Hari ini, di sebagian besar toko
buku di Indonesia, terutama di rak yang menyajikan buku-buku best seller dan
“baru rilis”, pasti akan ditemui buku karya Tere Liye (Darwis). Ia memang salah
satu penulis Indonesia kontemporer yang paling produktif. Sejak menerbitkan
buku “The Gogons; James & The Incredible Incident” di tahun 2006, sampai
sekarang tak kurang dari 23 buku yang telah ia terbitkan.
Meski sangat produktif, namun ia
menjelaskan bahwa menulis sebenarnya hanya hobi saja, sebab ia sejatinya, atau
lebih suka disebut akuntan. Namun memang bakat menulis, juga terutama
kebiasaannya dalam menulis, bukanlah riwayat pendek dalam hidupnya. Dalam
sebuah acara talk show kepenulisan di Lampung, Tere Liye menjelaskan bahwa
dirinya telah menulis sejak usia 9 tahun.
Di usia itu ia kerap mengirimkan
cerita anak ke majalah-majalah. Tak semua kirimannya dimuat memang, namun
proses itu membuat kebiasaan menulisnya tumbuh subur. Kepada peserta yang hadir
di sebuah kampus di Lampung ia bicara, “Bagi saya, menulis itu tidak bisa
diajarkan, tapi ditumbuhkan. Di hati kita punya nyala api, saya di sini
berusaha menghidupkan nyala api yang kecil itu supaya terang benderang di hati
kalian,” tuturnya mantap.
Jika hari-hari ini, kita
mendapati buku-bukunya berjajar di rak-rak toko buku, dan mayoritas dihajar
stempel best seller, maka itu bukanlah buah dari proses sekejap, namun
perjalanan panjang yang sudah diuji waktu.
Buku yang ditulis Tere Liye
memiliki tema beragam; dari kisah keluarga, politik, sampai cerita anak-anak.
Ia benar-benar menemukan sorot lampu media ketika bukunya yang berjudul
“Hafalan Shalat Delisa”, yang terbit di tahun 2007, diadaptasi ke dalam film
layar lebar oleh sutradara Sony Gaokasak. Masih di tahun terbit yang sama, ia
juga menulis buku “Moga Bunda Disayang Allah”.
Tentang beragamnya topik atau
tema penulisan yang ia pilih, Tere Liye menerangkan bahwa sebenarnya menulis
bisa apa saja, yang penting sudut pandangnya bagus. Menurutnya, setiap penulis
yang baik pasti mempunyai perspektif yang spesial. Namun hal itu tidaklah lahir
dengan sendirinya. Sudut pandang yang berbeda dan akhirnya menarik, lahir dari
para penulis yang membekali dirinya dengan amunisi.
Amunisi dalam menulis,
menurutnya, adalah pembelajaran yang dimiliki dari kebiasaan membaca,
mengamati, melakukan observasi, melakukan perjalanan, dan mendengarkan
oranglain. Dan seperti halnya para penulis lain, Tere Liye pun sepakat bahwa
semuanya bermula dari proses membaca, membaca, dan membaca.
Produktifitas Tere Liye—bagi
orang-orang yang tak mengenali proses panjangnya, terkadang sulit dipahami.
Betapa tidak, dalam satu tahun ia dapat menerbitkan empat buku sekaligus.
Sebagai contoh, di tahun 2011, ia menerbitkan buku; “Kisah Sang Penandai”, “Sunset
Bersama Rosie”, “Eliana”, dan “Ayahku (Bukan) Pembohong”. Hal serupa terulang
lagi di tahun 2012 ketika ia lagi-lagi menerbitkan empat buku sekaligus dalam
tahun yang sama. Sementara di tahun 2014 ia menerbitkan tiga buku, dan di 2009,
2010, 2013, 2015 (setidaknya sampai sekarang), ia masing-masing menerbitkan dua
buah buku.
Tak banyak penulis Indonesia
kiwari yang mampu berkarya seproduktif Tere Liye. Mengabaikan Tere Liye sebagai
salah satu wajah kontemporer dunia kepenulisan Indonesia, rasa-rasa tentu
bukanlah pilihan yang tepat, khususnya jika ingin memahami apa yang terjadi di
kalangan pembaca.
Tentu saja, seperti juga
penulis-penulis yang lain, karya-karya Tere Liye pun memang tidak imun dari
perdebatan pro dan kontra, kritik dan komentar memang selalu ada. Namun
terlepas dari hal-hal itu, kehadiran buku-buku Tere Liye di Frankfurt, Oktober
yang akan datang, adalah ide yang menarik. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment