Pada buku kumpulan cerita pendek
yang berjudul “Ular di Mangkuk Nabi”, ada dua orang sastrawan yang memberikan
pengantar dan penutup pada karya Triyanto Triwikromo yang dirilis tahun 2009
tersebut. Mereka adalah Goenawan Mohamad (pengantar) dan Budi Darma (penutup).
Keduanya mempunyai pandangan yang berbeda. Yang satu seperti hendak meneguhkan,
sedangkan yang satu lagi meruntuhkan.
“Menakjubkan dalam dua ketukan”,
ungkap si pengantar. Sementara kata si penutup, “Titik berat kekuatan retor
bukan dalam menyampaikan gagasan, namun dalam menyampaikan kalimat-kalimat
indah dan menarik.”
“Ular di Mangkuk Nabi” terdiri
dari 15 kisah yang semuanya dibangun oleh aroma realisme magis, dengan latar
dan tokoh--yang karena mayoritas tidak menunjukkan ke-Indonesia-an, serta gaya
bertutur yang loncat-loncat, cenderung membuat kumpulan cerpen ini, bagi
beberapa pembaca, sulit diikuti dan dinikmati.
Bahasa yang digunakan Triyanto
sejak kisah pertama yang berjudul “Iblis Paris”, hingga cerita terakhir yaitu
“Malaikat Tanah Asal”, kerap trengginas, namun berpeluang “meninggalkan”
pembacanya yang tercecer di belakang, mengejar makna yang ingin si penulis
sampaikan.
Kondisi seperti ini, menurut
Goenawan Mohamad, karena kisah Triyanto dibangun dalam lanskap imajiner, yang
sebagian orang melihatnya sebagai varian dari realisme magis--sejak karya
Borges dan Marquez mempengaruhi prosa Indonesia; kumpulan kisah Triyanto
disebutnya dengan “dihuni oleh hal-hal yang datang dan pergi seperti dalam
waham atau mimpi paling gila.”
Jika menilik buku kumpulan
cerita pendek Triyanto yang lain, misalnya yang terbit pada tahun 2003 dan
2004, ada beberapa kisah dengan kalimat-kalimat seperti ini :
“Iblis, yang kau sangka tak
memiliki sayap dan kerling mata ungu, selalu tak bisa menyemburkan gerimis pada
malam yang perih, Ibu.” (“Malam Sepasang Lampion”)
“Ah, mungkin saya memang anjing
kurap. Kalau bukan anjing, tak mungkin mata saya ditampar oleh seonggok tahi
ketika hendak beol di toilet Bandara King Abdul Aziz. Kalau saya manusia
terpuji, tak mungkin selangkangan saya sobek saat melakukan sai dari Bukit Safa
ke Bukit Marwah.” (“Sayap Anjing”)
Budi Darma menjelaskan, bahwa
pasca sastra Indonesia meninggalkan ke-Melayu-an di penghujung 1920-an;
retorik, bentuk, dan bunga-bunga bahasa dalam sastra Indonesia cenderung mulai
berkurang, para pengarang mulai lebih memperhatikan isi. Menurutnya, hal ini
menjadikan bahasa sastra lebih straightforward, langsung, dan lugas.
Pada karya Triyanto, Budi Darma
menilai bahwa ada gejala tentang zaman yang kembali berulang. Dengan membaca
dua contoh kutipan yang disebutkan sebelumnya, agaknya bukan hanya pada “Ular
di Mangkuk Nabi” saja yang dilekatkan oleh penulis “Orang-orang Bloomington”
itu, ketika berhadapan dengan karya Triyanto yang lain, barangkali berlaku
tentang sastra yang melarikan diri dari kaidah.
Lebih lanjut Budi Darma
menjelaskan, pada genre tertentu, sastra terikat oleh kaidah bahwa retorik
memerlukan argumentasi dan logika, artinya segala sesuatu bukan hanya enak
didengar, namun juga logis. Selain itu, juga mesti plausibility (mungkin
terjadi), dan life-likeness (seperti dalam kehidupan nyata).
Triyanto Triwikromo yang karya
pertamanya terbit di tahun 1987 dan berjudul “Rezim Seks”, selain banyak
menulis cerita pendek, juga rajin membuat puisi. Dua buku kumpulan puisinya
yang berjudul “Pertempuran Rahasia” (2010) dan “Kematian Kecil Kartosoewirjo”
(2015), berhasil menarik perhatian para pembaca puisi.
Berbeda dengan beberapa cerita
pendeknya, pada puisi, Triyanto justru lebih lugas dalam berbahasa. Pada
kumpulan puisi yang hanya mengorbitkan satu tokoh, yaitu Kartosoewirjo, ia
menulis kalimat-kalimat yang jernih dan tajam. Sejumput kegetiran di akhir
riwayat petualangan pemimpin DI/TII itu, larut dalam sejumlah pertanyaan
kontemplatif yang menggugah :
“Apakah aku samudra dan Kau
hanyalah sungai kecil / apakah aku tak terhingga dan Kau hanyalah ketiadaan /
apakah aku hukum dan Kau hanya hakim di luar peradilan / apakah aku jawaban dan
Kau hanya pertanyaan sepele sebelum ujian / apakah aku cahaya dan Kau hanya
gelap setelah hujan?” (“Gusti, Apakah Kau Juga Kesepian”)
Pada puisi lain yang berjudul
“Ganti Baju”, dua kalimat yang ditulis Triyanto, barangkali telah berhasil
membuat pembaca—mengutip Chairil, berdegap hati :
“Apakah pelayat perlu baju baru
untuk bergegas ke makam? / Apakah kau perlu baju baru untuk menjemput
kematianmu?”
Dalam perjalanan
kepengarangannya, selain karya-karyanya yang telah disebut di atas, penulis
kelahiran Salatiga ini juga telah melahirkan; “Ragaula” (2002), “Anak-anak
Mengasah Pisau-Children Sharpening The Knives” (sebuah dwilogi di tahun 2003),
“Celeng Satu Celeng Semua” (2013) dan “Surga Sungsang” (2014). Selain itu, ia
pun hadir antologi cerita pendek pilihan harian Kompas, yaitu “Smokol”.
Oktober yang akan
datang, buku-buku cerita pendek dan puisi Triyanto Triwikromo akan hadir di
Frankfurt Book Fair 2015. Bentuk ekspresinya dalam berkisah telah memperkaya
ragam kesusastraan Indonesia. Beberapa kisahnya disebut oleh Goenawan Mohamad
dengan, “Bagaimanapun ganjilnya peristiwa yang digambarkannya, cerita-cerita
pendek ini tidak pernah awut-awutan.” [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment