Sejak
menerbitkan kumpulan puisi “Abad yang Berlari” pada 1984, karya-karya Afrizal
Malna, yang tak melulu puisi, kerap “dikeluhkan” para pembaca sebagai karya
yang sulit dimengerti. Dan “ketidakmengertian” para pembaca ini kadang masih
terdengar sampai sekarang, ketika si pengarang cum penyair ini masih produktif
menulis di berbagai surat kabar.
Ketika
menulis pengantar untuk buku kumpulan prosanya yang berjudul “Seperti Sebuah
Novel yang Malas Mengisahkan Manusia”, Afrizal Malna mencoba mengidentifikasi
dirinya sebagai seorang pengarang yang “peduli dengan begitu banyak lorong
dalam bahasa”. Menurutnya, ia memahami kerja dalam kesusastraan seperti ledakan
dalam sebuah bangunan dan strukturnya melarikan diri lalu membuat bangunan yang
lain.
Sementara
dalam sebuah kesempatan wawancara dengan Emilio Arauxo (salah seorang
penerjemah karyanya), Afrizal mengatakan, dan ini semacam konsepsi
kepenyairannya, “Pengalaman saya dalam menulis puisi membawa saya kepada
pemahaman terhadap bahasa yang terbuka. Puisi tidak menciptakan bahasa baru
dalam bahasa, melainkan memainkan medan bahasa yang hidup dalam berbagai gejala
komunikasi di sekitar kita dalam rangka sebuah permainan lain di medan politik
pemaknaan. Bahasa dalam banyak kerja penulisan puisi-puisi saya lebih banyak
dilahirkan lewat cara berpikir dengan gambar dan benda-benda.”
“Lorong”,
“melarikan diri”, “permainan”, dan “politik pemaknaan”, setidaknya empat hal
itu yang dapat diidentifikasi dari dua pernyataan Afrizal tersebut. Dari empat
hal itu, barangkali sebagian “keidakmengertian” karya-karyanya bermula.
“Lorong-lari-main-politik”;
rasa-rasanya bukanlah kumpulan kata yang bermakna statis, diam, dan lalu mudah
untuk “ditangkap”, namun justru sebaliknya. Dalam “lorong” selalu ada
kemungkinan situasi yang tak berujung, sementara “lari” jelas adalah kata kerja
yang lahir karena adanya gerak, dan gerak adalah perlawanan terhadap diam. Kata
“main” juga bukanlah sebuah makna diam, ia seringkali bermakna sebagai proses
menuju kegembiraan yang lahir dari adanya gerak—fisik ataupun pikiran
(imajinasi). Lalu “politik”, juga adalah gerak dinamis dalam soal siasat dan
tata kelola.
Dari
penggeledahan beberapa kata tersebut, jelas bahwa karya-karya Afrizal memang
tidak dilahirkan—terutama, untuk diam dan lalu mudah dipahami, tapi ia
seringkali menghembuskan “anak-anak rohaninya” sebagai wujud teks dalam
bentuknya yang bebas berlari dan bermain di lorong bahasa yang mungkin tak
berujung.
Pada
sebuah catatan pengantar untuk novelnya yang berjudul “Lubang dari Separuh
Langit” yang terbit pada tahun 2004, ia lagi-lagi menegaskan “keteguhan”nya
terhadap pemilihan gerak.
Begini
tulisnya, “Novel untuk saya adalah dunia di mana manusia seperti memiliki
kesempatan untuk masuk ke dalam ususnya dan meledakkan dengkulnya menjelang
tidur. Pada momen-momen tertentu, berhadapan dengan seseorang kadang saya
rasakan sedang berhadapan dengan waktu yang bergerak berantakan, dan manusia
adalah makhluk yang tidak bisa berjalan mundur.”
Karya
penyair kelahiran Jakarta ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
John H. McGlynn, Linda Owens, Marianne Konig, Michael Bodden, Sarah Nuranto,
dan Taufik Ismail. Buku berisi 19 sajak Afrizal itu kemudian diberi judul
“Biography of Reading”.
Di
Frankfurt, karya-karya “gerak” Afrizal akan ikut dipamerkan. Teks-teks yang
sudah ia lahirkan akan berlesatan dan hinggap di ruang-ruang imajinasi publik
dunia. Adalah menjadi tidak penting, apakah akhirnya tulisan-tulisan Afrizal
bisa dimengerti atau tidak, bisa dinikmati atau sebaliknya, namun dari sini;
minimal bisa mengenalkan satu bentuk ekspresi dari sastrawan Indonesia.
Ekspresi
yang, seperti kata Afrizal, “sebuah kerja metaforis melalui transformasi pesan,
dislokasi konteks dan latar, alurnya lebih sebuah komposisi musik atau gerak
daripada sebagai kereta sambung untuk jalannya cerita.”
Pada
karya-karyanya terpahat narasi tentang salah satu pelaku sastra Indonesia yang
sangat sadar tentang kekuatan bahasa Indonesia, berikut lorong-lorong yang
kadang penuh jebakan makna. Dan Oktober nanti karya-karyanya akan “melarikan
diri” ke Frankfurt. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment