23 September 2015

Ekspresi Berbahasa Triyanto Triwikromo

Pada buku kumpulan cerita pendek yang berjudul “Ular di Mangkuk Nabi”, ada dua orang sastrawan yang memberikan pengantar dan penutup pada karya Triyanto Triwikromo yang dirilis tahun 2009 tersebut. Mereka adalah Goenawan Mohamad (pengantar) dan Budi Darma (penutup). Keduanya mempunyai pandangan yang berbeda. Yang satu seperti hendak meneguhkan, sedangkan yang satu lagi meruntuhkan.
“Menakjubkan dalam dua ketukan”, ungkap si pengantar. Sementara kata si penutup, “Titik berat kekuatan retor bukan dalam menyampaikan gagasan, namun dalam menyampaikan kalimat-kalimat indah dan menarik.”
“Ular di Mangkuk Nabi” terdiri dari 15 kisah yang semuanya dibangun oleh aroma realisme magis, dengan latar dan tokoh--yang karena mayoritas tidak menunjukkan ke-Indonesia-an, serta gaya bertutur yang loncat-loncat, cenderung membuat kumpulan cerpen ini, bagi beberapa pembaca, sulit diikuti dan dinikmati.
Bahasa yang digunakan Triyanto sejak kisah pertama yang berjudul “Iblis Paris”, hingga cerita terakhir yaitu “Malaikat Tanah Asal”, kerap trengginas, namun berpeluang “meninggalkan” pembacanya yang tercecer di belakang, mengejar makna yang ingin si penulis sampaikan.
Kondisi seperti ini, menurut Goenawan Mohamad, karena kisah Triyanto dibangun dalam lanskap imajiner, yang sebagian orang melihatnya sebagai varian dari realisme magis--sejak karya Borges dan Marquez mempengaruhi prosa Indonesia; kumpulan kisah Triyanto disebutnya dengan “dihuni oleh hal-hal yang datang dan pergi seperti dalam waham atau mimpi paling gila.”
Jika menilik buku kumpulan cerita pendek Triyanto yang lain, misalnya yang terbit pada tahun 2003 dan 2004, ada beberapa kisah dengan kalimat-kalimat seperti ini :
“Iblis, yang kau sangka tak memiliki sayap dan kerling mata ungu, selalu tak bisa menyemburkan gerimis pada malam yang perih, Ibu.” (“Malam Sepasang Lampion”)
“Ah, mungkin saya memang anjing kurap. Kalau bukan anjing, tak mungkin mata saya ditampar oleh seonggok tahi ketika hendak beol di toilet Bandara King Abdul Aziz. Kalau saya manusia terpuji, tak mungkin selangkangan saya sobek saat melakukan sai dari Bukit Safa ke Bukit Marwah.” (“Sayap Anjing”)
Budi Darma menjelaskan, bahwa pasca sastra Indonesia meninggalkan ke-Melayu-an di penghujung 1920-an; retorik, bentuk, dan bunga-bunga bahasa dalam sastra Indonesia cenderung mulai berkurang, para pengarang mulai lebih memperhatikan isi. Menurutnya, hal ini menjadikan bahasa sastra lebih straightforward, langsung, dan lugas.
Pada karya Triyanto, Budi Darma menilai bahwa ada gejala tentang zaman yang kembali berulang. Dengan membaca dua contoh kutipan yang disebutkan sebelumnya, agaknya bukan hanya pada “Ular di Mangkuk Nabi” saja yang dilekatkan oleh penulis “Orang-orang Bloomington” itu, ketika berhadapan dengan karya Triyanto yang lain, barangkali berlaku tentang sastra yang melarikan diri dari kaidah.
Lebih lanjut Budi Darma menjelaskan, pada genre tertentu, sastra terikat oleh kaidah bahwa retorik memerlukan argumentasi dan logika, artinya segala sesuatu bukan hanya enak didengar, namun juga logis. Selain itu, juga mesti plausibility (mungkin terjadi), dan life-likeness (seperti dalam kehidupan nyata).
Triyanto Triwikromo yang karya pertamanya terbit di tahun 1987 dan berjudul “Rezim Seks”, selain banyak menulis cerita pendek, juga rajin membuat puisi. Dua buku kumpulan puisinya yang berjudul “Pertempuran Rahasia” (2010) dan “Kematian Kecil Kartosoewirjo” (2015), berhasil menarik perhatian para pembaca puisi.
Berbeda dengan beberapa cerita pendeknya, pada puisi, Triyanto justru lebih lugas dalam berbahasa. Pada kumpulan puisi yang hanya mengorbitkan satu tokoh, yaitu Kartosoewirjo, ia menulis kalimat-kalimat yang jernih dan tajam. Sejumput kegetiran di akhir riwayat petualangan pemimpin DI/TII itu, larut dalam sejumlah pertanyaan kontemplatif yang menggugah :
“Apakah aku samudra dan Kau hanyalah sungai kecil / apakah aku tak terhingga dan Kau hanyalah ketiadaan / apakah aku hukum dan Kau hanya hakim di luar peradilan / apakah aku jawaban dan Kau hanya pertanyaan sepele sebelum ujian / apakah aku cahaya dan Kau hanya gelap setelah hujan?” (“Gusti, Apakah Kau Juga Kesepian”)
Pada puisi lain yang berjudul “Ganti Baju”, dua kalimat yang ditulis Triyanto, barangkali telah berhasil membuat pembaca—mengutip Chairil, berdegap hati :
“Apakah pelayat perlu baju baru untuk bergegas ke makam? / Apakah kau perlu baju baru untuk menjemput kematianmu?”
Dalam perjalanan kepengarangannya, selain karya-karyanya yang telah disebut di atas, penulis kelahiran Salatiga ini juga telah melahirkan; “Ragaula” (2002), “Anak-anak Mengasah Pisau-Children Sharpening The Knives” (sebuah dwilogi di tahun 2003), “Celeng Satu Celeng Semua” (2013) dan “Surga Sungsang” (2014). Selain itu, ia pun hadir antologi cerita pendek pilihan harian Kompas, yaitu “Smokol”.

Oktober yang akan datang, buku-buku cerita pendek dan puisi Triyanto Triwikromo akan hadir di Frankfurt Book Fair 2015. Bentuk ekspresinya dalam berkisah telah memperkaya ragam kesusastraan Indonesia. Beberapa kisahnya disebut oleh Goenawan Mohamad dengan, “Bagaimanapun ganjilnya peristiwa yang digambarkannya, cerita-cerita pendek ini tidak pernah awut-awutan.” [irf]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.

No comments: