23 September 2015

Teks yang Berlarian ke Frankfurt

Sejak menerbitkan kumpulan puisi “Abad yang Berlari” pada 1984, karya-karya Afrizal Malna, yang tak melulu puisi, kerap “dikeluhkan” para pembaca sebagai karya yang sulit dimengerti. Dan “ketidakmengertian” para pembaca ini kadang masih terdengar sampai sekarang, ketika si pengarang cum penyair ini masih produktif menulis di berbagai surat kabar.
Ketika menulis pengantar untuk buku kumpulan prosanya yang berjudul “Seperti Sebuah Novel yang Malas Mengisahkan Manusia”, Afrizal Malna mencoba mengidentifikasi dirinya sebagai seorang pengarang yang “peduli dengan begitu banyak lorong dalam bahasa”. Menurutnya, ia memahami kerja dalam kesusastraan seperti ledakan dalam sebuah bangunan dan strukturnya melarikan diri lalu membuat bangunan yang lain.
Sementara dalam sebuah kesempatan wawancara dengan Emilio Arauxo (salah seorang penerjemah karyanya), Afrizal mengatakan, dan ini semacam konsepsi kepenyairannya, “Pengalaman saya dalam menulis puisi membawa saya kepada pemahaman terhadap bahasa yang terbuka. Puisi tidak menciptakan bahasa baru dalam bahasa, melainkan memainkan medan bahasa yang hidup dalam berbagai gejala komunikasi di sekitar kita dalam rangka sebuah permainan lain di medan politik pemaknaan. Bahasa dalam banyak kerja penulisan puisi-puisi saya lebih banyak dilahirkan lewat cara berpikir dengan gambar dan benda-benda.”
“Lorong”, “melarikan diri”, “permainan”, dan “politik pemaknaan”, setidaknya empat hal itu yang dapat diidentifikasi dari dua pernyataan Afrizal tersebut. Dari empat hal itu, barangkali sebagian “keidakmengertian” karya-karyanya bermula.
“Lorong-lari-main-politik”; rasa-rasanya bukanlah kumpulan kata yang bermakna statis, diam, dan lalu mudah untuk “ditangkap”, namun justru sebaliknya. Dalam “lorong” selalu ada kemungkinan situasi yang tak berujung, sementara “lari” jelas adalah kata kerja yang lahir karena adanya gerak, dan gerak adalah perlawanan terhadap diam. Kata “main” juga bukanlah sebuah makna diam, ia seringkali bermakna sebagai proses menuju kegembiraan yang lahir dari adanya gerak—fisik ataupun pikiran (imajinasi). Lalu “politik”, juga adalah gerak dinamis dalam soal siasat dan tata kelola.
Dari penggeledahan beberapa kata tersebut, jelas bahwa karya-karya Afrizal memang tidak dilahirkan—terutama, untuk diam dan lalu mudah dipahami, tapi ia seringkali menghembuskan “anak-anak rohaninya” sebagai wujud teks dalam bentuknya yang bebas berlari dan bermain di lorong bahasa yang mungkin tak berujung.
Pada sebuah catatan pengantar untuk novelnya yang berjudul “Lubang dari Separuh Langit” yang terbit pada tahun 2004, ia lagi-lagi menegaskan “keteguhan”nya terhadap pemilihan gerak.
Begini tulisnya, “Novel untuk saya adalah dunia di mana manusia seperti memiliki kesempatan untuk masuk ke dalam ususnya dan meledakkan dengkulnya menjelang tidur. Pada momen-momen tertentu, berhadapan dengan seseorang kadang saya rasakan sedang berhadapan dengan waktu yang bergerak berantakan, dan manusia adalah makhluk yang tidak bisa berjalan mundur.”
Karya penyair kelahiran Jakarta ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John H. McGlynn, Linda Owens, Marianne Konig, Michael Bodden, Sarah Nuranto, dan Taufik Ismail. Buku berisi 19 sajak Afrizal itu kemudian diberi judul “Biography of Reading”.
Di Frankfurt, karya-karya “gerak” Afrizal akan ikut dipamerkan. Teks-teks yang sudah ia lahirkan akan berlesatan dan hinggap di ruang-ruang imajinasi publik dunia. Adalah menjadi tidak penting, apakah akhirnya tulisan-tulisan Afrizal bisa dimengerti atau tidak, bisa dinikmati atau sebaliknya, namun dari sini; minimal bisa mengenalkan satu bentuk ekspresi dari sastrawan Indonesia.
Ekspresi yang, seperti kata Afrizal, “sebuah kerja metaforis melalui transformasi pesan, dislokasi konteks dan latar, alurnya lebih sebuah komposisi musik atau gerak daripada sebagai kereta sambung untuk jalannya cerita.”

Pada karya-karyanya terpahat narasi tentang salah satu pelaku sastra Indonesia yang sangat sadar tentang kekuatan bahasa Indonesia, berikut lorong-lorong yang kadang penuh jebakan makna. Dan Oktober nanti karya-karyanya akan “melarikan diri” ke Frankfurt. [irf]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.

No comments: