Budi
Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan
kamarahan kepada laki-laki. Sementara Putu Wijaya berkomentar dengan ungkapan
“kebawelan yang panjang”.
Komentar
kedua pengarang itu ditujukan kepada Nh. Dini. Ya, pengarang perempuan
Indonesia berusia 79 tahun ini, dalam karya-karyanya, baik novel atau pun
cerita pendek, memang kerap bersuara dari sudut pandang perempuan.
Sebagai
contoh, dalam novel “Pada Sebuah Kapal” yang mula-mula terbit di tahun 1972,
Nh. Dini, dalam sebuah wawancara dengan tim dokumentasi Taman Ismail Marzuki,
mengutarakan bahwa menurutnya, novel tersebut adalah perlawanannya terhadap
budaya patriaki, di mana kuasa lelaki begitu dominan, baik di rumah maupun di masyarakat.
Dalam
novel “Kemayoran”, yang menceritakan perjalanannya dalam meniti karir sebagai
pramugari, Dini pun sempat bercerita tentang kondisi perempuan yang masih
terpinggirkan. Ia menjelentrehkan kondisi kaumnya yang kerap menjadi warga
kelas dua dalam kehidupan sehari-hari.
Begini
tulisnya, “Di tahun lima puluhan, masih amat sedikit istri-istri yang bekerja
di luar rumah. Dan jika istri bekerja, pada umumnya mereka menjabat sebagai
guru, perawat atau tugas-tugas yang berkaitan erat dengan kewanitaan. Perkataan
kodrat acap kali disalahtafsirkan. Orang sering menyebutkan bahwa kodrat wanita
adalah tinggal di rumah, memasak dan memelihara anak.”
Dalam
satu novel dengan latar belakang transmigrasi, Dini juga menulis tentang
lemahnya posisi perempuan di tengah kehidupan yang dikusai oleh narasi lelaki.
Dikisahkan dalam buku yang berjudul “Orang-orang Tran”, ada seorang anak
perempuan dari orangtua yang miskin, yang “dijual” dengan cara dinikahkan
dengan laki-laki tua nan kaya. Dini lagi-lagi menghujam isu dominasi gender
tersebut.
Karya-karya
Dini yang kerap dihiasi “kebawelan itu”, sampai hari ini ketika usianya sudah
senja, masih sering diterbitkan ulang oleh beberapa penerbit. Hal ini
menunjukkan bahwa pembacanya dari tahun ke tahun, seiring bergantinya generasi,
relatif stabil dalam hal mengapresiasi tulisannya. Karya Dini yang berjudul
“Keberangkatan”, bahkan pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
Yayasan Lontar dan diberi judul “Departures”.
Penulis
yang sempat menjadi istri seorang diplomat asing ini, tak jarang pula menulis
kisah-kisah yang diangkat langsung dari kehidupannya nyatanya. Pengalaman dan
liku-liku panjang, baik semasa kecil dan remaja, maupun dalam mengikuti sang
suami, ia tuliskan dalam seri cerita kenangan. Dengan gaya menulis yang—oleh
beberapa orang disebut konvensional, Dini begitu produktif melahirkan berbagai
cerita.
Proses
kreatif Nh. Dini dalam melahirkan karya-karyanya adalah dengan cara membuat
“tabungan”. Ia mencatat segala hal yang menurutnya menarik dan bisa dibuat cerita.
Misal ketika sedang nonton berita, di sampingnya selalu tersedia blocknote
untuk mencatat segala warta yang bisa menjadi ide dalam kisah fiktif.
Karena
kebiasaannya tersebut, ia bahkan sudah sampai pada tahap bisa memprediksi,
apakah kilasan peristiwa di sekitarnya--yang menurutnya menarik itu, akan
menjadi sebuah cerita pendek atau bahkan menjadi novel.
Tapi
apa yang dimiliki Dini dalam menangkap dan meramu gagasan cerita-ceritanya,
seperti juga semua penulis, tetap tak bisa dipisahkan dengan proses membaca.
“Kalau mau jadi penulis, ya harus banyak baca, tidak hanya buku-buku sastra,
tapi pengetahuan yang lain juga,” ungkapnya.
Hari
ini, ia yang juga pengelola rumah baca, karya-karyanya bersiap diboyong ke
Frankfurt Book Fair 2015.
“Kebawelan”
Dini dalam isu gender, lengkap dengan kenangan-kenangan di sepanjang riwayat
hidupnya, yang kemudian tersaji dalam banyak kisah, adalah juga sekeping wajah
dari keragaman sastra Indonesia yang hendak ditampilkan di Jerman. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment