, "Rumah Kaca", yang memotret kisah pembenihan nasionalisme Indonesia dari sudut pandang pegawai kolonial, Pangemanann.
Dalam “Semua Untuk Hindia” yang menghimpun 13 cerita pendek, Iksana Banu mencoba menghamparkan kisah-kisah, yang meskipun berkait erat dengan sejarah, namun ia tidak menyajikannya dengan semangat “hitam-putih” antara si benar dan si salah. Abu-abu, atau katakanlah perspektif yang lebih kompleks, dalam memandang kolonialisme memang bukan hal dominan dalam cerita-cerita yang mengambil setting Hindia Belanda.
Dalam cerita “Semua untuk Hindia” (yang dijadikan judul buku), dikisahkan bagaimana seorang wartawan Belanda yang bersahabat dengan gadis kecil Puri Kesiman, dengan mata kepalanya sendiri melihat dahsyatnya Perang Puputan.
“Nyaris aku terkulai menyaksikan pemandangan ngeri di mukaku; puluhan pria, wanita, anak-anak, bahkan bayi dalam gendongan ibunya, dengan pakaian termewah yang pernah kulihat, terus merengsek ke arah Batalion 11 yang dengan gugup menembakkan Mauser mereka sesuai aba-aba komandan batalion. Rombongan indah ini tampaknya memang menghendaki kematian. Setiap kali satu deret manusia tumbang tersapu peluru, segera terbentuk lapisna lain di belakang mereka, meneruskan maju menyambut maut.”
Situasi yang melatari cerita itu jelas bukan narasi “hitam-putih”. Seorang wartawan Belanda, yang mempunyai ikatan persahabatan dengan gadis pribumi, merasakan kengerian ketika gadis tersebut akhirnya tewas, atau lebih tepatnya menewaskan diri, dalam sebuah pertempuran yang juga melantakkan kerabat si gadis, yang justru dilumatkan oleh bangsa di mana si wartawan tersebut berasal.
Ada semburat rasa kemanusiaan yang tak bisa ditawar di sana. Bagaimana pun menimbang dan memilih antara sahabat dan negara bukanlah sesuatu yang mudah. Di luar tragedi peperangan yang berkecamuk, Iksana Banu hendak menyorongkan “tragadi lain” yang barangkali sering dilupakan, yaitu kecamuk dalam diri manusia secara personal.
Manusia dalam konteks sejarah kolonialisme mempunyai sisi yang luas. Ia tak melulu dikalkulasi dalam polarisasi yang banal. Tekanan psikologis, kemesraan kemanusiaan, dan tarik ulur identitas dalam pemihakan, --meskipun sering tersapu narasi besar pencatatan sejarah, adalah juga yang hadir secara nyata dalam diri manusia.
Dalam cerita lain yang berjudul “Penunjuk Jalan”, dikisahkan bagaimana seorang dokter tentara Belanda tersesat bersama kawannya yang terluka di sebuah hutan. Di sana mereka bertemu dengan sosok Untung Surapati yang memperkenalkan dirinya sebagai “Pangeran Kebatinan”. Dialog pun terjadi. Dari pembicaraan tersebut terungkap tentang niat Belanda yang hendak membangun suasana negeri asalnya di daerah tropis, namun justru berdampak buruk terhadap sanitasi kota.
"Kota itu (Batavia) menjelma menjadi kota terkutuk. Sungai Ciliwung dicabik menjadi puluhan kanal sehingga arusnya melemah. Lumpur mengendap di sana-sini, menciptakan dinding-dinding parit yang becek. Kalau sedang pasang, seisi laut menerjang kota. Saat surut, bangkai ikan serta kotoran manusia terperangkap di selokan dan parit-parit tadi. Menebarkan udara tidak sehat. Pembesar Batavia mungkin orang-orang romantis yang rindu kampung halaman. Bermimpi memindahkan Negeri Belanda ke sini. Padahal iklim dan tanahnya sangat berbeda. Kanal yang semula digali untuk pengairan dan lalu lintas justru mempercepat penyebaran penyakit ke seluruh kota."
Di sini lagi-lagi terlihat, bahwa kaum kolonial bukanlah sebuah kumpulan manusia dengan isi kepala yang seragam. Ia sebagaimana entitas lain, mempunyai keragaman yang kompleks di berbagai lini, termasuk pemikiran. Namun di luar wacana pemaknaan ulang terhadap teks yang berkisah di masa kolonialisme, kemampuan Iksana Banu dalam menujudkan manusia di periode sejarah tersebut memang patut diapresiasi sebagai sebuah talenta tersendiri.
Mewakili penulis dari sudut penceritaan yang relatif jarang ditempuh oleh penulis lain, pilihan latar waktu, dan kepiawaian dalam meramu keduanya—meskipun baru buku ini saja yang ia lahirkan, barangkali alasan yang membuat karya Iksana Banu hendak dipamerkan di Frankfurt.
Dalam sejarah panjang umat manusia yang penuh oleh luka penindasan dan peperangan, narasi seperti ini memang perlu “dikunjungi” lagi. Bukan untuk menegaskan dendam, tapi sebuah ikhtiar dalam menyemai bibit rekonsiliasi, yang pada akhirnya—bermuara di waktu entah, garis batas seluruh warga dunia itu akan runtuh dan luluh, tak menyisakan apa pun, selain kemanusiaan. [irf]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.