Sebagai tamu kehormatan di
Frankfurt Book Fair 2015, meskipun persiapannya tidak terlalu panjang,
Indonesia telah dan tengah mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk kesempatan
yang dipercayakan tersebut. Beberapa buku berhasil diterjemahkan ke dalam
bahasa asing, dan mulai dilirik oleh penerbit luar untuk diterbitkan di
negaranya masing-masing.
Setidaknya sudah ada 18 karya
yang copyright-nya dibeli terkait pameran buku terbesar di dunia ini, di
antaranya; “Amba” karya Laksmi Pamuntjak, “Cantik itu Luka” dari Eka Kurniawan,
“Dan Perang pun Usai” tulisan Ismail Marahimin, “Gadis Kretek” karya Ratih
Kumala, “Pasung Jiwa” dari Okky Madasari, dan masih banyak lagi.
Keberhasilan ini menambah daftar
riwayat panjang karya para penulis Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa
asing. Dari sekian banyak karya yang diterjemahkan dalam 30 tahun terakhir, ada
dua penulis yang begitu menonjol dalam hal jumlah penerjemahan, yaitu;
Pramoedya Ananta Toer dan Andrea Hirata. Kedua pengarang ini, bukunya telah
diterjemahkan ke lebih dari 10 bahasa asing.
“Bumi Manusia”, bagian pertama
dari Kwartet Buru karangan penulis yang hampir sepanjang hidupnya dinista
semesta purba penjara, sejak tahun 1980 telah diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa asing, di antaranya; “Aarde Der Mensen” (edisi Amsterdam), “Ren Shi Jian
(Tiongkok), “This Earth of Mankind” (edisi Australia), “Garten Der Menschheit”
(edisi Berlin), “Manniskans Jord” (edisi Swedia), “Ningen No Datchi” (edisi
Jepang), “Questa Terra Dell’Uomo” (edisi Milan), “Tierra Humana” (edisi
Spanyol), “Menneskenes Jord” (edisi Norwegia), “Le Monde des Hommes” (edisi
Prancis), dan lain-lain.
Sementara “Laskar Pelangi” karya
Andrea Hirata yang nanti akan ikut dipamerkan di Frankfurt, seperti halnya karya
Pramoedya Ananta Toer, sampai hari ini, juga telah diterjemahkan ke banyak
bahasa, di antaranya; “La Tropa Del Arco Iris (edisi Spanyol), “The Rainbow
Troops” (edisi Australia), “De Regenboogbende” (edisi Belanda), “Die Regenbogen
Truppe” (edisi Jerman), “A Vegletek Szigete” (edisi Hungaria), “La Scuola Ai
Confini Del Mondo” (edisi Italia), “Guerreiros da Esperanca” (edisi Brazil),
“Gokkusagi Askerleri” (edisi Turki), “Chien Binh Cau Vong” (edisi Vietnam),
“Les Guerriers de I’arc-en-ciel” (edisi Prancis), dan lain-lain.
Keberhasilan penerjemahan buku
ke ragam bahasa warga dunia adalah jalan untuk meluaskan “suara” yang hendak
disampaikan si penulis. Dengan penerjemahan--sekadar menyebut contoh, apa yang
ingin Pramoedya Ananta Toer sampaikan lewat tokoh Minke yang membenci
feodalisme, juga tokoh Nyai Ontosoroh yang berkarakter kuat, dapat lebih mudah
dipahami. Roman dengan narasi yang dibangun di titik persalinan bangsa yang
begitu pelik, pada akhirnya dapat mengisi ruang baca warga dunia.
Begitu pun dengan yang ingin
disuarakan oleh Andrea Hirata lewat “Laskar Pelangi”. Kaum pinggiran yang
termarjinalkan secara pendidikan dan ekonomi, dan negara seolah abai kepadanya,
dapat dengan leluasa dibaca oleh warga dunia. Ikal, Lintang, Mahar, dan
bocah-bocah SD Muhammadiyah lainnya, yang miskin namun menebarkan semangat
belajar berpendar-pendar; berlarian, menelusup ke ruang baca yang lebih luas.
Pramoedya Ananta Toer
dan Andrea Hirata, dua pengarang yang mewakili dua zaman yang berbeda,
suara-suaranya telah sampai ke pojok-pojok jauh dunia. Kini, di Frankfurt,
dengan dialiri semangat yang sama dari dua penulis tersebut, kiranya karya para
penulis Indonesia yang lain dapat pula menjangkau pembaca yang lebih luas lagi.
[irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment