Salah satu pokok dari delapan
poin Siasat Kebudayaan yang disampaikan Karlina Supelli di tahun 2013 adalah;
“Membangkitkan kembali kebiasaan berpikir serius, bukan sekadar melempar
komentar.” Jika berpikir serius diidentikkan dengan kemauan untuk memilih kata
dengan baik, berusaha menyampaikan gagasan dengan jelas, dan ada jeda untuk
berpikir yang dalam dan terukur, maka barangkali kelompok ini, salah satunya,
bisa diwakili oleh para penulis.
Menulis sebagai kelanjutan dari
tradisi membaca, jika diartikan sebagai menulis karya yang serius, di Indonesia
jumlahnya tidak terlampau banyak. Hal ini kalah jauh dengan menulis sebagai
kelanjutan dari bahasa lisan, asal berkomentar misalnya. Di media sosial yang
serba cepat dan banal, menulis lebih didominasi oleh sehimpunan ucap aborsi,
terhambur prematur, atau muntah begitu saja, tanpa terbebani apa pun yang
mengalir dari lereng pikiran dan pemahaman.
Akhir-akhir ini, di beberapa
daerah di Indonesia, misalnya Padang, Makassar, Yogyakarta, dan Bali, kerap
dihelat festival yang irisannya sangat kuat dengan para penulis. Penulis lokal
maupun internasional, juga para pembaca, bertemu dalam satu acara untuk
membicarakan karya dan aktifitas literasi lainnya.
Kita urutkan dari Indonesia
Barat. “Padang Literary Biennale” adalah festival sastra dua tahunan yang
digelar selama tiga hari berturut-turut. Di dalamnya ada seminar sastra dan
budaya, bincang penulis, peluncuran buku, lokakarya, dan pertunjukan sastra.
Acara yang pertamakali digelar tahun 2012 ini, selain meneguhkan Minangkabau
sebagai sebuah entitas yang lekat dengan bahasa, atau dalam ungkapan Jane
Drakard (seorang peneliti sejarah, budaya, dan politik Melayu dari Monash
University) sebagai “A kingdom of words”, juga adalah sebuah upaya untuk
mendekatkan penulis dengan masyarakat.
Di Indonesia Timur, ada
“Makassar International Writers Festival”. Kegiatan ini diisi di antaranya oleh
pelatihan penulisan jurnalistik, lokakarya penulisan cerita, pelatihan menulis
lirik lagu, penulisan cerita pendek, dan lain-lain. Perhelatan yang digagas dan
diselenggarakan oleh Rumata ini, berhasil mengibarkan perayaan (menuju) tradisi
membaca dan menulis di Timur Indonesia. Meski kedua laku tersebut belum
sepenuhnya kokoh, namun semangatnya telah digulirkan.
Di tanah Jawa, ada “Borobudur
Writers and Cultural Festival”. Acara yang digelar di Magelang dan Yogyakarta
ini, menghadirkan raturan penulis sastra, sejarawan, arkeolog, dan jurnalis.
Mereka berdiskusi, membahas berbagai referensi, dan menggodok ide-ide baru
terkait bidangnya masing-masing. Selain itu, ada juga ASEAN Literary Festival
yang diadakan di Jakarta, menghadirkan para penulis beserta karyanya, diskusi,
peluncuran buku, serta berbagai pelatihan penulisan.
Sementara itu di Pulau Dewata,
pulau yang selama ini dilumuri citra eksostis dan jalan lempang menuju dunia
pariwisata, ada “Bali Emerging Writers Festival” dan “Ubud Writers and Readers
Festival”. Yang disebut kedua, meski sempat menuai kritik dari beberapa pihak sebagai
acara yang hanya mengukuhkan tradisi kelisanan dan perpanjangan program
pariwisata, namun riwayat 12 tahun penyelenggaraannya mencuatkan satu hal,
bahwa acara ini diisi oleh mereka yang keras kepala dalam menularkan semangat
menulis dan membaca
Baru-baru ini tersiar kabar
bahwa di Bandung, di kota yang selama ini dikenal sebagai pusat mode dan
kuliner, akan digelar Bandung Football Writers Festival yang akan menjadi
festival literasi sepakbola pertama di Asia. Meski sepakbola yang dijadikan
sebagai pendekatannya, namun semangat yang hendak dikibarkan dan ditularkan,
barangkali sama saja, bahwa festival tersebut adalah ajang untuk menegaskan
bahwa menulis dan membaca tidak sama dengan berbicara.
Hari-hari ini, perkembangan
piranti digital yang bersemayam dalam gadget, yang kita mengikuti (salah
satunya) untuk sekadar berkomunikasi dalam lautan linimasa, mencuatkan satu
identifikasi; bahwa hal yang paling dekat dengan kita adalah Kata. Frase
“siasat kebudayaan” sangat mungkin untuk diawali dari yang paling dekat itu.
Kata adalah jalan, yang siapa pun bisa menempuhnya.
Dan festival penulis
yang digagas di beberapa daerah di Indonesia tersebut, adalah jalan untuk
menjembatani kata agar lahir dan hidup di tengah masyarakat yang tak sadar
jaga, yang tak hanya menghamburkan kata tanpa gagasan dan perenungan yang
mendalam. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment