Selain para sastrawan dan
penulis yang karya-karyanya dianggap bisa memberikan gambaran tentang Indonesia
kontemporer, para penghidup dunia literasi pun akan ikut hadir di Frankfurt
Book Fair 2015 pada Oktober nanti. Orang-orang yang menjaga marwah literasi
sejengkal demi sejengkal, di hari-harinya yang selalu sibuk dengan pengabdian
kepada masyarakat terkait minat baca, memang layak diberi lampu sorot kamera.
Bukan untuk membentuk mental selebritas, namun sebagai penghargaan atas
kerja-kerjanya menjaga kerlip nyala dunia literasi di akar rumput.
Dari beberapa yang namanya
tercantum dalam daftar orang-orang yang akan diberangkatkan ke Frankfurt, Gola
Gong adalah salah satunya. Aktivis literasi yang juga penulis ini telah lama
berkecimpung, dan sebisa-bisanya menghidupkan dunia literasi di wilayah Banten,
khususnya Kabupaten Serang.
Sejak kepindahannya dari
Purwakarta dan menetap di Serang, Gola Gong selalu tak nyaman dengan anggapan
umum yang melabeli Banten sebagai daerah yang hanya menghasilkan para jawara,
tukang pukul, manusia-manusia kebal senjata tajam, serta sarang teluh, santet,
dan praktik dunia hitam lainnya.
Bersama kawan-kawannya semasa
kuliah di Bandung, ia berniat membangun sebuah komunitas literasi di rumahnya,
di Daerah Ciloang, Serang-Banten. “Saya dan kawan-kawan waktu itu bikin janji
bahwa kalau ada yang lebih dulu berkemampuan, dialah yang harus mulai membikin
perubahan itu,” tuturnya.
Tahun 1990-an ia kemudian
membuka perpustakaan keluarganya untuk bisa diakses oleh masyarakat. Selain
itu, ia juga menerbitkan tabloid bulanan berbasis komunitas, yaitu Banten Pos
(1993) dan Meridian (2000). Namun dua media itu ternyata tidak bisa bertahan
lama. Karena isinya banyak mengkritisi isu-isu sosial yang terkait pemerintah
Banten, tabloid yang baru berjalan enam bulan itu kemudian berhenti.
“Saya diancam petugas dengan
pistol di atas meja jika tidak menghentikan penerbitan tabloid,” ujarnya.
Tahun 2002, untuk meningkatkan
nilai jual, perpustakaan yang telah dirintisnya dari tahun 1990-an itu diberi
nama Pustakaloka Rumah Dunia (PRD). Akronim yang identik dengan partai
progressif yang diisi anak-anak muda di masa Orde Soeharto itu ternyata cukup
ampuh melonjakkan perhatian masyarakat.
Kini di masa yang relatif tenang
secara politik, Gola Gong dan komunitas baca yang dibangunnya berkembang
sedemikian rupa. “Pustakaloka Rumah Dunia” yang kemudian namanya menjadi lebih
pendek, “Rumah Dunia”, sudah punya empat bangunan yang digunakan untuk beragam
kegiatan: sastra, teater, rupa, sampai jurnalistik.
Dengan kegiatan-kegiatan
tersebut Gola Gong ingin melakukan semacam gerakan dekontruksi kultural dengan
mencoba memberi makna baru pada kosakata lokal yang mengandung makna peyoratif.
Salah satu contohnya adalah
dengan dihadirkannya sebuah kedai buku yang bernama “Kedai Buku Jawara”. Ia
berharap bahwa kata “jawara” suatu saat tak melulu bermakna dengan stigma
kekerasan, namun bisa berubah menajdi “gudang ilmu”. Contoh lain adalah dengan
menamai beberapa kegiatan dengan nama, misalnya, “gonjlengan wacana” dan
“tawuran seni”.
“Selama ini Banten lekat dengan
stigma jawara, teluh, santet, pelet, dan hal-hal lain yang berkonotasi negatif.
Kami ingin mengubah Banten, tetapi rasanya sangatlah tidak mungkin. Melalui
rumah ini, kami ingin berbagi cinta dan ilmu kepada masyarakat,” tutur Gola
Gong.
Rasa-rasanya spirit
semacam ini memang perlu dihadirkan di ajang internasional seperti Frankfurt
Book Fair, sekali lagi bukan untuk mengangsurkan sikap riya, namun untuk
meluaskan daya tular, yang barangkali resonansinya akan sampai ke pojok-pojok
terjauh dunia. [irf ]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment