Dalam sepuluh tahun terakhir,
terhitung sejak novel “Laskar Pelangi” karangan Andrea Hirata terbit di tahun
2005, di Indonesia bermunculan kisah dengan sulur bocah kampung dengan kondisi
ekonomi yang ala kadarnya dan berhasil menembus pendidikan di luar negeri.
Buku-buku dengan cerita seperti ini laku gilang gemilang di pasaran.
Fenomena ini, menurut Hetih
Rusli (seorang editor buku), “Di Indonesia, di negara dengan persoalan bangsa
yang mengalami krisis identitas, korupsi, ketidakjelasan hukum, kita butuh
dibuat percaya bahwa masih ada jalan keluar dari segala masalah. Bangsa ini
sedang butuh harapan. Bahwa dalam kemiskinan pun seseorang bisa berjuang dan
menjadi ‘seseorang’. Maka dari itu tidak heran buku-buku macam ’from zero to
hero’ pun laris manis.”
Di tengah kondisi seperti ini,
karya-karya Ahmad Fuadi hadir mewarnai dunia perbukuan, dengan kisah yang
menyelipkan perspektif seorang lulusan pesantren. Alif, tokoh utama yang ia
bangun, adalah seorang anak kampung yang lahir dan tumbuh di dekat danau
Maninjau, Sumatera Barat. Seperti bocah seusianya, Alif banyak menghabiskan
waktu kanaknya dengan bermain bola di sawah berlumpur, mandi di Danau Maninjau,
dan berburu durian di hutan Bukit Barisan.
Waktu yang terus berlalu
kemudian membawanya ke satu babak baru dalam hidup, ia mesti merantau ke tanah
Jawa. Ibunya menghendaki Alif menjadi seorang pendakwah, penyebar risalah agung
nan mulia seperti Buya Hamka. Ia kemudian terdampar di Ponorogo, di sebuah pesantren
masyhur, yaitu Pesantren Darussalam Gontor, yang oleh penulisnya disamarkan
menjadi Pondok Madani.
Detik-detik pertama belajar di
lembaga Islam, gurunya menghujamkan satu “mantra” yang hebat; “Man jadda
wajada” (siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses). “Mantra” itu di hati dan
lereng ingatan Alif, layaknya seekor serangga yang terperangkap dalam toples,
dan tak bisa keluar lagi.
Diwarnai dengan persahabatan
masa muda yang layak dikenang, juga haru biru kehidupan pesantren modern yang
disiplin, nasehat sang guru berhasil menjadi semacam obor bagi Alif dalam
menempuh proses belajarnya. Kisah tersebut terbuhul dalam buku “Negeri 5
Menara” yang terbit di tahun 2009. Buku ini kemudian diterjemahkan ke bahasa
Inggris dengan judul “The Land of Five Towers”, dan diterbitkan oleh Gramedia
Pustaka Utama tahun 2011.
Masih di tahun yang sama, novel
kedua Ahmad Fuadi pun terbit, yaitu “Ranah 3 Warna”. Kisahnya melanjutkan dari
buku sebelumnya. Kali ini Alif telah lulus dari Pondok Madani. Ia yang
bercita-cita menjadi seorang tekhnokrat seperti Habibie, sudah tak sabar ingin
melanjutkan kuliah ke Bandung. Namun ternyata jalan yang terhampar tak semudah
keinginannya. Alif digempur berbagai masalah yang nyaris membuat dirinya
menyerah. Ternyata “mantra” pertama dari sang guru tak benar-benar ampuh.
Di tengah kecemasan, Alif
tiba-tiba mendapat inspirasi dari timnas sepakbola Denmark—yang mulanya hanya
pengganti Yogoslavia, dan tentu saja underdog—namun kemudian menjadi kampiun di
ajang Piala Eropa 1992 setelah mengalahkan Jerman.
Keberhasilan timnas Denmark
memacu Alif untuk lebih keras berusaha. Selain itu, untuk mengendapkan luapan
semangat agar ketika gagal tidak jatuh ke dalam keputusasaan, Alif kembali
teringat akan sebuah “mantra” yang berbunyi “Man shabara zhafira” (siapa yang
bersabar akan beruntung). Ia pun perlahan meraih satu persatu mimpinya.
Trilogi kisah yang ditulis Ahmad
Fuadi kemudian dipungkas oleh “Rantau 1 Muara” yang terbit tahun 2013.
Perjalanan Alif belum berakhir. Ia menjelma menjadi seseorang yang berhasil di
bidang akademik. Selain itu, tulisannya sudah tersebar di berbagai media. Di
hatinya tumbuh satu keyakinan bahwa jalan lempang menuju pekerjaan yang baik
tidak akan sulit diraih. Namun lagi-lagi rintangan menghadang; krisis ekonomi
menghajar Indonesia dan stabilitas nasional goyah. Penolakan kerja mengalir,
kepercayan dirinya mulai luntur.
Tak lama nasib baik mulai
berpihak lagi. Ia diterima sebgai wartawan di sebuah media terkenal. Selain
itu, Alif pun berhasil melanjutkan pendidikan ke Washington DC dengan meraih
beasiswa. Namun lagi-lagi sebuah peristiwa besar menghajar. Pasca peristiwa 11
September 2001, Alif kehilangan orang-orang terdekatnya. Inilah batu tapal yang
kemudian membuat Alif menghela hidup dengan perenungan. Serangkaian pertanyaan
ia lontarkan kepada dirinya sendiri.
Ia memikirkan ulang misi
hidupnya, ihwal dari mana dan hendak ke mana ia bermuara. Di titik ini Alif
kemudian teringat “mantra” ketiga yang ia peroleh dari pesantrennya dulu, yaitu
”Man saara ala darbi washala” (siapa yang berjalan di jalan-Nya akan sampai ke
tujuan). Rantau dan muara. Alif telah merantau dalam waktu lama dan menjangkau
negeri-negeri jauh, namun pada akhirnya semuanya akan bermuara kepada-Nya,
yaitu muara segala muara.
Trilogi yang ditulis
Ahmad Fuadi adalah warna tersendiri dari kisah-kisah yang melambungkan
keberhasilan pendidikan dan hidup. Cerita ini akan dipamerkan di Frankfurt Book
Fair 2015. Karyanya penting untuk hadir di sana, sebab akan memberi gambaran
tentang dinamika perbukuan di Indonesia yang terkait langsung dengan kondisi
bangsa, di mana kisahnya--seperti kata Hetih Rusli, adalah karya yang
merefleksikan kegelisahan sebuah era. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment