Seorang
lelaki tengah duduk di rumah kontrakannya. Tiba-tiba pintu rumahnya diketuk. Di
muka sudah berdiri seseorang, lalu memberinya sepucuk telegram; ibu si lelaki
tadi meninggal dunia! Itulah kenyataan sesungguhnya yang harus ia hadapi, dan
cerita-cerita sebelumnya hanyalah khayalannya belaka.
Itu
adalah adegan di penghujung novel “Telegram” karya Putu Wijaya yang diterbitkan
mula-mula di tahun 1973 oleh Pustaka Jaya. Novel itu bercerita tentang seorang
lelaki yang selalu bersangka buruk terhadap telegram. Dalam benaknya, telegram
hanyalah berisi warta-warta tentang kecelakaan, sakit keras, dan kematian.
Dengan
kelihaian bercerita, Putu Wijaya membangun khayalan si tokoh dalam fiksi yang
ia tulis. Beberapa pembaca menyebutnya sebagai kisah yang penuh dengan
disorientasi, sebagian malah tak berhasil memahami alur kisahnya. Khayalan si
lelaki terhadap isi telegram dikembangkan Putu Wijaya menjadi sulur-sulur
cerita yang kompleks.
Putu
seperti hendak menabrak “kejenuhan” karya realisme dengan cara membongkar alur
cerita dan penokohan. Dalam “Telegram” tidak mudah untuk membedakan antara
khayalan si lelaki dan kenyataan sebenarnya yang ia alami.
Kenyataan
bahwa telegram datang ke si lelaki, dan mengabarkan bahwa ibunya meninggal.
Tapi sebelum ia membuka dan membaca isinya, pikirannya kadung dikuasai
rangkaian kekhawatiran dan ketakutan, yang menyebabkan ia melamunkan dan
berbuat banyak hal yang rumit.
Novel
setebal 143 halaman ini, selain alurnya yang menarik—juga pilihan kalimatnya,
seperti yang pernah ditulis oleh Goenawan Mohamad, “Kita seperti digerakkan
magnet kalimat-kalimatnya, bukan dengan deskripsi yang merayu perhatian, tapi
dengan kiasan yang berenergi, bahkan ganas dan kadang-kadang menyentak
mengerikan.”
“Telegram”
memenangi Sayembara Mengarang Roman DKJ tahun 1972. Ihwal ini, Y. B.
Mangunwijaya sempat menulis esai yang isinya mengatakan bahwa “Telegram” adalah
karya yang matang dan dewasa, dan bentuk bertuturnya dinilai berhasil.
Selain
itu, “Telegram” juga pernah diangkat ke layar lebar oleh sutradara Slamet
Rahardjo, dalam proyek kerjasama antara Indonesia dan Prancis. Pasca dirilis di
tahun 2002, film ini kemudian berhasil menyabet penghargaan di Festival Film
Asia pasifik ke-46, sekaligus kategori aktris terbaik pun diraih oleh Ayu
Azhari yang tampil di film itu.
Novel
ini termasuk salah satu karya sastra yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris dan diterbitkan oleh Yayasan Lontar. Sementara jelang gelaran Frankfurt
Book Fair 2015, novel ini pun diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh
penerbit Angkor Verlag dengan judul “Telegramm”.
Penerjemahan
novel ini ke dalam beberapa bahasa asing, tentu akan menjadi kesempatan baik
untuk memperkenalkan salah satu karya penulis Indonesia, yang bentuk dan gaya
bertuturnya dianggap berhasil oleh beberapa kalangan.
Di
Frankfurt, “Telegram” akan hadir membawa tokoh-tokohnya yang hidup dalam remang
antara khayal dan nyata, untuk dibaca oleh khalayak sastra dunia. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment