23 September 2015

Ahmad Fuadi dan Refleksi Kegelisahan Sebuah Era

Dalam sepuluh tahun terakhir, terhitung sejak novel “Laskar Pelangi” karangan Andrea Hirata terbit di tahun 2005, di Indonesia bermunculan kisah dengan sulur bocah kampung dengan kondisi ekonomi yang ala kadarnya dan berhasil menembus pendidikan di luar negeri. Buku-buku dengan cerita seperti ini laku gilang gemilang di pasaran.
Fenomena ini, menurut Hetih Rusli (seorang editor buku), “Di Indonesia, di negara dengan persoalan bangsa yang mengalami krisis identitas, korupsi, ketidakjelasan hukum, kita butuh dibuat percaya bahwa masih ada jalan keluar dari segala masalah. Bangsa ini sedang butuh harapan. Bahwa dalam kemiskinan pun seseorang bisa berjuang dan menjadi ‘seseorang’. Maka dari itu tidak heran buku-buku macam ’from zero to hero’ pun laris manis.”
Di tengah kondisi seperti ini, karya-karya Ahmad Fuadi hadir mewarnai dunia perbukuan, dengan kisah yang menyelipkan perspektif seorang lulusan pesantren. Alif, tokoh utama yang ia bangun, adalah seorang anak kampung yang lahir dan tumbuh di dekat danau Maninjau, Sumatera Barat. Seperti bocah seusianya, Alif banyak menghabiskan waktu kanaknya dengan bermain bola di sawah berlumpur, mandi di Danau Maninjau, dan berburu durian di hutan Bukit Barisan.
Waktu yang terus berlalu kemudian membawanya ke satu babak baru dalam hidup, ia mesti merantau ke tanah Jawa. Ibunya menghendaki Alif menjadi seorang pendakwah, penyebar risalah agung nan mulia seperti Buya Hamka. Ia kemudian terdampar di Ponorogo, di sebuah pesantren masyhur, yaitu Pesantren Darussalam Gontor, yang oleh penulisnya disamarkan menjadi Pondok Madani.
Detik-detik pertama belajar di lembaga Islam, gurunya menghujamkan satu “mantra” yang hebat; “Man jadda wajada” (siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses). “Mantra” itu di hati dan lereng ingatan Alif, layaknya seekor serangga yang terperangkap dalam toples, dan tak bisa keluar lagi.
Diwarnai dengan persahabatan masa muda yang layak dikenang, juga haru biru kehidupan pesantren modern yang disiplin, nasehat sang guru berhasil menjadi semacam obor bagi Alif dalam menempuh proses belajarnya. Kisah tersebut terbuhul dalam buku “Negeri 5 Menara” yang terbit di tahun 2009. Buku ini kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul “The Land of Five Towers”, dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama tahun 2011.
Masih di tahun yang sama, novel kedua Ahmad Fuadi pun terbit, yaitu “Ranah 3 Warna”. Kisahnya melanjutkan dari buku sebelumnya. Kali ini Alif telah lulus dari Pondok Madani. Ia yang bercita-cita menjadi seorang tekhnokrat seperti Habibie, sudah tak sabar ingin melanjutkan kuliah ke Bandung. Namun ternyata jalan yang terhampar tak semudah keinginannya. Alif digempur berbagai masalah yang nyaris membuat dirinya menyerah. Ternyata “mantra” pertama dari sang guru tak benar-benar ampuh.
Di tengah kecemasan, Alif tiba-tiba mendapat inspirasi dari timnas sepakbola Denmark—yang mulanya hanya pengganti Yogoslavia, dan tentu saja underdog—namun kemudian menjadi kampiun di ajang Piala Eropa 1992 setelah mengalahkan Jerman.
Keberhasilan timnas Denmark memacu Alif untuk lebih keras berusaha. Selain itu, untuk mengendapkan luapan semangat agar ketika gagal tidak jatuh ke dalam keputusasaan, Alif kembali teringat akan sebuah “mantra” yang berbunyi “Man shabara zhafira” (siapa yang bersabar akan beruntung). Ia pun perlahan meraih satu persatu mimpinya.
Trilogi kisah yang ditulis Ahmad Fuadi kemudian dipungkas oleh “Rantau 1 Muara” yang terbit tahun 2013. Perjalanan Alif belum berakhir. Ia menjelma menjadi seseorang yang berhasil di bidang akademik. Selain itu, tulisannya sudah tersebar di berbagai media. Di hatinya tumbuh satu keyakinan bahwa jalan lempang menuju pekerjaan yang baik tidak akan sulit diraih. Namun lagi-lagi rintangan menghadang; krisis ekonomi menghajar Indonesia dan stabilitas nasional goyah. Penolakan kerja mengalir, kepercayan dirinya mulai luntur.
Tak lama nasib baik mulai berpihak lagi. Ia diterima sebgai wartawan di sebuah media terkenal. Selain itu, Alif pun berhasil melanjutkan pendidikan ke Washington DC dengan meraih beasiswa. Namun lagi-lagi sebuah peristiwa besar menghajar. Pasca peristiwa 11 September 2001, Alif kehilangan orang-orang terdekatnya. Inilah batu tapal yang kemudian membuat Alif menghela hidup dengan perenungan. Serangkaian pertanyaan ia lontarkan kepada dirinya sendiri.
Ia memikirkan ulang misi hidupnya, ihwal dari mana dan hendak ke mana ia bermuara. Di titik ini Alif kemudian teringat “mantra” ketiga yang ia peroleh dari pesantrennya dulu, yaitu ”Man saara ala darbi washala” (siapa yang berjalan di jalan-Nya akan sampai ke tujuan). Rantau dan muara. Alif telah merantau dalam waktu lama dan menjangkau negeri-negeri jauh, namun pada akhirnya semuanya akan bermuara kepada-Nya, yaitu muara segala muara.

Trilogi yang ditulis Ahmad Fuadi adalah warna tersendiri dari kisah-kisah yang melambungkan keberhasilan pendidikan dan hidup. Cerita ini akan dipamerkan di Frankfurt Book Fair 2015. Karyanya penting untuk hadir di sana, sebab akan memberi gambaran tentang dinamika perbukuan di Indonesia yang terkait langsung dengan kondisi bangsa, di mana kisahnya--seperti kata Hetih Rusli, adalah karya yang merefleksikan kegelisahan sebuah era. [irf]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.

No comments: